DPR: Pilkada Lewat DPRD Bisa Hemat Biaya dan Tekan Korupsi


Jakarta, MI - Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya menyatakan dukungannya terhadap usulan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD. Menurutnya, skema tersebut bisa memangkas biaya politik yang tinggi serta menekan maraknya praktik korupsi dan kegaduhan hukum dalam Pilkada langsung.
“Pilkada langsung sejauh ini terbukti mahal dan rawan praktik money politics serta penyalahgunaan kekuasaan,” ujar Indrajaya, Rabu (6/8/2025).
Ia menyoroti beban anggaran negara yang sangat besar dalam pelaksanaan Pilkada serentak nasional, seperti yang terjadi pada Pilkada 2024 dengan anggaran mencapai Rp 41 triliun. “Pilkada 2024 adalah puncak dari lima gelombang pilkada nasional sejak 2015. Ini saatnya menjadi momen evaluasi untuk efisiensi,” imbuhnya.
Selain soal anggaran, Indrajaya juga menyoroti kegaduhan hukum yang kerap muncul akibat Pilkada langsung. Ia mencatat bahwa Undang-Undang Pilkada telah mengalami empat kali perubahan sejak gelombang pertama Pilkada serentak 2015, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 2015, UU No. 8 Tahun 2015, UU No. 10 Tahun 2016, dan UU No. 6 Tahun 2020.
“UU Pilkada adalah undang-undang yang paling sering disengketakan di Mahkamah Konstitusi. Sepanjang 2024 saja, tercatat 35 kali uji materi,” tegas politisi asal Dapil Papua Selatan itu.
Menurutnya, seringnya uji materi terhadap UU Pilkada menunjukkan lemahnya kajian dalam proses legislasi. “Ini seperti ada akrobatik hukum dan sarat kepentingan. Bahkan DPR bisa terkesan dijadikan tumbal,” kata Indrajaya.
Ia menambahkan, pengembalian Pilkada ke DPRD merupakan langkah strategis untuk memperbaiki kualitas demokrasi. “Untuk meninggikan derajat demokrasi, alasan kegaduhan hukum adalah cara jitu untuk mengembalikan mekanisme Pilkada oleh DPRD,” ucapnya.
Lebih lanjut, Indrajaya juga menyoroti maraknya politik uang dalam Pilkada langsung. Ia mengatakan, praktik money politics sudah tidak bisa dibendung dan sering kali terungkap dalam sidang sengketa hasil Pilkada di MK.
Pelanggaran netralitas ASN juga menjadi sorotan. Menurutnya, keberadaan petahana kerap menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan politisasi birokrasi. “ASN yang seharusnya netral bisa terdorong atau tertekan untuk mendukung petahana,” ujarnya.
Indrajaya menutup pernyataannya dengan mengingatkan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sejak sistem Pilkada langsung diberlakukan. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga awal 2022, terdapat 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota yang tersangkut kasus korupsi.
“ICW bahkan mencatat sepanjang 2010–2018, ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum,” tandasnya.
Topik:
Pilkada 2025 Pilkada lewat DPRD usulan PKB Indrajaya Komisi II efisiensi anggaran Pilkada