Unesco Warning Status Taman Nasional Komodo, Komisi VII DPR Minta Kaji Ulang Izin IUPSWA


Jakarta, MI - UNESCO telah memberikan warning terkait status warisan dunia Taman Nasional Komodo (TNK) di Nusa Tenggara Timur.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty meminta Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk mengkaji ulang pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)
Tak hanya itu, politisi PDIP itu menyatakan agar pembangunan infrastruktur dihentikan bila tidak sejalan dengan prinsip konservasi, pembangunan pariwisata berkelanjutan, serta berpotensi merugikan masyarakat lokal.
Apa yang disampaikannya itu dikarenakan adanya protes dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, DPRD setempat, dan berbagai pihak lainnya terhadap rencana pembangunan resort dengan 619 fasilitas wisata oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) di Pulau Padar, serta perusahaan lain yang beroperasi di kawasan TNK.
“Kita menyadari pentingnya dukungan infrastruktur pariwisata, terutama di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, jika pembangunan resort dan infrastruktur dilakukan secara masif di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau-pulau lain di dalam kawasan TNK, maka hal itu harus dihentikan apabila bertentangan dengan semangat konservasi," kata Evita dalam keterangan persnya, Selasa (5/8).
Anggota DPR RI dari Dapil Jateng III itu menyatakan, pembangunan tersebut berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. "Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional,” sambungnya.
Sebagai informasi, PT KWT memperoleh konsesi di Pulau Padar seluas 426,07 hektar berdasarkan SK No. 796/Menhut-II/2014. PT KWT sendiri disebut memiliki konsesi selama 55 tahun di kawasan tersebut.
Sementara PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) mendapat konsesi seluas 22,10 hektar di Loh Buaya, Pulau Rinca, melalui SK No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015.
Pemberian izin ini dimungkinkan setelah terjadinya perubahan zonasi TNK pada tahun 2012, dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan yang diduga saat itu tidak dilaporkan kepada UNESCO. Undang-Undang di Indonesia memang memperbolehkan pembangunan di zona pemanfaatan, namun tidak berlaku untuk zona inti dan rimba.
Adapun Taman Nasional Komodo telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991, jauh sebelum izin-izin usaha tersebut diberikan. Pada tahun 2021, UNESCO bahkan telah mengeluarkan peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait pembangunan yang terlalu masif di kawasan TNK.
Menteri Kehutanan sebelumnya sempat mengeluarkan SK evaluasi terhadap izin IUPSWA melalui SK No.SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022, namun izin-izin tersebut tampaknya tetap berjalan. "Mengkaji ulang izin-izin tersebut, termasuk perubahan zonasi sejak tahun 2012 adalah hal yang sangat wajar," terang Evita.
Jika perubahan zonasi tersebut terbukti mengganggu habitat komodo, lanjut Evita, maka sudah seharusnya dikembalikan ke zonasi sebelumnya, yakni dari zona pemanfaatan menjadi zona inti atau zona rimba.
"Artinya, tidak boleh ada pembangunan resort atau fasilitas wisata dalam kawasan taman nasional, dan seluruh aktivitas semestinya diarahkan ke luar kawasan," tegasnya.
Evita mengingatkan, Komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi. Jika pembangunan dilakukan secara masif di dalam kawasan, menurutnya, ruang hidup Komodo akan semakin terdesak karena peningkatan aktivitas manusia.
"Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut,” ungkap Evita.
Topik:
Evita Nursanty Taman nasional Komodo