Dari Klasifikasi Kapal ke Holding Raksasa: Jejak PT BKI dan Bayang-bayang Risiko Danantara

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Maret 2025 09:39 WIB
PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI)
PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI)

Jakarta, MI - Iskandar Sitorus Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW) memaparkan transformasi PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) menjadi holding operasional di bawah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai langkah strategis berani.

Namun, apakah langkah ini benar-benar meningkatkan efisiensi BUMN atau justru menyimpan bom waktu baru?

Holding baru, risiko lama?

BKI bukanlah perusahaan yang bersih dari masalah. Sejarah mencatat skandal korupsi dan dugaan penggelapan yang melibatkan beberapa cabangnya.

Kini, dengan posisinya sebagai holding kunci dalam ekosistem BUMN strategis, pengawasan ketat dan audit menyeluruh menjadi harga mati, atau kita akan menyaksikan skenario too big to fail yang berakhir dengan bailout uang rakyat.

Dari klasifikasi kapal ke gurita bisnis BUMN


Didirikan pada 1 Juli 1964, BKI awalnya bertugas mengklasifikasikan kapal berbendera Indonesia. Seiring waktu, perannya berkembang hingga menjadi BUMN dengan bisnis lebih luas.

Pada 2025, lewat PP No. 15 Tahun 2025, pemerintah mengalihkan saham Seri B dari beberapa BUMN besar yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN ke BKI, menjadikannya holding operasional di bawah Danantara.

Namun, apakah BKI punya kapasitas manajerial dan integritas tata kelola yang cukup untuk memikul beban besar ini? Track record mereka berkata sebaliknya.

Jejak kasus dan celah tata kelola BKI

Beberapa kasus yang melibatkan BKI menunjukkan pola kelemahan sistemik. Berikut rangkuman kasus besar yang mengguncang reputasinya:

1. Kasus korupsi Cabang Cilegon tahun 2017 yakni dugaan proyek fiktif CSR-Drainage merugikan negara Rp4,4 miliar. Melibatkan mantan Kepala Cabang BKI, dengan temuan aliran dana ke rekening pribadi. Dijerat dengan dasar hukum Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dan Pasal 55 KUHP tentang keterlibatan kolektif.

2. Kasus dugaan korupsi Rp3,4 Miliar Pekanbaru dimana antan Kepala Cabang BKI Pekanbaru ditahan atas dugaan penggelapan dana. Kasus ditangani Ditreskrimsus Polda Riau, dengan indikasi penggelapan berulang.

3. KPK periksa BKI Surabaya tahun 2024 karena dugaan mark-up pengadaan kapal di Ditjen Bea Cukai yang melibatkan pejabat BKI. Dijerat dengan dasar hukum Pasal 12 huruf e UU Tipikor, Pasal 3 UU TPPU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang). 

Rentetan kasus itu menandakan bahwa BKI bukan korban insiden, tapi menunjukkan pola kelemahan pengawasan internal. Penunjukan BKI sebagai holding dengan aset raksasa justru memperbesar risiko, bukan menguranginya.

Celah hukum pengalihan saham Seri B

Pengalihan saham Seri B ke BKI sah secara hukum. Namun, ini menyisakan beberapa pertanyaan strategis terkait, satu, pergeseran kendali BUMN karena sebelumnya, pemerintah memegang saham Seri B langsung. Kini kontrol beralih ke BKI sebagai perantara. Risiko bila manajemen BKI bermasalah, maka kontrol atas anak usaha strategis bisa ikut terguncang.

Pengawasan yang lemah sebab PP No. 15/2025 tidak secara eksplisit memperkuat peran pengawasan BPK terhadap Danantara dan BKI, maka dalam kaitan audit BPK hanya bisa melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), bukan audit penuh.

Dari sisi celah tanggung jawab Direksi sesuai Pasal 97 ayat (3) UU No. 40/2007 yang menegaskan direksi bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perusahaan, maka jika BKI merugi dan mencoreng anak usaha, siapa yang harus bertanggung jawab? Direksi BKI atau pemerintah?

Risiko keuangan negara dan skema 'Too Big to Fail' 

Saat BKI menjadi holding besar, implikasinya tidak hanya sebatas pengalihan saham. Mari kita bongkar beberapa potensi kerugian sistemik:

1. Konsolidasi risiko dengan mengumpulkan BUMN besar di bawah satu payung BKI memperbesar dampak jika holding ini gagal.


2. Kerugian domino terjadi bila BKI tersandung hukum atau rugi besar, anak usaha yang sehat bisa ikut terseret-seret termasuk Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN.


3. Potensi bailout uang rakyat jika karena sesuatu BKI bangkrut, maka pemerintah berpotensi harus menyuntikkan dana APBN untuk menyelamatkan aset strategis di bawahnya.

Audit dan reformasi tata kelola BKI mampukah bertahan?

Melihat sejarahnya, BKI butuh lebih dari sekadar restrukturisasi. Perlu reformasi besar-besaran dalam audit dan pengawasan. Beberapa langkah mendesak yang harus diambil adalah:

1. Audit forensik wajib dan perlu pada proyek besar BKI sebelum pengalihan saham.

2. Perkuat peran BPK dan OJK dalam audit komprehensif untuk memastikan BKI bersih sebelum memimpin holding Danantara. Sehingga penegakan hukum menjadi lebih mudah.

3. Transparansi publik atas kinerja BKI dan anak usaha harus dilaporkan secara berkala bukan hanya kepada Kementerian BUMN.

Transformasi atau bom waktu baru?

BKI kini memegang kekuatan besar sebagai holding operasional Danantara. Namun, transformasi ini bukan jaminan sukses jika tidak diiringi dengan reformasi tata kelola dan pengawasan ketat.

Sejarah kasus korupsi dan pengelolaan buruk di BKI menjadi alarm keras. Jika risiko ini diabaikan, kita bukan hanya mempertaruhkan masa depan BKI, tapi juga stabilitas BUMN besar yang menjadi tulang punggung ekonomi negara.

"Pertanyaan sekarang adalah, apakah BKI siap bertransformasi, atau kita sedang menyaksikan lahirnya "bom waktu" baru dalam tubuh BUMN?," tanya Iskandar Sitorus.

Topik:

Danantara PT BKI