Rekrutmen Tamtama untuk Pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan Rusak Profesionalisme dan Roadmap Reformasi TNI

![Prajurit Tamtama Ilustrasi [Foto: Ist]](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/prajurit-tamtama.webp)
Jakarta, MI - Pada 4 Juni 2025, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana di hadapan awak media menyampaikan rencana perekrutan calon tamtama secara besar-besaran, sebanyak 24.000 orang untuk membentuk struktur organisasi baru berupa Batalyon Teritorial Pembangunan.
Rekrutmen ini nantinya disiapkan bukan untuk menjadi pasukan tempur, melainkan menjadi pasukan ketahanan pangan hingga pelayan kesehatan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, rencana rekrutmen tersebut sudah keluar jauh dari tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara.
“TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang dan bukan untuk mengurusi urusan-urusan di luar perang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan Kesehatan," kata Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indonesia, yang merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di Jakarta, Selasa (10/6/2025).
"Dengan demikian, kebijakan perekrutan sebagaimana sedang direncanakan tersebut telah menyalahi tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU TNI (UU No 3 Tahun 2025),” sambungnya.
Perubahan lingkungan strategis dan ancaman perang, yang semakin kompleks dan modern, kata Usman, sebenarnya menuntut TNI untuk fokus dan memiliki keahlian spesifik di bidang peperangan.
“Dalam konteks itu, menempatkan TNI untuk mengurusi hal-hal di luar pertahanan justru akan melemahkan TNI dan membuat TNI menjadi tidak fokus untuk menghadapi ancaman perang itu sendiri dan secara tidak langsung akan mengancam kedaulatan negara,” jelasnya.
Ia menilai, perekrutan dan pelibatan TNI bukan untuk menjadi pasukan tempur, melainkan untuk urusan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan adalah bentuk kegagalan untuk menjaga batas demarkasi yang tegas antara urusan sipil dan militer.
“Padahal, konstitusi (UUD 1945) dan bahkan UU TNI sendiri telah menetapkan pembatasan terhadap TNI yang jelas-jelas tidak memiliki kewenangan mengurus pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan. Hal ini tentu mencederai semangat Reformasi TNI yang menginginkan terbentuknya TNI yang profesional dan tidak lagi ikut-ikutan mengurusi urusan sipil,” paparnya.
Usman kemudian mendesak Presiden Prabowo Subianto dan DPR, untuk melakukan pengawasan dan evaluasi tentang perekrutan dan pelibatan TNI, yang berlebihan tersebut karena telah menyalahi jati diri TNI sebagai alat pertahanan negara sesuai amanat konstitusi dan UU TNI.
Selain Amnesty Internasional Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Setara Institute, dan Centra Initiative.
Kemudian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI, dan De Jure.
Topik:
Rekrutmen Tamtama Profesionalisme TNI