Danantara Terlalu Lancang, Dia Bayi SWF Mengangkangi Kewenangan Ibunya

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 2 Agustus 2025 17:30 WIB
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) (Foto: Dok/MI)
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) (Foto: Dok/MI)

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Empat bulan usia Danantara, badan yang diklaim sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia, tetapi publik dikejutkan dengan beredarnya surat: S-063/DI-BP/VII/2025. Isinya? Danantara secara sepihak menyatakan berwenang mengatur insentif, tantiem, dan penghasilan lainnya bagi Direksi dan Komisaris BUMN, bahkan hingga anak perusahaan BUMN. Mirip perilaku anak yang tidak tahu diri!

Surat itu ditandatangani oleh Rosan Perkasa Roeslani selaku Kepala Badan Pelaksana Danantara. Bahasa yang digunakan tegas, tanpa tedeng aling-aling: pengelolaan terhadap BUMN dan operasionalnya kini disebut sebagai "kewenangan penuh BPI Danantara".

Sejak kapan kewenangan itu? Sejak bayi bernama Danantara itu diberi kekuasaan seperti Menteri BUMN?

Melabrak UU, mengesampingkan rakyat

Langkah Danantara jelas melanggar batas. Sesuai Pasal 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, hanya Menteri BUMN yang berwenang mengusulkan dan menetapkan remunerasi Direksi dan Komisaris melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Danantara bukanlah Menteri, bukan juga RUPS, dan bahkan bukan pemilik sah secara dominan di sebagian besar BUMN yang disebut dalam lampiran suratnya.

Celakanya, Danantara menyebut bahwa dasar hukumnya adalah UU No. 1 Tahun 2025, itu undang-undang yang hingga hari ini tidak tersedia naskah resminya di publik, melanggar prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pukulan telak terhadap prinsip legalitas dan supremasi hukum di negara demokrasi.

Bayangan anggaran di luar APBN

Jika dicermati lebih dalam, surat ini bisa menciptakan situasi keuangan yang gawat, yakni pengeluaran insentif dan bonus besar-besaran di luar kerangka APBN.

Padahal dalam regulasi yang sah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 juncto PP Nomor 72 tahun 2016, menyebut setiap pembayaran insentif atau tantiem di lingkungan BUMN harus melalui persetujuan Menteri Keuangan dan tercatat dalam sistem fiskal nasional. Artinya, kalau skema Danantara ini dijalankan, akan lahir semacam "shadow budget", anggaran tersembunyi yang tidak diaudit, tidak dikontrol DPR, dan berpotensi menciptakan lubang fiskal baru. 

Di sinilah bahayanya, publik dibebani, elit merayakan insentif.

Membuka celah manipulasi kinerja

Salah satu poin absurd dalam surat tersebut adalah syarat bahwa insentif tidak boleh dihitung dari windfall profit atau hasil one-off seperti revaluasi aset dan penjualan properti. Di permukaan, ini terdengar positif.

Namun pertanyaannya, siapa yang menentukan itu windfall? Apa acuannya? Siapa auditornya? Tidak ada penjelasan. Tidak ada rujukan pada PSAK, IFRS, atau metode akuntansi baku. Artinya, surat ini membuka ruang abu-abu yang sangat lebar untuk manipulasi laporan keuangan, financial engineering, bahkan potensi penyalahgunaan wewenang untuk memperindah kinerja sebelum pembagian bonus.

Membungkam komite pengawas

Lebih ironis lagi, surat itu juga melarang Komisaris menerima insentif berbasis kinerja. Padahal pasal 110 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara sah memperbolehkan pemberian remunerasi kepada Dewan Komisaris.

Di banyak negara, termasuk dalam pedoman OECD tentang Corporate Governance, insentif bagi pengawas justru dianjurkan agar mereka tidak hanya berfungsi sebagai stempel formal, tapi benar-benar bekerja menjaga akuntabilitas perusahaan. Alih-alih memperkuat pengawasan, Danantara justru ingin membisukan Komite Pengawas.

Benturan kepentingan yang terstruktur

Lalu siapa sebenarnya Danantara? Ia adalah lembaga pengelola investasi negara. Kini, ia juga ingin menjadi penentu bonus, pengatur insentif, dan bahkan mengarahkan tata kelola lebih dari 100 BUMN. Ini benturan kepentingan yang brutal.

Bayangkan, Danantara memiliki portofolio saham di BUMN A. Lalu, Danantara juga yang mengatur bonus direksi BUMN A. Maka apa jaminan objektivitasnya? Ini jelas bertabrakan dengan pasal 17 UU BUMN yang melarang pejabat atau pengelola BUMN terlibat dalam kebijakan yang punya potensi konflik kepentingan.

IAW minta Presiden bertindak: ini bukan pola SWF, ini anomali tata negara

Indonesian Audit Watch menyerukan dengan tegas:

1. Presiden dan Menteri Hukum harus menegur Danantara secara resmi dan memaksa pencabutan surat tersebut dalam waktu 7 hari kerja.

2. BPK dan OJK wajib melakukan audit khusus terhadap seluruh BUMN yang masuk dalam daftar lampiran surat itu, terutama pada laporan keuangan dan proses perhitungan laba-rugi mereka.

3. DPR (Komisi VI dan XI) harus menggunakan hak interpelasi untuk memanggil Rosan Roeslani dan Erick Thohir sekaligus. Bila perlu, bentuk Pansus agar potensi penyimpangan ini tak membesar.

4. KPK wajib mewaspadai skema bonus terselubung ini dan memantau segala keputusan pembayaran yang mengandung potensi penyalahgunaan kekuasaan.

SWF harusnya berinvestasi, tak seagresif model ini

Kalau kita bandingkan dengan SWF dunia, seperti Temasek Singapura, Khazanah Malaysia, atau NBIM Norwegia, maka tak satu pun dari mereka ikut mengatur gaji dan bonus pengurus perusahaan negara. Mereka berinvestasi, bukan mencampuri urusan internal manajemen.

Justru Danantara sedang mendobrak batas itu semua. Baru lahir empat bulan, tapi sudah ingin mendikte seluruh sistem tata kelola BUMN. Kita patut bertanya:

"Ini SWF atau kementerian bayangan?"

Jika dibiarkan, surat seperti ini akan menjadi pintu masuk praktik korupsi legal berbasis peraturan internal, yang akhirnya menyandera keuangan negara dan memperlemah transparansi publik.

Jangan sampai mimpi lepas dari jerat utang asing justru membawa kita ke lubang yang lebih dalam: utang moral, utang tata kelola, dan utang kepercayaan publik.

WASPADA!!!

Topik:

Indonesian Audit Watch Iskandar Sitorus Danantara