Untuk Sementara Haryadi Suyuti Jadi Penghuni Kamar Rutan Gedung Merah Putih KPK

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 Juni 2022 10:30 WIB
Jakarta, MI - Walikota Yogyakarta periode 2017-2022 Haryadi Suyuti (HS) bersama dengan tiga orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) Apartemen Royal Kedhaton di wilayah Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Menurut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, keempat tersangka terlibat korupsi perizinan mengakibatkan ongkos produksi menjadi lebih tinggi, dan dampaknya adalah harga yang harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen menjadi lebih mahal. Sedangkan empat orang lagi yang sempat ikut diamankan dalam OTT berstatus hanya sebagai saksi. Tiga tersangka yang menyertai Haryadi Suyuti masing-masing Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta, Nurwidhihartana; Sekretaris Pribadi merangkap ajudan Haryadi, Triyanto Budi Yuwono; dan Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk, Oon Nusihono. Haryadi dan kawan-kawan enggan merespons beragam pertanyaan yang dilontarkan awak media. Mereka atau para tersangka ditahan selama 20 hari pertama, terhitung mulai 3 Juni 2022 sampai dengan 22 Juni 2022. "Agar proses penyidikan dapat efektif, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan pada para tersangka," kata Alex di Jakarta, dikutip pada Minggu (5/6). Haryadi ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK pada gedung Merah Putih, sementara Nurwidhihartana ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat. Tersangka penerima suap adalah Haryadi Suyuti, Nurwidhihartana (NWH) selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta; dan Triyanto Budi Yuwono (TBY) selaku Sekretaris pribadi merangkap ajudan Haryadi. Sedangkan Oon diduga telah memberikan uang secara bertahap minimal Rp 50 juta sejak 2019 hingga 2022 atau selama proses perizinan berlangsung, yaitu pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan apartemen Royal Kedhaton di kawasan Malioboro yang dilaksanakan oleh anak usaha Summarecon Agung, PT Java Orient Property (JOP). Oon pun juga telah memberikan uang sebesar 27.258 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan sekitar Rp 400 juta. Uang tersebut juga menjadi salah satu barang bukti yang diamankan saat dilakukan tangkap tangan. KPK menduga, Haryadi juga menerima penerimaan uang lainnya dari perusahaan lain yang juga terkait dengan penerbitan IMB selama menjabat sebagai Walikota Yogyakarta. "Perizinan menjadi salah satu modus tertinggi yang ditangani KPK, oleh karenanya kami memberikan fokus khusus dalam upaya pencegahannya," ujar Alex. Oleh karena itu, KPK melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) terus melakukan aksi pembenahan sistemik pada tata perizinan dan tata niaga. Selanjutnya melalui Unit Koordinasi dan Supervisi, KPK memasukkan sektor perizinan dalam fokus area Monitoring Center for Prevention (MCP). "KPK mendorong tahapan dan mekanisme perizinan harus lebih transparan dan sederhana demi memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat," tutur Alex. KPK menyatakan akan mengecek terkait penerbitan perizinan di Yogyakarta, khususnya di Malioboro. "Nanti kami cek di sepanjang kawasan Malioboro itu kan masuk kawasan cagar wisata. Di mana ada aturan-aturan pembatasan terkait ketinggian maupun sudut kemiringan dari ruas jalan," kata Alex. Tak hanya itu, Penyidik KPK juga akan mengecek bangunan-bangunan yang dibangun saat HS menjabat dan menyalahi aturan yang berlaku. "Misalnya ada bangunan hotel yang didirikan pada periode yang bersangkutan (HS) menjabat wali kota ternyata melanggar aturan ya, nanti kita cek apakah ada factor Xnya," ucapnya. Alex menyebutkan, selama HS menjabat Wali Kota Yogyakarta, pihaknya juga kerap mendengar keluhan masyarakat adanya proses perizinan yang bermasalah. Atas tindak kejahatan suap menyuap tersebut, tersangka Haryadi Suyuti, Triyanto Budi Wuyono dan Nur Widihartana sebagai penerima suap dipersalahkan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Oon Nusihono sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [Ode]
Berita Terkait