Amnesty International Sebut Rusia Bersalah Atas Kejahatan Perang dalam Penembakan di Kharkiv

Surya Feri
Surya Feri
Diperbarui 14 Juni 2022 10:55 WIB
Jakarta, MI - Penembakan tanpa henti Rusia terhadap kota Kharkiv di Ukraina timur dengan munisi tandan dan ranjau darat yang tersebar merupakan kejahatan perang yang tanpa pandang bulu membunuh ratusan warga sipil, kata Amnesty International. Kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv, berada di bawah pengeboman hampir terus-menerus sejak awal invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari hingga pasukan Ukraina mendorong Rusia menjauh dari kota itu pada Mei. Ukraina mengatakan 606 warga sipil tewas di sana dan 600.000 orang dievakuasi. Amnesty mengatakan bahwa mereka telah menemukan selama 14 hari penyelidikan pada bulan April dan awal Mei bukti bahwa Rusia telah menggunakan munisi tandan dan ranjau yang tersebar di Kharkiv. "Pemboman berulang terhadap lingkungan perumahan di Kharkiv adalah serangan membabi buta yang menewaskan dan melukai ratusan warga sipil, dan dengan demikian merupakan kejahatan perang," kata Amnesty International dalam sebuah laporan seperti di kutip dari Reuters pada Selasa (14/6). Sebelumnya, pihak Kremlin membantah menargetkan warga sipil dan menuduh Ukraina memalsukan bukti kejahatan perang. Kedua negara tidak menandatangani perjanjian internasional yang melarang munisi tandan. Tetapi penggunaan senjata semacam itu masih merupakan kejahatan perang jika tidak pandang bulu dan membunuh atau membahayakan warga sipil, kata konsultan penelitian Amnesty International Jean-Baptiste Gallopin kepada Reuters. Sebagai contoh, dia mengutip serangan munisi tandan di taman bermain di Jalan Mira Kharkiv, yang katanya menewaskan sembilan orang dan melukai 35 orang. Gallopin mengatakan Amnesty juga menemukan bahwa pasukan Ukraina telah melanggar hukum humaniter internasional dengan menempatkan artileri di dekat bangunan tempat tinggal, menarik tembakan Rusia, meskipun dia mengatakan ini "sama sekali tidak membenarkan penembakan kota tanpa pandang bulu oleh pasukan Rusia".