Bharada E Dikhawatirkan Bernasib Sama Seperti Kasus Polisi Terdahulu!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 Agustus 2022 01:06 WIB
Jakarta, MI - Bharada E telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Brigadir J alias Brigadir Yosua di rumah mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo beberapa waktu lalu, pada hari Rabu (4/8/2022). Pemilik nama asli Bharada Richard Eliezer itu disangkakan dengan Pasal 388 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun penjara. Hal itu, karena penyidik menganggap aksi Bharada E bukan sebagai tindakan membela diri. Walaupun Bharada E sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dar-der-dor di rumah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo itu, tetapi hal ini tak dapat menghentikan berbagai spekulasi liar yang beredar di masyarakat. Banyak yang menduga, Bharada E bukanlah satu-satunya orang yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J. Sebab masih ada kenjanggalan yang masih ditemukan dan beredar dimuka umum. Menanggapi hal ini, Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria turut buka suara. Kurnia begitu ia disapa, menilai Bharada E dikhawatirkan bernasib sama dengan kasus-kasus terdahulu yang melibatkan anggota Polisi juga. "Saya khawatir Bharada Eliezer ini bernasib sama dengan nasib AKBP Dalizon Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumatera Selatan mantan Kapolres Ogan Komering Ulu bulan Juni 2021 lalu yang harus bertanggung jawab sendiri karena menguasai uang sebesar Rp 2,5 milyar yang disimpan di kardus dirumahnya hasil suap terdakwa lainnya Bupati Non aktif Musi Banyuasin Sumatera Selatan Dodi Reza Noerdin," kata Kurnia saat dihubungi Monitorindonesia.com, Sabtu (6/8) malam. Kurnia melanjutkan, bahwa dalam kasus dugaan suap Dinas PUPR Musi Banyuasin yang akan diberikan kepada atasannya Kombes Anton Setiawan Direktur Ditreskrimsus Polda Sumatera Selatan. Selain itu, ia juga menyinggung kasus pada tahun 1972 terjadi pad Brigadir Pol. Djani Maman Surjaman harus menanggung sendiri vonis hukuman Mahkamah Militer 1 tahun 6 bulan karena dianggap pelaku penembak dan pengeroyokan tewasnya mahasiswa "gondrong" ITB Rene Louis Concrad. "Dikeroyok rombongan konvoi Taruna Akademi Kepolisian Sukabumi pulang kembali ke barak di Babakan Siliwiangi dulu bernama Jl. Ganesha Asrama F mahasiswa Bandung setelah terjadi keributan setelah pertandingan persahabatan sepakbola antara AKPOL vs ITB yang dimenangkan ITB 2-0 tanggal 6 Oktober 1970," jelasnya. Pertandingan sepakbola persahabatan yang berakhir kericuhan, menurut Kurnia, sebetulnya cara Kapolri Hoegeng Imam Santoso dan Gubernur Akpol Irjen Awaluddin Djamin dan Rektor ITB Doddy Achdiat Tisna Amidjaja meredam aksi razia mahasiswa gondrong oleh pihak aparat keamanan sejak tahun 1967. "Karena dianggap bukti perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto," katanya. Atau juga, lanjut dia, kasus pembunuhan Polisi yang tidak terungkap Kasus Penembakan anggota Provost Polair Baharkam Mabes Polri Bripka Supardi yang tewas ditembak di Jl. Rasuna Said Kuningan persis depan kantor KPK 10 September 2013 malam saat mengawal konvoi 6 truk yang mengangkut elevator part proyek Rasuna Tower diatas kendaraan motor Honda Supra X-125 TXL yang ditembak oleh orang tidak dikenal. "Kemudian, kasus Bharada Rizky Dwi Wicaksono anggota Detasemen B Satuan III Pelopor Brimob Kelapa Dua Depok dikeroyok 10 orang hingga tewas di depan Halte UI Depok dini hari 1 Juli 2014 saat naik taksi Indah Family B 2614 BL ketika akan pulang ke Pasuruan dihadang 5 motor didepan halte Universitas Indonesia," ungkapnya. Korban, saat itu dipaksa turun dan dikeroyok 10 orang tanpa dikenal hingga tewas dan saat dibawa Lettu Marinir Ikpan setelah korban tergeletak berlumuran darah dan meninggal saat menuju RS Bhayangkara Polri Brimob Kelapa Dua Depok. "Dua kejadian itu juga hingga sekarang belum terungkap dan dianggap dibunuh oleh teroris. Padahal saya anggap pembunuhan kedua Polisi itu ada dugaan masalah pembagian perebutan bisnis lahan "fee atau job'' diluar dinas yang tidak resmi, karena tidak cukup bukti perbuatan teroris," jelasnya. Atas kasus tersebut, Kurnia kembali mengaku khawatir, Bharada E bisa bernasib sama dengan kasus terdahulu itu. "Saya khawatir kasus Bharada Eliezer jadi korban "kasus yang sebenarnya diaembunyikan" dimana tiba-tiba Tim Kuasa Hukum Bharada Eliezer mengundurkan diri," katanya. Apalagi dengan pengunduran diri kuasa hukum Bharada E, Andreas Nahot Silitonga pada Sabtu 5 Agustus 2022, kata Kurnia, tentunya Bharada E harus mencari pendamping hukum lainnya. Jika tidak, ia terpaksa harus berjuang sendiri. "Dimana Bharada Eliezer harus berjuang sendiri membela dirinya sebagai "tumbal" pasang badan kesalahan atasan" seperti nasib Brigadir Djani atau AKBP Dalizon atau bila "bernyanyi" dirinya terancam "dihilangkan" seperti Brigadir Yosua sendiri, Bripka Supardi atau Bharada Rizky Dwi," ungkapnya. "Seperti buah simalakama dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati," imbuhnya.