Tudingan Mahkamah Keluarga Sudah Terbantahkan

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 16 Oktober 2023 14:26 WIB
Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan menolak uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10). Menurut pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra putusan tersebut sekaligus membantah bahwa MK adalah "Mahkamah Keluarga". "Dugaan bahwa Anwar, Jokowi, Gibran dan bahkan Kaesang yang belakangan menjadi Ketua PSI sebagai Pemohon akan menjadikan MK sebagai 'Mahkamah Keluarga' ternyata tidak terbukti," ujar Yusril kepada wartawan, Senin (16/10). Putusan tersebut juga semakin mempertegas posisi MK yang tak bisa diintervensi dan merupakan penjaga konstitusi. Apalagi, tambah dia, Ketua MK Anwar Usman yang notabenenya adalah ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) sependapat dengan mayoritas hakim konstitusi lainnya. "MK dapat memposisikan diri sebagai penjaga konstitusi dan tidak mudah diintervensi oleh siapapun juga". "Ketua MK Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran Rakabuming Raka yang diduga berkepentingan dengan permohonan, ternyata sependapat dengan mayoritas hakim MK," imbuh Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres & Cawapres MK telah menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda, Senin (16/10). Dalam gugtannya, PSI memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun, sebagaimana yang pernah diatur dalam Pasal 5 huruf (o) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 6 huruf (q) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sementara Partai Garuda memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, mengatakan, mahkamah berkesimpulan permohonan yang diajukan oleh PSI tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. "Pasal 69 huruf (q) UU Pemilu tidak melanggar hak atas tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan hak atas pengakuan". Kemudian, tidak pula melanggar jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memeroleh kesempatan yang salam dalam pemerintahan. "Dengan demikian dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata hakim konstitusi Saldi Isra menjelaskan pertimbangan MK. Mahkamah menjelaskan perkara ini mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan dengan perkara Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI dan telah dibacakan sebelumnya, sehingga dalil dalam perkara ini tidak pula beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. "Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya," kata Anwar. Sebagaimana pertimbangan mahkamah untuk putusan uji materi pasal yang sama oleh PSI, mahkamah menilai Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian, tidak pula melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Kendati, dalam sidang ini terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan MK dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah. (Wan)