Kehilangan Arah?


Karikatur, Monitorindonesia.com - Pemilihan umum (Pemilu) atau politik lima tahuan tak lepas dari masalah dan kecurangan, baik kecurangan sistemik, terstruktur, dan masif.
Sah-sah saja orang berkata demikian. Toh pemilu (Pilpres) 2024 ini narasi-narasi demikian bertebaran dimana-mana, apalagi kepada kubu-kubu yang berpotensi mengalami kekalahan.
Apakah ini dipicu hilangnya asas Pemilu yang Luber dan Jurdil, yang merupakan akronim dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil? Tentun ini menjadi pehatian penyelenggara pemilu dan jajarannya.
Asas Luber sudah ada sejak Pemilu Orde Baru, dan saat ini ditambah lagi dengan asas jujur dan adil. Pertanyaannya, siapa yang harus jujur dan adil dalam Pemilu? Pertanyaan ini tentu dengan mudah dijawab, bahwa semua yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus jujur dan adil.
Namun yang paling dituntut untuk bisa berbuat jujur dan adil tentu penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu.
Selain itu juga pemerintah sebagai fasilitator Pemilu, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga dituntut untuk berbuat jujur dan adil.
Pertanyaan berikutnya lagi, adalah apakah para penyelenggara Pemilu itu mampu berbuat jujur dan adil? Seharusnya mampu, karena mereka yang terpilih sebagai pimpinan KPU dan Bawaslu telah melalui proses seleksi yang ketat.
Mulai dari seleksi administrasi, CAT, kesehatan hingga selesi wawancara. Tentu salah satu penilaian dalam proses seleksi itu adalah integritas. Di mana integritas itu antara lain dengan bersikap jujur dan adil.
Jujur dan adil itu keharusan. Melakukan tugas-tugas sesuai dengan peraturan dan juknis yang dijadikan dasar dalam bekerja.
Mulai dari pelaksanaan tahapan Pemilu, hingga hasil Pemilu itu sendiri.
Semua harus dilakukan secara jujur dan transparan. Ketika ada kesalahan, bisa dibetulkan dan diperbaiki.
Berbeda jika ada penyelenggara yang melakukan kebohongan dalam pelaksanaan Pemilu, maka ketika ketahuan pun akan ditutupi dengan kebohonan pula. Hal seperti inilah yang tidak boleh dilakukan para penyelenggara Pemilu.
Jika memang terbukti hanya kesalahan, maka ketika kesalahan itu terjadi, segera diperbaiki dan dibetulkan. Namun jika yang terjadi adalah rekayasa dan kecurangan, maka yang terjadi adalah kebohongan. Dan jika terbukti bohong, maka pasti akan ditutupi dengan kebohongan lagi.
Kejujuran ini juga wajib dilakukan oleh para peserta Pemilu, khususnya partai politik dan calegnya. Begitu pula dengan pemilih, jangan sampai berbohong dengan kegiatan yang terkait dengan Pemilu.
Begitu pula dengan asas adil, maka para penyelenggara Pemilu juga dituntut untuk bersikap adil. Adil kepada semua peserta Pemilu, kepada pemilih dan kepada seuruh masyarakat.
Ketika KPU memberikan fasilitasi untuk sosialisasi, maka semua elemen masyarakat harus ikut merasakannya. Jika kejujuran dan keadilan dalam Pemilu ini hilang, maka dipastikan Pemilu akan kacau dan kerusuhan akan terjadi.
Konflik antarpemilih dan antarpeserta Pemilu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, pemilu rasa Orde Baru pun bisa terjadi. Tidak ada lagi Luber dan Jurdil.
Lantas apakah sekarang "kehilangan arah?'
(Wan/GEC)