Ekonom INDEF: Pandemi Covid-19, Ujian Presiden dalam Mengelola Keuangan Negara

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 28 Juli 2021 23:10 WIB
Monitorindonesia.com - Krisis yang tengah melanda Tanah Air, seperti pandemi virus corona atau Covid-19 saat ini, adalah ujian bagi seorang pemimpin atau presiden. Karena itu, kepemimpinnya harus mampu memperlihatkan bagaimana menangani krisis dengan baik, termasuk bagaimana mengelola keuangan negara dalam rangka menuntaskan krisis tersebut. Pendapat ini disampaikan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J. Rachbini, M.Sc.,PhD ketika memberikan paparan bertema "Memahami Politik APBN” pada peserta Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa (SKPB) Akbar Tandjung Institute Angkatan X Seri 12 yang digelar secara zoom, Rabu (28/7/2021) malam. Hadir dalam acara ini, Direktur Program AT Institute, DR. Agustian, Direktur Eksekutif AT Institute, Dr. Puji Wahono, dan  Kepala Sekolah SKPB, Dr. Alfan Alfian. Sayangnya, lanjut Didik, kepemimpinan negara saat ini dikelola oleh mereka yang kurang mampu mengelola krisis. Buktinya, anggaran digelontorkan sangat tinggi melalui APBN, tapi dampaknya kurang terasa. “Karena itu, kritik atas pola kepemimpinan di saat krisis pandemi Covid-19 harus terus disuarakan, sebab tidak mungkin lingkaran dalam kekuasaan melakukan kritik atas jalannya pemerintahan,” ujarnya. Didik yang juga Ketua Dewan Pengurus LP3ES ini mengungkap pengalaman 9 tahun lalu ketika mendengar ceramah Joko Widodo (Jokowi) bahwa dia butuh waktu pendekatan 51 kali untuk memindahkan sektor informal tanpa harus menggusur. “Kalau dengan pola ini ingin memindahkan transmigrasi, sampai kapan pun tidak akan berhasil,” sindirnya seraya menambahkan kalau sebenarnya tidak sulit memahami bagaimana APBN itu, karena tidak rumit dan mudah diteliti, apalagi jika ada kejanggalan antara pemasukan dan pengeluaran. Menurut Didik yang juga Rektor Unversitas Paramadina ini, jika antara pemasukan dan pengeluaran ada perbedaan atau disparitas yang cukup tinggi, itu namanya defisit. “Nah, defisit anggaran atau APBN kita saat ini sangat besar, tidak sesuai dengan penggunaannya. Ini terlihat dari angka pendapatan yang bersumber dari pajak dan non pajak (hibah dan royalty) sebesar 1699 Triliun rupiah, tapi pengeluaran atau belanja pemerintah pusat dan daerah sebesar 2.670 Triliun rupiah,” sebut dia. Bahkan angka defisit 1000 Triliun rupiah ini, naik tiga kali lipat dari defisit sebelum pandemi Covid-19 yang hanya sekitar 300 Triliun rupiah. Kenapa demikian? Sebab ketika APBN ini disusun, proyeksi penambahan anggaran untuk penanganan Covid dinaikan. “Tapi apa yang terjadi, penanganan  Covid-19 masih morat-marit, padahal sudah disokong anggaran yang besar. Ini terjadi karena tidak ada check and balance yang kuat. Dan di masa krisis biasanya ada ekonomi rente yang  ikut bermain untuk mengutak atik APBN, tapi untuk kepentingan lain,” katanya. Sebenarnya lanjut Didik, ketika menjawab pertanyaan peserta SKPB, angka defisit 1000 triliun itu bisa dikurangi dengan langkah efesiensi yang dilakukan. Tapi hal ini malah tak terjadi, ujungnya generasi mendatang akanmenanggung utang yang sangat besar itu. “Saya sudah sering kritik. Cari saja di google, pasti banyak pernyataan saya soal kritik APBN ini. Jika tidak mau juga diperbaiki, itunamanya bebal, dan DPR sepertinya diam. Jadi DPR kurang kritis, sehingga APBN yang defisitnya sangat besar bisa lolos,” pungkas Didik. (Ery)

Topik:

Pandemi Covid-19