Kebijakan Tes PCR untuk Perjalanan, PKS Sinyalir ada Persaingan Bisnis

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 28 Oktober 2021 15:46 WIB
Monitorindonesia.com - Kebijakan tes polymerase chain reaction (PCR) bagi pelaku perjalanan dengan pesawat, dinisanyalir ada persaingan bisnis Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori menduga ada indikasi persaingan bisnis. Hal itu terlihat dari menjamurnya penyedia layanan tes PCR di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis, tergantung pada kecepatan hasil tes. Kecurigaan ini disampaikan Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Bukhori Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/10/2021), terkair kebijakan tes PCR. Menurut Bukhori, adanya kebijakan tersebut, para pebisnis tes PCR telah melanggar ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, yakni Rp495 Ribu (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp525 Ribu (luar Pulau Jawa dan Bali) dengan dalih 'PCR ekspres'. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp650 Ribu, Rp750 Ribu, Rp900 Ribu, hingga Rp1,5 Juta. "Menyusul dikeluarkannya kebijakan tersebut, sejak bulan Maret 2020 pemerintah juga telah memberikan insentif fiskal untuk importasi jenis barang berupa alat kesehatan untuk penanganan pandemi. Adapun jenis barang yang terkait dengan mekanisme tes PCR yang memperoleh insentif kepabeanan di antaranya PCR Test Reagent, Swab, Virus Transfer Media, dan In Vitro Diagnostic Equipment," bebernya. Bukhori menyebut, untuk PCR test reagent sendiri, total fasilitas pembebasan Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang telah diberikan untuk periode 1 Januari hingga 14 Agustus 2021 sebesar Rp366,76 Miliar, yaitu terdiri atas fasilitas fiskal berupa pembebasan BM sebesar Rp107 Miliar, PPN tidak dipungut sebesar Rp193 Miliar, dan PPh Pasal 22 dibebaskan dari pungutan sebesar Rp66 Miliar. Sedangkan, realisasi pemberian fasilitas periode tahun 2021 sampai dengan bulan Juli, total nilai insentif fiskal yang telah diberikan sebesar Rp799 Miliar dari nilai impor barang sebesar Rp4 Triliun. "Bisnis tes PCR ini terbukti sangat menggiurkan. Pasarnya selalu ada selama pandemi dan pengadaan impor barangnya didukung oleh insentif pemerintah. Data menunjukan, kelompok korporasi non-pemerintah memegang 77,16 persen aktivitas importasi alat kesehatan untuk penanganan pandemi di Tanah Air. Sedangkan, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan Covid-19," terang legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah I itu. Bukhori mencatat, dalam laporan yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) terjadi perputaran uang dari bisnis tes PCR sejak Bulan Oktober 2020 sampai Bulan Agustus 2021 diperkirakan mencapai Rp23,2 Triliun. Dari nilai tersebut, ICW menyebut pengusaha layanan tes PCR bisa meraih untung hingga Rp10,46 Triliun. "Penghitungan ICW ini didasarkan pada dimulainya pemberlakuan tarif tes PCR tertinggi sebesar Rp900 Ribu pada Oktober 2020 sampai diberlakukannya tarif baru Rp495-525 Ribu pada Agustus 2021," sebutnya. (Ery)