DPD Kritisi Diskriminasi Pemerintah Terhadap Pulau Sangihe Dibanding Maratua dan Sambit

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 November 2021 14:07 WIB
Surabaya, Monitorindonesia.com – DPD RI menyambut baik rencana pengembangan Pulau Maratua dan Pulau Sambit sebagai kawasan ekonomi biru atau blue economy. Kawasan tersebut, potensi perikanan dan wisata baharinya sangat luas. “Sebagai archipelago state, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Bukan hanya sumber daya perikanan tetapi juga potensi lain. Jadi menurut saya konsep ekonomi biru sangat tepat dikembangkan di Indonesia,” ujar Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di sela-sela kunjungan dapil, di Surabaya, Kamis (11/11/2021). Namun, Ketua DPD ini menyorot perbedaan perlakuan antara Pulau Maratua dan Pulau Sambit dengan Pulau Sangihe. Karena Pemerintah Pusat melalui Kementerian ESDM justru mengeluarkan izin pertambangan kepada perusahaan asal Kanada untuk mendulang emas di Pulau Sangihe. Padahal Pulau Sangihe jelas masuk dalam koridor Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. “Jelas di UU tersebut atas Pulau Sangihe tidak boleh diterbitkan izin penambangan mineral. Apalagi skala besar dengan luas separo pulau, dan harus merelokasi dan menata ulang penduduk di beberapa kecamatan di sana. Selain melanggar UU, izin dari ESDM itu juga tidak konsisten dengan konsep green investasi atau blue economy yang digagas Presiden Jokowi,” tukas Ketua DPD itu. Dikatakan LaNyalla, Pulau Sangihe sesuai UU sebaiknya tetap diorientasikan kepada pendapat negara dari sektor perikanan, kelautan dan pariwisata. Kalau pun ada penambangan, jadikan penambangan rakyat. “Berdayakan aja rakyat di sana melalui koperasi, untuk menjadi usaha pertambangan rakyat,” imbuhnya. Konsep ekonomi biru memang sedang digalakkan pemerintah di era Presiden Jokowi. Dengan optimalisasi di sektor perikanan untuk pulau-pulau kecil. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan hasil tangkapan ikan terbesar kedua di dunia, setelah China. Kontribusi sektor perikanan bahkan mencapai 29,6 dollar AS atau 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. “Mengeksplorasi potensi dan strategi implementasi konsep blue economy di Indonesia ini sangat penting karena pembangunan yang berkelanjutan bisa mendorong pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi Covid-19," tutur LaNyalla. Artinya, lanjut LaNyalla, melimpahnya sumber daya alam sektor maritim dan bahari Indonesia harus dikembangkan secara optimal sebagai pengungkit untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja untuk mendorong konsep ekonomi biru itu, LaNyalla mengingatkan tantangan besar yang harus dihadapi. Yakni pencemaran laut akibat limbah. Baik limbah industry dan pertambangan, maupun limbah rumah tangga dan plastik. “Makanya kita harus membuat kesadaran masyarakat semakin meningkat untuk tidak menghasilkan limbah yang bisa merusak laut. Kemudian memperbaiki cara menangkap ikan agar tidak berlebihan, menjaga terumbu karang dari kerusakan, juga memperbaiki infrastruktur destinasi wisata bahari,” tutur Senator asal Jawa Timur itu. Konsep ekonomi biru, kata LaNyalla, memerlukan lintas sektoral dalam pelaksanaannya. Maka perlu sinergitas antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Restorasi Hutan Mangrove, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pemerintah daerah.