Penutupan PLTU Batubara Terhalang Kecilnya Mobilisasi APBN

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Oktober 2023 17:42 WIB
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (Foto: Ist)
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/2023 tentang Pembiayaan Penutupan Pembangkit Listrik Uap (PLTU) Batubara. 

Dengan diterbitkannya PMK tersebut, pembiayaan penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih cepat dari rencana awal dengan menggunakan APBN.

Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan komitmen untuk mempercepat penutupan PLTU Batubara sering terhalang oleh kecilnya mobilisasi dana domestik terutama dari APBN. 

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar dukungan dari APBN sebaiknya berbentuk pengalihan subsidi energi berbahan bakar fosil kepada program penutupan PLTU batubara PLN. 

Dengan perhitungan jika asumsinya satu PLTU batubara dengan kapasitas setara PLTU Cirebon-1, maka akan membutuhkan dana Rp13,4 triliun untuk pensiun dini. 

"Maka penghematan belanja subsidi energi senilai 28% dari alokasi subsidi energi APBN 2024 sebesar Rp189 triliun menghasilkan penutupan 4 PLTU batubara," kata Bhima kepada Monitorindonesia.com, Rabu (25/10).

Menurutnya, penghematan subsidi energi memang tidak selalu berbentuk kenaikan harga atau pengurangan kuota bagi konsumen. 

Namun juga bisa berbentuk menutup kebocoran BBM solar, dan kebocoran subsidi LPG 3kg yang selama ini terjadi.

Bhima menambahkan, cara lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan segera mengimplementasikan pajak karbon untuk mendapatkan sumber pendapatan transisi energi. 

Karena regulasi pajak karbon sudah ada, jadi tinggal di eksekusi secepatnya.

"Disamping pendanaan secara tunai, pemerintah bisa mengurangi berbagai insentif perpajakan dari sektor berbasis fosil sehingga tercipta ruang fiskal yang lebih lebar untuk pendanaan transisi energi," jelasnya. 

Dirinya menilai, proses pendanaan dari dana publik-APBN itu harus bersifat transparan dan partisipatif. 

Salah satunya untuk pendanaan early retirement dari PLTU batubara memasukkan dana kompensasi kepada masyarakat sekitar dan pekerja yang terdampak.

"Bentuk dana kompensasi bisa berupa dana tunai kepada masyarakat, tambahan dana ke BPJS Ketenagakerjaan, dan reskilling atau peningkatan skill dari pekerja existing," ujarnya.

"Sehingga proses pendanaan dalam JETP (Just Energy Transition Partnership), ETM hingga komitmen investasi China yang baru di sektor energi bersih bisa segera direalisasikan," sambung Bhima. 

Selain itu, pemerintah bisa menggunakan berbagai instrumen dana penutupan PLTU batubara.

Seperti debt swap for coal retirement, yakni menukar pembayaran utang dengan penutupan PLTU batubara. 

Atau, lanjut Bhima, dengan debt cancellation yang bisa didorong ke negara maju-G7 sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk melakukan transisi energi secara cepat. 

"Pemerintah perlu selektif dan mempertimbangkan secara matang bentuk kerjasama pendanaan agar tidak terjebak pada impor teknologi yang mahal dan belum terbukti seperti CCS/CCUS, hingga bentuk-bentuk solusi yang tetap memperpanjang usia PLTU batubara (co-firing, biomassa dsb)," tutup Bhima. (Han)