Jalur Pidana MBG: Dugaan Korupsi dan Kelalaian

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Oktober 2025 2 jam yang lalu
Kepala BGN Dadan Hindayana dalam konferensi pers Evaluasi BGN terkait Program Makan Bergizi Gratis Tahun 2025 di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, Senin (22/9/2025)
Kepala BGN Dadan Hindayana dalam konferensi pers Evaluasi BGN terkait Program Makan Bergizi Gratis Tahun 2025 di Kantor Badan Gizi Nasional, Jakarta, Senin (22/9/2025)

Jakarta, MI - Kasus keracunan massal di program Makan Bergizi Gratis atau MBG bisa dilaporkan sebagai dugaan tindak pidana ke polisi.

Korban keracunan atau masyarakat secara umum, bisa melaporkan pihak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga lalai menjaga keamanan makanan.

Bahkan, laporan juga bisa ditujukan kepada pejabat yang diduga lalai, menyalahgunakan wewenang, atau korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.

“Misalkan ada indikasi korupsi katakanlah ya, dalam penunjukan vendor dan lain sebagainya. Atau mungkin ada penyalahgunaan kewenangan oleh institusi tertentu dalam pelaksanaan proyek MBG. Ini juga bisa dilaporkan secara pidana, apalagi kalau itu melanggar undang-undang, misalkan tipikor, undang-undang di isu kesehatan,” kata  Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana dikutip Kamis (2/10/2025).

Menurut Arif, sebenarnya kepolisian sudah bisa bergerak mengusut kasus keracunan massal, meskipun tidak ada laporan. “Ya ini delik umum, ada (dugaan) kelalaian. Harusnya ada penyelidikan oleh pihak polisi dan itu tugas mereka melakukan penegakan hukum."

"Siapa lagi kalau bukan polisi? Karena mandat penegakan hukum di dalam konstitusi dalam peraturan perundang-undangan itu kepolisian. Ya mungkin ada juga penyidik PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) di kementerian-kementerian tertentu. Tetapi muaranya kepolisian juga,” timpalnya.

Selain itu, korban keracunan MBG juga bisa meminta ganti rugi melalui gugatan perdata atau class action. Gugatan ini mencakup kerugian materiil seperti biaya rumah sakit dan kerugian orang tua saat merawat anak, hingga kerugian immateriil seperti trauma dan tekanan psikologis.

Karena jumlah korban banyak, Arif menilai mekanisme class action lebih relevan. Gugatan ini bisa diajukan oleh perwakilan kelompok korban sehingga lebih efisien.

“Dan enggak harus dikumpulkan dalam waktu cepat. Tetapi kan class action itu artinya gugatan perwakilan kelompok. Untuk mempermudah gugatan, karena kalau yang korbannya banyak kan, kalau gugat satu-satu kan pengadilan penuh. Jadi bisa lewat perwakilan kelompok. Jadi ada kelompok yang mewakili misalnya klaster-klaster tertentu,” kata Arif.

Misalnya, klaster bisa dibagi ke dalam kelompok anak yang mengalami mual ringan, kelompok yang dirawat di rumah sakit, hingga keluarga yang menanggung biaya besar. “Class action itu jalan tengah, supaya kelompok besar bisa menuntut bersama-sama,” kata Arif.

Lain itu, masyarakat yang tidak menjadi korban juga bisa menempuh jalur hukum atas kejadian keracunan massal di program MBG. Mekanisme ini dikenal dengan citizen lawsuit.

Gugatan hukum ini diajukan warga negara terhadap pemerintah yang dianggap lalai dalam menjalankan kebijakan.  Dasarnya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perbuatan melawan hukum.

Gugatan warga negara tidak bertujuan meminta ganti rugi, melainkan mendesak pemerintah mengubah atau menghentikan kebijakan yang dinilai membahayakan publik.

“Dan tuntutannya bukan ganti kerugian, tetapi mendorong pemerintah, negara, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bisa dalam bentuk mengubah kebijakan atau merevisi kebijakan, membatalkan kebijakan, menghentikan kebijakan, itu bisa dilakukan,” jelas Arif.

Arif mengatakan gugatan citizen lawsuit merupakan hak konstitusional warga negara. “Cukup punya KTP Indonesia, sudah bisa mengajukan citizen lawsuit. Bisa sendiri atau bersama LBH (lembaga bantuan hukum), bisa ke pengadilan negeri,” jelas Arif.

Dengan cara ini, publik bisa menuntut pemerintah menghentikan sementara MBG, mengevaluasi vendor, hingga merevisi aturan pelaksanaan. Arif menekankan, upaya laporan pidana atau perdata bisa berjalan meski terdapat perjanjian antara orang tua murid dan dapur umum atau SPPG.

Di beberapa daerah, muncul surat persetujuan dari orang tua supaya tidak menggugat pihak sekolah jika mengalami keracunan akibat MBG. Dari penelusuran KBR di salah satu sekolah di Jawa Barat, juga ada klausul perjanjian yang meminta pihak sekolah merahasiakan jika terjadi kasus keracunan.

Menurut Arif, surat atau perjanjian itu batal demi hukum karena dinilai bertentangan dengan undang-undang. “Itu perjanjian yang melanggar hukum, perjanjian yang melanggar hukum menurut Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ya itu batal demi hukum, artinya tidak berlaku."

"Tidak boleh perjanjian itu menjanjikan sesuatu yang melanggar hukum, karena menggugat melaporkan ke institusi tertentu dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM itu hak warga negara, yang diatur di undang-undang, di peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar,” katanya.

Dugaan pemangkasan anggaran

Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan temuannya terhadap dugaan pemangkasan anggaran dalam pelaksanaan program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu. 

Program yang menyasar anak sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas ini dikelola oleh BGN.

Awal mula terungkapnya dugaan pemangkasan anggaran tersebut adalah ketika Ketua KPK Setyo Budianto membeberkan informasi yang diterima pihaknya, saat kunjungan jajaran Badan Gizi Nasional (BGN) di Gedung Merah Putih KPK, pada Rabu lalu, 5 Maret 2025. 

Saat itu, Setyo mengatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan adanya pengurangan anggaran makanan bergizi gratis yang tidak sesuai dengan pagu yang ditetapkan.

“Kami sudah menerima laporan adanya pengurangan makanan yang seharusnya diterima senilai Rp 10.000, tetapi yang diterima hanya Rp 8.000. Ini harus jadi perhatian karena berimbas pada kualitas makanan,” kata Setyo.

Setyo mengingatkan agar distribusi dana yang terpusat di BGN tidak menimbulkan penyimpangan di tingkat daerah. Dia mengingatkan jangan sampai begitu sampai di daerah, anggarannya seperti es batu yang mencair.

Dia juga menekankan pentingnya tata kelola keuangan yang transparan. Ia mendorong keterlibatan masyarakat, semisal NGO independen dan penggunaan teknologi dalam pengawasan penggunaan anggaran.

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa dalam melaksanakan Program Makan Bergizi Gratis, ada sejumlah potensi penyimpangan. Salah satunya adalah adanya potensi kecurangan (fraud). "Semua terpusat di BGN, tentu tidak bisa diawasi sampai ke daerah dan wilayah,” ujarnya.

Selain potensi kecurangan, dia menyoroti eksklusivitas dalam penentuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Setyo menyatakan bahwa berita sumir beredar soal ada yang mendapat perlakuan khusus dalam penentuan SPPG atau pihak-pihak yang menjadi dapur, termasuk pembangunan fisiknya dan bahan bakunya. Ini tentu menjadi perhatian untuk bisa ditertibkan.

Menanggapi temuan KPK, Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menegaskan bahwa tidak ada pemangkasan anggaran dalam program makan bergizi gratis. Ia menjelaskan bahwa perbedaan pagu harga bahan baku disesuaikan dengan kondisi harga di masing-masing daerah.

"Disesuaikan at cost. Misalnya Papua dengan Jakarta, pagu bahan bakunya berbeda, tidak sama," kata Dadan, Sabtu (8/3/2025) lalu.

Dadan juga menyampaikan bahwa perbedaan pagu anggaran dalam program MBG bukanlah hal baru. Sejak awal program berjalan, penyesuaian harga bahan baku telah diterapkan. Ia mencontohkan bahwa siswa kelas 4 SD hingga SMA, termasuk para santri, mendapatkan pagu bahan baku senilai Rp 10.000 per hari. "Anak PAUD hingga kelas 3 SD itu yang patokan pagu bahan bakunya Rp 8 ribu," jelas Dadan.

Meskipun terdapat perbedaan pagu, Dadan memastikan bahwa hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas maupun kandungan gizi makanan yang diberikan. 

Dia menegaskan bahwa setiap makanan yang disajikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program MBG diawasi secara ketat, baik dari segi kebersihan, nilai gizi, maupun faktor lain yang membuatnya menarik bagi penerima manfaat. 

"Jadi intinya disesuaikan cost. Kalau kelebihan akan dikembalikan, kalau kekurangan akan ditambahkan," tandas Dadan.

Topik:

BGN MBG Korupsi MBG