Telat Bangun Smelter, Potensi Denda Freeport Rp7,7 Triliun

Rendy Bimantara
Rendy Bimantara
Diperbarui 6 Desember 2023 11:04 WIB
Pembangunan Smelter Freeport di Gresik (Foto: PTFI)
Pembangunan Smelter Freeport di Gresik (Foto: PTFI)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung potensi denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dari PT Freeport Indonesia (PTFI). Besaran denda itu mencapai US$501,94 juta atau setara dengan Rp7,77 triliun.

Asumsi perhitungan itu berasal dari data realisasi penjualan ekspor Freeport selama periode keterlambatan, sebelum masa perpanjangan izin ekspor berlaku tengah tahun ini.

“Hal ini mengakibatkan negara berpotensi tidak segera memperoleh penerimaan denda administatif dari PTFI sebesar US$501,94 juta,” tulis BPK lewat ringkasan laporan pemeriksaan semester I/2023, dikutip Selasa (5/12).

Denda itu berdasar pada perhitungan realisasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian Freeport yang tidak sesuai dengan ketentuan. BPK menemukan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan sebelum adanya perubahan rencana pembangunan tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik.

BPK menyarankan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menetapkan kebijakan mengenai kejelasan formula perhitungan denda keterlambatan pembangunan smelter tersebut. Selanjutnya, bunyi rekomendasi badan audit itu, untuk menyampaikan penetapan denda kepada PTFI dan menyetorkan ke kas negara.  S

Kementerian ESDM tengah memfinalisasi besaran denda administratif atau penalti keterlambatan pembangunan smelter dari lima perusahaan mineral logam yang mendapat relaksasi ekspor konsentrat hingga 31 Mei 2024.

Pemerintah memberi kelonggaran izin ekspor konsentrat pada PT Freeport Indonesia (tembaga), PT Amman Mineral Nusa Tenggara (tembaga), PT Sebuku Iron Lateritic Ores (besi), dan dua smelter milik PT Kapuas Prima Coal, yakni PT Kapuas Prima Citra (timbal) dan PT Kobar Lamandau Mineral (seng).

Lima perusahaan itu bakal tetap dikenakan denda atas keterlambatan fasilitas pemurnian sebesar 20% dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri untuk setiap periode keterlambatan dengan tetap mempertimbangkan dampak pandemi Covid-19. (Ran)