Pekan Depan, DPR "Kuliti" Menteri Bahlil soal IUP dan HGU!

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 15 Maret 2024 17:58 WIB
Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, Jumat 9 Juni 2023 (Foto: X/Twitter Bahlil Lahadalia)
Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, Jumat 9 Juni 2023 (Foto: X/Twitter Bahlil Lahadalia)

Jakarta, MI - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan melakukan pemanggilan ulang terhadap Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pekan depan. 

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Sarmuji menyatakan, pembahasan rapat dengan Bahlil selain terkait dengan kinerja, juga akan turut meminta penjelasan mengenai isu hangat. Dugaan penyalahgunaan wewenang pencabutan dan pengaktifan izin usaha pertambangan (IUP) serta HGU, misalnya.

"Jadwal (rapat dengan) Pak Bahlil baru pekan depan, kemungkinan hari Rabu. Agenda utamanya adalah soal kinerja investasi 2023 dan proyeksi investasi 2024," katanya kepada wartawan, Jum'at (15/3/2024).

"Memang tidak menutup kemungkinan, kita akan menanyakan soal pemberian dan pencabutan IUP dan HGU, sebagaimana yang menjadi sorotan masyarakat," tambahnya.

Bahlil seharusnya pada Kamis (14/3/2024) kemarin dipanggil Komisi VI DPR RI, namun batal hadir karena ada agenda lain yang tak bisa ditinggalkan. Tetapi, Bahlil justru mengunjungi Kementerian ESDM.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto sebelumnya membenarkan rencana pemanggilan Bahlil dilakukan terkait dugaan penyelewengan wewenang. Bahlil bakal dipanggil dalam kapasitas sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Sugeng mengatakan, Bahlil diduga menyalahgunakan wewenang sebagai ketua satgas dalam mengevaluasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit beberapa perusahaan.

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto pun mengklaim bahwa berbagai fraksi di Komisi VII DPR mendukung pembentukan pansus tambang. Pansus itu diperlukan untuk mengusut segala macam dugaan pelanggaran yang dilakukan Satgas Penataan Investasi yang dipimpin Bahlil.

Nantinya, Komisi VII juga akan meminta penjelasan soal laporan adanya tumpang tindih kewenangan izin usaha pertambangan antara BKPM dengan Kementerian ESDM.

Sekedar tahu, nama Bahlil Lahadalia belakangan tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah. Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. 

Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya. Pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Sepanjang 2022, menurut catatan Bloomberg Technoz, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral  dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.

Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Musabab pencabutan IUP tersebut  dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam UU Minerba.

"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” ujarnya, dikutip dari laman resmi DPR.

Dia pun menegaskan pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119  UU Minerba.  

Beleid itu menyatakan izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di  antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit. 

"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," kata Sugeng.