Pelaku Pasar Diminta Antisipasi Sentimen Suku Bunga The Fed dan Pelemahan Ekonomi Cina

Carlos Fajar
Carlos Fajar
Diperbarui 15 Juli 2024 1 hari yang lalu
Ilustrasi IHSG (istimewa)
Ilustrasi IHSG (istimewa)

Jakarta, MI - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melanjutkan tren penguatan dalam sepekan sebesar 1,02% atau 74 poin ke level 7.327 dengan net buy asing sebesar 1,3 T pada akhir perdagangan Jumat, 12 Juli 2024.

Equity Analis Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi menjelaskan mulai 21 Juni 2024 hingga saat ini IHSG terus konsisten bergerak di atas EMA5 yang menunjukkan bahwa pelaku pasar sangat optimis dengan kondisi pasar saat ini. 

IHSG akan menguji area psikologisnya di area 7369 – 7403. Jika data-data selama satu pekan ke depan sesuai dengan ekspektasi pasar, ada kemungkinan IHSG akan menembus area psikologis tersebut dan akan menguji level berikutnya di 7454 atau level ATH-nya.

Terkait penguatan IHSG pekan lalu, terang Imam, IHSG tertopang 2 top gainers yakni IDX PROPERTY yang menguat +7,25% dan IDX INDUST yang menguat +3,32%. Sementara itu, 2 top losers yang menyandera IHSG yakni IDX BASIC yang melemah -0,53% dan IDX ENERGY yang melemah -1,49%.

Dijelaskan Imam, ada beberapa sentimen yang mewarnai penguatan IHSG pada pekan lalu, diantaranya Indonesia Consumer Confidence, Indonesia Total Car Sales, penjualan sepeda motor, inflasi AS serta inflasi dan neraca perdagangan China.

Pertama, Indonesia Consumer Confidence (Juni 2024). Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) atau Consumer Confidence mengalami penurunan dari periode sebelumnya di bulan Mei 2024 di level 125,2 turun ke level 123,3 Juni 2024. 

"Walaupun mengalami penurunan dari periode sebelumnya, namun level tersebut masih berada di atas level optimis atau di atas 100. Tetap optimisnya Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia didorong oleh kuatnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)," ujar Imam, Minggu (14/7/2024).

Kedua, Indonesia Total Car Sales (Juni 2024). GAIKINDO baru saja merilis data penjualan mobil untuk bulan Juni 2024. Meski penjualan mobil mengalami penurunan 11,8% (yoy), angka tersebut lebih baik dari bulan sebelumnya yang turun sebesar 13,3% (yoy).

"Pelambatan penjualan mobil ini sesuai dengan melambatnya ekonomi khususnya domestik, misalnya jika kita melihat bagaimana data PMI Manufaktur yang melambat ke level 50,7 poin di Juni 2024 dari level 52,5 poin di Juni 2023," kata dia.

Ketiga, penjualan sepeda motor (Juni 2024). Berbeda kondisi dengan penjualan mobil, penjualan sepeda motor mulai membaik selama 3 bulan terakhir dan berhasil mencatatkan pertumbuhan 3,5% (yoy) pada bulan Juni 2024. 

"Data ini menunjukkan bahwa mulai ada perbaikan dari kelas ekonomi menengah ke bawah yang tentunya cukup baik untuk negara berkembang seperti Indonesia," kata Imam.

Keempat, US Inflation (Juni 2024). Inflasi tahunan AS turun ke level 3% (yoy) di bulan Juni 2024 dan sudah turun selama 3 bulan berturut-turut dan terendah sejak Juli 2023. Dari sisi core inflation (tidak memperhitungkan variabel energi dan makanan) juga mengalami penurunan ke level 3,3% (yoy) yang merupakan angka terendah selama 3 tahun terakhir. 

"Bersamaan dengan data tersebut, pelaku pasar berharap bahwa The Fed akan segera menurunkan tingkat suku bunga acuannya pada FOMC September mendatang," tambahnya.

Berdasarkan CME FedWatch yang mengukur tingkat kemungkinan penurunan suku bunga yang dilakukan The Fed, 86,4% kemungkinan The Fed mulai akan memangkas suku bunganya pada September nanti, meningkat dibandingkan beberapa hari sebelumnya yang hanya sekitar 70%.

Kelima, China Inflation & Neraca Perdagangan China (Juni 2024). China baru saja merilis data inflasi tahunan untuk bulan Juni 2024, hasilnya inflasi China turun ke level 0,2% (yoy) lebih rendah dari periode sebelumnya di level 0,3%, dan juga di bawah konsensus 0,4%. 

Menurut Imam, menurunnya inflasi China tentu menjadi sentimen negatif untuk ekonomi domestik, karena China merupakan partner dagang terbesar Indonesia dan bisa saja berimbas pada neraca dagang Indonesia yang akan rilis di pekan ini. 

"Data inflasi ini juga berkorelasi positif dengan data neraca perdagangan China untuk Juni 2024 yang walaupun naik 8,6% namun impor turun -2,3%. Hal ini menunjukkan bawah ekonominya domestiknya sedang melemah," ucap Imam.

Berbicara tentang potensi market pada 15-19 Juli 2024, Imam mengimbau para trader untuk memerhatikan sejumlah sentimen, yakni data pertumbuhan ekonomi China dan data lainnya, neraca dagang Indonesia dan suku bunga BI.

Ia menjelaskan pada Senin pagi (14 Juli 2024) waktu Indonesia, China akan merilis data GDP-nya untuk kuartal II yang diperkirakan akan turun ke 5,1% (yoy) dari Q1 di angka 5,3% (yoy). 

Selain itu, China juga akan merilis data lainnya seperti Industrial Production Juni 2024 yang diperkirakan akan hanya tumbuh 5% (yoy) dari angka tersebut turun dari level sebelumnya di 5,6% (yoy), serta retail sales yang diperkirakan tumbuh 3,3% (yoy) dari sebelumnya di level 3,7% (yoy).

"Pelemahan ekonomi China akan menjadi sentimen untuk ekonomi Indonesia atau IHSG terutama sektor komoditas yang mayoritas diekspor ke China. Di sisi lain juga ekonomi domestik sedang menunggu kebijakan The Fed untuk menurunkan suku bunganya di bulan September nanti, yang jika nanti dapat terealisasi tentu akan meringankan beban ekonomi domestik," terang dia.

Sentimen berikutnya yakni neraca dagang Indonesia yang akan dirilis pekan ini. Konsensus memperkirakan akan naik 2,98 miliar US dollar dari periode sebelumnya 2,93 miliar US dollar. Menariknya, rilis data ini akan dibayangi oleh sentimen negatif dari pelemahan ekonomi China karena merupakan negara dengan porsi ekspor terbesar dengan porsi 22,63% (BPS Mei 2024).

Sementara itu terkait sentimen suku bunga BI, pada Rabu pekan ini BI akan merilis kebijakan moneternya untuk menetapkan suku bunganya dan diperkirakan akan menahan suku bunganya di 6,25%. Tentunya, BI juga akan memantau bagaimana kebijakan The Fed di bulan September nanti.

Dijelaskan Imam, dalam beberapa waktu kedepan pasar akan lebih fokus pada kebijakan The Fed untuk menurunkan suku bunga. Secara langsung maupun tidak langsung, hal ini akan menjadi sentimen untuk sektor properti karena permintaan KPR meningkat.

Imam menambahkan, selama lebih dari dua pekan terakhir, USD/IDR mengalami pelemahan >2%, hal ini tentu tidak terlepas dari menurunnya ketidakpastian terkait dengan keputusan The Fed di bulan September nanti, apalagi jika menilik data-data ekonomi US yang dirilis semakin menguatkan kepastian The Fed akan menurunkan suku bunganya. 

"Dengan adanya pelemahan USD/IDR tentu akan menjadi sentimen positif untuk emiten-emiten yang cukup bergantung pada impor bahan baku," pungkasnya. [CAR]