Jokowi Larang Jual Rokok Ketengan, Yang Ilegal Kian Marak!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Ilustrasi - Rokok diduga ilegal dan ketengan (Foto: Dok MI)
Ilustrasi - Rokok diduga ilegal dan ketengan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Regulasi baru yang melarang penjualan rokok secara eceran atau ketengan, khusunya terhadap pedagang-pedagang kecil seperti model warung madura, dinilai tidak akan banyak mengalami perubahan pola konsumsi masyarakat. Bahkan akan marak rokok ilegal.

Meskipun hanya akan ada sedikit penurunan daya beli konsumen, tetapi dia berpendapat dampak aturan tersebut tidak akan signifikan karena rokok adalah barang inelastis. Artinya, perubahan harga tidak terlalu mempengaruhi konsumsi.

"Saya kira konsumsi [masih] lebih tinggi, ya cuma mereka [pedagang kecil] akan mencari rokok-rokok yang lebih murah, karena di ukuran [bungkusnya] misalnya [isi] 16 harga sekian Rp20.000—Rp30.000 ya mereka akan jual misalnya ukuran 12 per bungkus, dan harganya berkurang," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Kamis (1/8/2024).

Namun, dia juga turut menggarisbawahi bahwa perubahan ini juga bisa mempengaruhi ke daya beli masyarakat terhadap rokok, terutama bagi peminatnya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Dampak ke harga
Untuk itu, harga per bungkus rokok kemungkinan akan lebih murah karena pengusaha akan mengurangi jumlah batang rokok dalam satu bungkusnya.

"Rokok itu adalah kebutuhan kedua setelah kebutuhan makanan dan sebagainya, sehingga banyak pelaku usaha itu yang kemudian, ya dengan situasi ini, akan mengalami down trading rokok. Rokok mahal akan berkurang, sementara rokok-rokok yang harga rendah akan muncul. Jadi konsekuensinya akan terjadi down trading ukuran per bungkusnya," tuturnya.

Presiden Jokowi belum lama ini  menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 17/2023 tentang Kesehatan, yang pada Pasal 434 mengatur larangan penjualan rokok secara eceran.

Selain itu, pemerintah  juga mengatur larangan penjualan rokok, baik tembakau maupun elektrik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Penjualan juga dilarang dengan menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Namun, menurut Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi ketika ditemui pada awal Mei , RPP Kesehatan yang saat itu tengah digodok oleh pemerintah terlalu banyak melakukan pelarangan terhadap produsen rokok.

Menurut dia, rokok selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar kepada penerimaan negara melalui pungutan cukai. Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menganulir dan atau mengkaji ulang penambahan ayat tersebut.

"Kalau kami pelaku usaha melihatnya, ini perlu dianulir, perlu diobservasi lagi, perlu dikaji ulang. Apapun, yang namanya pasal karet, akan mengakibatkan kesalahan implementasi di dalam penjualan rokok atau perdagangan rokok yang merupakan kontributor terbesar dalam pajak kita," kata Benny.

Dia pun mengkhawatirkan, apabila terlalu banyak praktik pelanggaran dalam perdagangan rokok akibat terlalu ketatnya peraturan, peredaran rokok ilegal justru bakal kian merajalela.

Dalam catatan Gaprindo, produksi rokok ilegal dalam negeri pada 2020 sudah di atas 15 miliar batang, sementara produksi rokok putih pada 2023 bahkan sudah berkurang hingga di bawah 10 miliar batang. Tak hanya itu, cukai rokok juga berkontribusi 10%—20% untuk pendapatan negara atau hampir Rp220 triliun.

Namun, di satu sisi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkap terdapat potensi kenaikan tarif cukai rokok pada 2025.

Dirjen Bea dan Cukai Askolani menegaskan bahwa pihaknya telah mendapat persetujuan untuk menyesuaikan tarif cukai rokok. Selain itu, otoritasnya juga akan terus melakukan intensifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk 2025.

"Nanti kami udah dapat approval [persetujuan] untuk meng-adjust [menyesuaikan] tarif cukainya 2025 intensifikasi," kata Askolani saat ditemui awak media di kompleks DPR RI, awal Juni.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa besaran dari penyesuaian tarif rokok akan dibahas dan akan dimasukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, dan penetapannya baru akan terjadi pada Agustus mendatang. "Tapi nanti besarannya nanti kami bahas di RAPBN 2025, Agustus nanti," jelasnya.

Diduga ilegal dijual murah
Salah satu pedagang rokok di Sulawesi Tenggara (Sultra), insial A (40) mengaku terpaksa menjual rokok murah diduga ilegal sebab harga rokok seperti esse, Sampoerna Mild, gudang garam dan lainnya makin mahal. 

"Kita beli rokok satu pak itu di warung agen, misalnya Sampoerna Mild Rokok, 1 Slop/ 10 Bungkus] itu harganya sekitar Rp350 ribuan. Itu mahal sekali, beda dengan rokok diduga ilegal, misalnya rokok merek Boss. Saya juga di warung saya 1 bungkus Rp 15.000, itu cepat sekali lakunya," kata A kepada Monitorindonesia.com, Kamis (1/8/2024).

Bahkan, dia mengaku rokok diduga ilegal itu sangat diminati perokok. "Kadang tak sampai satu minggu habis langsung itu rokok," katanya.

"Yang namanya juga berdagang ya, kita cari untung kan. Dagangan cepat habis terjual kan kita senang juga. Cuman ya, saya lihat-lihat juga pembeli di bawah umur ya saya ga layani lah, bahaya," bebernya.

Salah satu pembeli rokok ketengan di kawasan Terminal Tirtonadi Solo, Suahrno mengaku keberatan larangan membeli eceran. Sebab dia hanya mampu membeli eceran karena karena lebih ekonomis.

“ Kami ya keberatan kalau dilarang menjual ketengan, karena kami golongan orang tidak mampu bisanya membeli eceran itupun hanya 2 – 3 batang saja,” kata Suharno.

Sementara itu seorang pemilik warung kaki lima di Wilayah Terminal Tirtonadi Solo, inisial SS menanggapi mengaku keberatan dengan larangan rokok eceran dijual.

Menurutnya hal itu bisa membuat kehilangan pelanggan dan menurunnya omzet. Dikatakan jika penjualan tokok ketengan lebih cepat terjual dan sesuai daya beli masyarakat.

“Kami ya keberatan kan ekonomi orang masing-masing berbeda. Di Terminal ini kebanyakan beli rokok eceran. Kalau gak boleh gimana nasib pedagang kaki lima dan pembeli yang tidak mampu beli satu bungkus,” katanya.

SS mengatakan di lingkungan tempat berjualannya permintaan masyarakat akan rokok eceran masih tinggi. Khususnya kebutuhan rokok di kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Rata rata konsumen rokok ketengan adalah kuli panggul, tukang ojek, pengamen hingga sopir bus dan kernet. Dengan larangan penjualan rokok eceran berimbas pada omzet biasanya penjualan rokok eceran hingga 50 batang perhari. Untuk satu batang di jual Rp 2000 – 2.500 per batang.

Sementara pedagang rokok di kios kelontong  Gilingan Solo, Walidi menyayangkan atas kebijakan itu. Sebab akan menyulitkan konsumen.

”Saya kasihan seperti pengamen ,supir becak, itu kan biasanya membeli eceran karena gak mampu beli sebungkus. Ia membeli hanya membeli 1 – 2 batang,” katanya.

Namun demikian sebagai warga negara yang baik Walidi nantinya tetap mengikuti aturan yang berlaku.  Meskipun berpengaruh terhadap penurunan omzetnya. (an)