Tak Tepat...!Kantong Tipis, Jokowi Malah Larang Jual Rokok Ketengan!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 4 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Ilustrasi - Rokok eceran/ketengan (Foto: Istimewa)
Ilustrasi - Rokok eceran/ketengan (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Putu Rusta Adijaya, mengatakan bahwa pelarangan menjual rokok eceran sangat tidak tepat di tengah situasi kondisi saat ini.

“Di tengah kondisi ‘kantong tipis’ bagi mayoritas masyarakat kelas menengah, pelarangan menjual rokok eceran sangat tidak tepat sekarang ini. Mereka membeli eceran karena hanya mampunya beli itu," katanya, Minggu (4/8/2024).

"Tidak semua dari mereka harus mengonsumsi satu bungkus rokok. Dikonsumsi ecer _kan_ juga bisa juga karena orang tersebut sedang dalam situasi pelan-pelan mengurangi jumlah konsumsi rokoknya".

Putu juga menilai bahwa pelarangan rokok eceran ini dirasa tidak efektif dan bahkan bisa lebih merugikan.

“Adanya pelarangan ini bisa meningkatkan potensi rokok ilegal tersebar di warung-warung. Yang konsumsi juga masyarakat. Kalau zat-nya lebih _carcinogenic_ dan lebih berbahaya, yang lebih rugi masyarakat juga".

"Kalau ilegal, berarti tidak ada dalam bentuk tax revenue dari rokok itu juga. Pemerintah juga akan kena imbasnya,” jelasnya.

Belum lagi potensi pengurangan pendapatan bagi warung-warung dan potensi digerebek karena tidak mematuhi peraturan hukum.

“Asumsikan 1 batangnya diecer Rp2.500. Katakanlah satu warung itu mengecer 100 batang rokok, berarti pendapatan dari itu Rp250.000. Mereka bakal kehilangan angka tersebut kalau rokok eceran dilanggar. Nilai itu signifikan buat mereka,” beber Putu.

“Kalau warungnya digerebek karena tidak mematuhi aturan hukum ini, warungnya dirusak misalnya atau ditutup, dan itu adalah satu-satunya sumber pendapatan masyarakat tersebut, bagaimana cara mereka untuk beraktivitas secara ekonomi?"

"Bagaimana mereka membiayai anak mereka sekolah, makan, kebutuhan lain? Banyak hal yang harusnya menjadi pertimbangan sebelum kebijakan tersebut diterapkan, termasuk dampak yang tidak diinginkan dan efektivitas kebijakan tersebut,” tandas Putu. 

Sebelumnya, Pesiden Joko Widodo alias Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terkait kesehatan yang mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik.

Ketentuan itu tertera dalam pasal 434 ayat (1) poin c dalam PP tersebut, sebagaimana salinan PP yang dilihat dalam laman jdih.setneg.go.id di Jakarta, Selasa.

Dalam pasal 434 tertulis Ayat (1) setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik, jika poin (a) disebutkan menggunakan mesin layan diri, poin (b) kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil, (c) secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

Sedangkan poin (d) dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, (e) dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan (f) menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Sementara pada pasal 434 ayat (2), ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.

PP tersebut merupakan aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pengesahan Peraturan Pemerintah ini merupakan salah satu langkah dari transformasi kesehatan guna membangun arsitektur kesehatan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif.

“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” kata Budi.

Dia menjelaskan dengan penerbitan PP ini, ada 26 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden yang tidak lagi berlaku, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja.

PP yang terdiri atas 1172 pasal itu ditetapkan Presiden Joko Widodo di Jakarta, tertanggal 26 Juli 2024, dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada tanggal yang sama.