Srimul Ngotot Kerek Naik PPN 12%, Warga RI Terhantui!


Jakarta, MI - Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif publik. Sejumlah warga menilai kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan.
Saat mengumumkan kepastian kenaikan PPN dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024), Sri Mulyani yang ngotot mengerek naik pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen itu mengatakan keputusan ini sudah dipertimbangkan “demi APBN” dan “bukan membabi buta”.
Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Subchan Gatot mengatakan, perwakilan pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah secara intensif membahas upah pekerja 2025. "Jadi kenaikan upah kurang lebih 3,5 persen. Itu di luar pekerja yang masa kerjanya 0-1 tahun," kata Subchan di Jakarta, dikutip Senin (18/11/2024).
Menurutnya, jika mengacu PP 51/2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Apindo ingin membuat upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun, naik sesuai kemampuan perusahaan di kisaran 1-3 persen.
Kata dia, upah minimum yang tidak terlalu tinggi membuat perusahaan punya ruang untuk tumbuh. Pasalnya, kenaikan upah sebelum pandemi Covid 19 sebesar 8 persen per tahun, dinilai terlalu tinggi. Membuat perusahaan tidak kuat menanggung biaya operasional, akibatnya banyak yang hengkang.
"Waktu di Karawang satu per satu kolaps perusahaan besar pertama tier 3 dulu, lanjut tier 2 baru tier 1 kemudian pada relokasi, dampak nggak kelihatan kalau 1 tahun, tapi beberapa tahun kemudian setelah 5 tahun kelihatan," beber Subchan.
Masalahnya, tahun depan, upah buruh naiknya recehan tapi beban hidupnya semakin berat. Karena itu tadi, PPN dikerek naik menjadi 12 persen.
Sri Mulyani menyatakan rencana kenaikan PPN bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Sri Mulyani menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, sekaligus mampu merespons berbagai krisis.
“Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” ujarnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani menambahkan Kementerian Keuangan akan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait PPN ini.
“Kami perlu menyiapkan agar [PPN 12%] bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” ungkapnya.
Rencana tarif PPN naik menjadi 12% per 2025 sebelumnya sudah diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Maret 2024.
Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Dwi Astuti, mengatakan bahwa penyesuaian tarif PPN “berdiri sendiri” dan “tidak terkait dengan penyesuaian tarif pajak lainnya”.
Dwi Astuti juga menekankan pemerintah dan DPR sudah mengkaji dampak dari PPN 12% ini.
“Sebagai sebuah produk perundang-undangan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR yang tentu saja telah melalui kajian yang mendalam,” ujar Dwi.
Direktorat Jenderal Pajak, imbuhnya, telah dan terus melaksanakan sosialisasi kepada wajib pajak terkait PPN 12% melalui berbagai kanal – antara lain melalui sosialisasi seminar dan media sosial.
Kendati, pengamat pajak menilai reaksi negatif publik menandai “masyarakat tidak percaya” kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayarkan “akan kembali ke masyarakat” dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
Fajry Akbar, pengamat pajak sekaligus manajer riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menilai reaksi negatif dari masyarakat muncul akibat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
“Masyarakat kita tidak percaya kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan kembali ke mereka,” kata Fajry dikutip pada Senin (18/11/2024).
Padahal, menurut dia, kenaikan tarif PPN ke 12% juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat disalurkan untuk program masyarakat menengah-bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
“Saya yakin masyarakat akan menerima kalau adanya kenaikan tarif ini selaras dengan perbaikan pelayanan publik, alias kembali ke masyarakat,” jelasnya.
Fajry menilai dampak dari kenaikan PPN ini tidak sepenuhnya negatif. Akan tetapi, banyak ketakutan yang tidak berdasar dari masyarakat yang memunculkan dampak negatif tersebut.
Dia menjelaskan hasil studi dari kenaikan PPN menjadi 11% di tahun 2022 hanya berpengaruh terhadap kenaikan harga barang dan jasa sebesar 0,4% secara umum.
Dengan kata lain, papar Fajry, pemerintah berhasil mengelola dampak kenaikan tarif meski di tengah kenaikan harga komoditas.
“Ini disebabkan terdapat beberapa kebijakan yang dapat meredam kenaikan harga agar tidak setinggi kenaikan PPN yang diterapkan. Di sistem PPN kita masih banyak ‘lubangnya’, baik itu fasilitas pengecualian atau pembebasan PPN maupun PKP PPN,” ujarnya.
Salah satunya, Fajry mencontohkan, pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun tidak dikenakan PPN sesuai dengan ambang batas PPN. Akan tetapi, ketakutan-ketakutan dari masyarakat membuat orang menjadi menahan konsumsi, sementara pengusaha menahan ekspansi usaha mereka.
“[Ketakutan] ini yang berbahaya. Masyarakat tidak percaya, kalau tambahan penerimaan yang dihasilkan akan kembali ke mereka. Ada kecurigaan kalau itu cuma dinikmati pejabat dan sebagainya," jelasnya.
Di sisi lain, Fajry menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga atau inflasi sebagai imbas dari naiknya PPN.
Dia mencontohkan bagaimana pada tahun 2022, terdapat koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia dalam meredam dampak kenaikan PPN terhadap inflasi. “Kalau kenaikan harga, secara historis bisa pemerintah kelola,” katanya.
Selain itu, Fajry menekankan bahwa pemerintah perlu memperbaiki dari sisi pengeluaran publik. “Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pastinya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang besar. Dari tambahan penerimaan tersebut, pemerintah perlu memastikan itu disalurkan ke masyarakat kelas menengah-bawah. Baik itu dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial," ungkapnya.
Fajry juga menegaskan peran pemerintah untuk mengelola dampak dari kenaikan PPN. “Tujuannya agar dampak dari kenaikan PPN terhadap inflasi tidak terlalu tinggi, agar dia tidak terlalu membebani masyarakat,” tukasnya.
Topik:
PPN Sri Mulyani MenkeuBerita Sebelumnya
Buruh Tolak Rumus Baru Perhitungan UMP 2025
Berita Selanjutnya
BRI Peduli Berdayakan Eks Pekerja Migran Indonesia
Berita Terkait

KPK Siap Bantu Menkeu Optimalkan Pendapatan Negara dari Penerimaan Pajak
24 September 2025 15:29 WIB

Purbaya Yudhi Sadewa: Pemerintah Akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Perbesar Utang
23 September 2025 12:07 WIB

Menkeu Purbaya Sebut Gugatan Tutut Soeharto ke PTUN Sudah Dicabut, Sama-sama Kirim Salam!
19 September 2025 00:27 WIB

Purbaya Gantikan Sri Mulyani, Misbakhun: Stabilitas Ekonomi Indonesia Masih Terjaga
18 September 2025 14:59 WIB