Harap-harap Cemas Danantara: Digagas Mantan Koruptor hingga Konflik Kepentingan

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 20 Februari 2025 11:44 WIB
Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) (Foto: Dok MI)
Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Pemerintah telah membentuk Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk mengelola aset-aset negara. Badan itu akan diluncurkan 24 Februari 2025. 

Lembaga baru itu bakal mengelola semua aset milik negara, termasuk yang selama ini dikelola Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Danantara nantinya akan mengelola tujuh BUMN besar, termasuk Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, PLN, Telkom, dan MIND ID. Aset dikelola Danantara dari BUMN-BUMN tersebut, nilainya diperkirakan mencapai 900 juta dolar AS atau sekitar Rp14.715 triliun aset dalam pengelolaan (asset under management/AUM). Ini menunjukkan skala besar dan pengaruh signifikan Danantara terhadap perekonomian negara.

Namun dari pembentukan Danantara banyak mendapatkan respons dan tanggapan. Dari sejumlah pengamat mewanti-wanti bernasib sama dengan kasus ASABRI, Jiwasraya hingga Taspen. Bahkan kasus investasi milik negara bernama 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang dibentuk pada 2009 tak luput dari sorotan.

Sebagai tahap awal, pemerintah telah mengucurkan 20 miliar dolar AS atau setara Rp325,2 triliun (asumsi kurs Rp16.260) kepada BPI Danantara. Nilai investasi tersebut didapatkan dari penghematan dilakukan negara melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Total penghematan dilakukan pemerintah dalam tiga putaran diketahui mencapai 44 miliar atau Rp750 triliun. Dari penghematan tersebut, sebesar 24 miliar dolar AS diperuntukkan untuk pembiayaan program makan bergizi gratis. Sedangkan sisanya, 20 miliar dolar AS dikucurkan untuk Danantara.

Namun, di balik ambisi pemerintah membentuk Danantara, tantangan yang akan dihadapi ke depan rupanya jauh lebih besar. Karena dengan pengelolaan aset dan nilai investasi yang jumbo tersebut, maka celah bagi terjadinya korupsi dan konflik kepentingan di dalam pengelolaan Danantara tidak bisa dihindarkan.

Pengamat politik ekonomi Indonesia, Ichsanuddin Noorsy menyebut hadirnya Danantara ini sebagai jawaban dari efektivitas Pemerintahan. “Sebenarnya problem utamanya adalah efektivitas pemerintahan itu kata kuncinya,” katanya dalam sebuah video di media sosial sebagaimana dinukil Monitorindonesia.com, Kamis (20/2/2025).

Menurutnya, Danantara tidak akan pernah efektif. "Danantara nanti pun tidak akan pernah efektif, buktinya terjadi tarik menarik dan itu bukti bahwa sesungguhnya terjadi pertarungan di dalam. Apa poinnya? Perebutan duitkan,” jelasnya.

Menurut dia, banyak hal yang bisa terjadi dan menguntungkan beberapa pihak menurutnya dari hadirnya Danantara ini. “Contohnya sebuah BUMN ingin mengambil hak saham berdasarkan perjanjian yang harus di jual ke dalam negeri."

"Kemudian dia harus mendivestasi sahamnya sebesar 51 persen ke dalam perusahaan domestik BUMN. BUMN nggak punya duit. Jadi, yang 51 persen ini tidak bisa disekuritisasi? Bisa dong. Kalau sekuritisasi, maka sesungguhnya yang dikeluarkan obligasi korporasi,” bebernya.

Ichsanuddin Noorsy menyebut Danantara ini sebagai salah satu lahan bisnis yang cukup menjanjikan. “Ketika ini dikeluarkan bisnis yang muncul Appraisal atas aset, apparaisal atas kelayakan bond, berapa kali ada bisnis?,” tukasnya.

Namun demikian, Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, begitu disapa Monitorindonesia.com, Kamis (20/2/2025) mengamini bahwa pembentukan Danantara ini memiliki tantangan yang sangat besar. 

Salah satunya, menurut Badiul adalah potensi tindak pidana korupsi di dalam pengelolaannya. Karena disadari atau tidak, ada atau tanpa kehadiran Danantara pun praktik korupsi di BUMN sudah sering. 

Menurut hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) jumlah kasus korupsi BUMN yang masuk tahap penyidikan mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka selama periode 2016-2021. Total kerugian negara akibat seluruh kasus ini diperkirakan mencapai Rp47,92 triliun.

Tercatat ada 9 kasus korupsi BUMN pada 2016. Kemudian jumlahnya sebanyak 33 kasus pada 2017, menjadi 21 kasus pada 2018, dan 20 kasus pada 2019. 

Bahkan, selama pandemi COVID-19, kasus korupsi di lingkungan BUMN tidak mereda. Jumlahnya bahkan bertambah menjadi 27 kasus pada 2020. Sedangkan pada 2021 ada 9 kasus korupsi BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum.

“Sehingga perlu perencanaan yang matang agar Danantara bisa menjawab tujuan pembentukannya dan tidak menjadi ladang korupsi baru,” katanya.

Berkaca pada lembaga yang sama seperti Jiwasraya, Asabri atau lembaga yang serupa di luar negeri seperti 1MBD Malaysia atau Petrobras di Brazil, potensi korupsi sangat besar. Celah korupsi itu terjadi akibat adanya intervensi politik.

Masuknya politik dalam pengambilan kebijakan atau keputusan investasi, dapat mengarah pada penunjukan proyek atau mitra tertentu. Sehingga, dalam hal ini tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan profesionalitas. Akan tetapi lebih karena faktor kepentingan.

Pun, Peneliti lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, juga mengatakan Danantara memunculkan "peluang korupsi yang cukup besar".

Wana menyebut adanya klausul dalam UU BUMN bahwa lembaga auditor baru dapat memeriksa Danantara setelah ada persetujuan dari DPR, maka Danantara akan menjadi tidak independen.

"Patut diduga ada upaya memproteksi Danantara agar tidak disentuh oleh lembaga penegak hukum dan lembaga auditor. Hal ini akan menjadikan Danantara sebagai objek yang dikorupsi untuk mengakumulasi kapital pribadi ataupun kelompok tertentu," jelasnya.

Hasil pemantauan ICW dari tahun 2016 hingga 2021 itu menunjukkan bahwa cukup banyak korupsi yang terjadi di BUMN. Temuan ini, menurut Wana, menunjukkan bahwa kondisi tata kelola di BUMN sedang tidak baik.

Lantas apakah Danantara berpotensi seperti 1MDB Malaysia yang berujung skandal?

Selain Khazanah yang didirikan tahun 1993, Malaysia juga sempat memiliki 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang didirikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2015, badan investasi negara yang didirikan Perdana Menteri Najib Razak itu menjadi sumber skandal yang mengguncang Malaysia. Penyalahgunaan kekuasaan, pencucian uang, dan korupsi dilaporkan dilakukan Najib Razak dan kroni-kroninya bersumber dari 1MDB.

Ariyo DP Irhamna dari Indef mengakui perbandingan antara Danantara dan dengan 1MDB memang menjadi kekhawatiran.

"Terutama mengingat skandal tersebut bermula dari lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan konflik kepentingan. Jika Danantara tidak dilengkapi dengan mekanisme tata kelola yang solid dan pengawasan yang independen, maka potensi penyalahgunaan dana sangat memungkinkan terjadi," jelasnya.

Ariyo menekankan keberhasilan Danantara sangat bergantung pada penerapan prinsip-prinsip good corporate governance, transparansi, dan akuntabilitas agar tidak terulang kisah 1MDB. 

"Jika terjadi penyalahgunaan dana atau kegagalan investasi besar [di Danantara], hal tersebut dapat menodai reputasi pemerintah dan mengurangi kepercayaan investor, baik domestik maupun internasional. Reputasi yang tercemar dapat berdampak pada kemampuan negara untuk menarik investasi di masa depan," beber Ariyo.

"Skandal keuangan dapat memicu keresahan politik dan sosial, yang pada akhirnya mengganggu stabilitas pemerintahan dan perekonomian nasional," tambahnya.

Sementara pengamat BUMN, Toto Pranoto mengatakan sistem di Malaysia membuat CEO perusahaan super holding bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.

"Kalau praktik good governance tidak bagus, misalnya dari sisi Perdana Menteri, itu memang bisa membahayakan pengelolaan korporasi besar seperti super holding tadi bisa berjalan dengan baik," kata Toto.

Dalam konteks Indonesia, Toto menyebut Danantara bukan hanya bertanggung jawab kepada presiden, melainkan juga berkoordinasi dengan dewan pengawas yang terdiri dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Selain itu, Danantara juga harus berkoordinasi dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan atas rencana bisnis tahun tertentu.

"Nanti publik bisa melihat apakah Danantara menjalankan program-programnya sesuai dengan rencana bisnis yang sudah mereka ajukan ke DPR," ujar Toto.

Selain itu, DPR juga berhak menerjunkan auditor BPK jika diperlukan. Toto melihat adanya para pemangku kepentingan yang beragam ini membuat kasus seperti 1MDB di Malaysia bisa lebih dimitigasi dalam kasus Danantara.

Di lain sisi, dia menilai Danantara bisa difungsikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Negara tidak lagi hanya bisa bertumpu kepada APBN untuk menumbuhkan ekonomi sampai 7%. [Target] itu bisa dibantu kalau foreign direct investment lebih banyak masuk lewat proyek-proyek yang diinisiasi Danantara," jelas Toto.

Investor-investor global, menurut Toto, akan tertarik dengan proyek-proyek Danantara. Pertama, karena badan itu juga akan berinvestasi sehingga ada pembagian risiko. Kedua, aset yang dikelola Danantara akan sangat besar sehingga ada faktor kredibilitas.

Senada, Ariyo mengatakan Danantara dapat menjadi pintu masuk bagi investor untuk terlibat dalam proyek-proyek berkelanjutan dan inovatif. "Yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang," bebernya.

Selain memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan APBN, pendapatan negara dari Danantara dapat dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sektor publik lainnya.

Meskipun begitu, Ariyo DP Irhamna, ekonom Indef memperingatkan ketergantungan pada proyek investasi justru menimbulkan tantangan tersendiri.

"Jika sebagian besar aset diinvestasikan ke dalam proyek jangka panjang atau proyek yang tidak likuid, terdapat risiko bahwa Danantara akan kesulitan mencairkan dana saat dibutuhkan untuk operasional atau untuk menghadapi situasi darurat ekonomi," jelasnya.

Selain itu, Ariyo menyebut kebijakan investasi dan regulasi yang berubah-ubah dapat mempengaruhi rencana dan kinerja investasi. "Ketidakpastian regulasi membuat Danantara harus selalu beradaptasi, yang bisa menimbulkan biaya tambahan dan risiko ketidakpastian dalam operasional," katanya.

Soal apakah Danantara benar-benar mirip dengan Temasek Singapura dan Khazanah Malaysia, Toto Pranoto menilai Danantara tidak bisa disamakan dengan Temasek.

Temasek yang didirikan pada tahun 1974, Temasek awalnya mengelola aset-aset pemerintah yang sebelumnya dipegang langsung oleh pemerintah Singapura. Seiring berjalannya waktu, Temasek berkembang menjadi perusahaan investasi global yang aktif berinvestasi di berbagai negara di dunia.

"Kalau Temasek itu betul-betul mengelola portofolio saja. Artinya kalau saham perusahaannya masih bagus dia pegang, tapi kalau kecenderungan saham perusahaannya mulai menurun, dia bisa lepas," beber Toto.

Adapun struktur Khazanah Nasional Berhad, selain mengelola portofolio komersial, juga mengelola aset strategis. "Khazanah bisa membantu negara untuk menjalankan beberapa proyek strategis dimana BUMN-nya bisa berperan," ungkap Toto.

Toto memberi contoh proyek Kota Iskandar di Johor yang dinaungi Khazanah karena pemerintahan Malaysia ingin membangun kota industri baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, Toto mengatakan UU BUMN yang baru mengatur dua badan holding Danantara: operasional dan investasi.

"Holding investasinya [Danantara] ini tugasnya adalah membantu beberapa program strategis pemerintah, misalnya terkait dengan soal ketahanan energi atau ketahanan pangan," tandas Toto.

Risiko politik dan konflik kepentingan

Ariyo memperingatkan keterlibatan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan dalam BPI Danantara dapat menimbulkan intervensi dalam pengambilan keputusan investasi.

"Hal ini dapat mengakibatkan investasi yang tidak sepenuhnya didasarkan pada analisis ekonomi dan potensi keuntungan, melainkan dipengaruhi oleh agenda politik atau kelompok tertentu," katanya.

Selain itu, Ariyo menyebut apabila pejabat atau anggota dewan pengawas dalam Danantara memiliki afiliasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, maka keputusan investasi bisa saja lebih menguntungkan pihak tertentu daripada kepentingan nasional secara keseluruhan. "Konflik kepentingan ini harus dikelola dengan kebijakan yang tegas dan transparan," ungkapnya.

Ariyo merujuk ke pemberitaan yang menyebut sejumlah nama yang diberitakan akan bergabung dalam kepengurusan Danantara seperti Rosan P Roeslani, yang pernah menjadi Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran.

Selain itu, nama Pandu Sjahrir, keponakan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga sempat menjadi wakil bendahara TKN Prabowo-Gibran.

"Ini memunculkan kekhawatiran karena mereka memiliki pengalaman dan jaringan yang dekat dengan lingkup kekuasaan. Memang, dalam pengelolaan aset negara, keberadaan figur yang memiliki relasi politik dan birokrasi bukanlah hal yang baru. Namun, yang paling krusial adalah seberapa kuat mekanisme tata kelola dan sistem pengawasan yang diterapkan."

Sementara Toto menekankan bahwa aset yang dikelola Danantara "besar sekali" sehingga harus dipimpin orang-orang yang profesional, punya pengalaman berinvestasi secara global, punya integritas, dan rekam jejaknya dipandang baik oleh publik. "Tinggal nanti dicek, apakah nama-nama yang disebutkan tadi kira-kira memenuhi syarat-syarat tadi apa enggak," tutupnya.

Celah rasuah!

Peneliti Center of Economics and Law Studies (Celios), Bara M Setiadi, mengatakan bahwa jika dilihat dengan modal yang dikonsolidasikan, maka potensi korupsi yang lebih besar akan terjadi.

“Harus disadari juga bahwa dengan modal yang lebih besar dan terpusat moral hazard-nya juga lebih besar,” katanya, Selasa (18/2/2025).

Berkaca kepada kasus asuransi Jiwasraya saja misalnya, dengan modal yang lebih kecil justru terdapat korupsi sebesar Rp16,8 triliun. Jika tidak dikelola secara akuntabel dan profesional, maka, potensi korupsi di BPI Danantara bisa jauh lebih besar dan berdampak terhadap keuangan negara.

Implikasinya potensi korupsi BUMN yang tergabung di Danantara juga akan meningkat. Terlebih proses audit terhadap BPI Danantara saat ini dinilai tidak lagi transparan. 

Karena dalam draft RUU BUMN yang baru, pemeriksaan laporan keuangan perusahaan tahunan dilakukan oleh akuntan publik. Bagi perusahaan persero akuntan publik ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan bagi perusahaan umum (Perum) akuntan publik ditetapkan oleh Menteri.

Padahal sebelumnya, Amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) versi draf paripurna 4 Februari 2025, memberi mandat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa BPI Danantara. Namun demikian, beleid baru yang segera berlaku itu memangkas kewenangan BPK dalam memeriksa laporan keuangan BUMN.

“Audit yang baik dari pihak internal maupun eksternal sangat berperan. Saya rasa harus dilakukan dua audit," ujar Bara.

Audit oleh pemerintah dilakukan untuk menjamin kepentingan publik dan kinerja dalam pelayanan publik. Sementara audit oleh pihak eksternal swasta dapat diarahkan lebih teknis tentang keuangan, kesehatan perusahaan, serta profitabilitas. Sehingga, lebih transparansi dalam proses audit berjalan.

Bagaimana meminimalisir potensi rasuah?

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan agar meminimalisir potensi korupsi terjadi perlu ada mitigasi risiko di dalam Danantara. 

Salah satunya dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Karena jika sukses, Danantara ini akan membuat Indonesia terbang, tetapi jika gagal akan membuat Tanah Air tenggelam. “Karenanya, desain dan pengelolaannya harus tepat,” katanya, Selasa (18/2/2025).

Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini. Pertama pemerintah harus memastikan payung hukum yang jelas dan memungkinkan Danantara berfungsi secara profesional setara dengan institusi sejenis yang ada di luar negeri. 

Kedua, Danantara ini harus diisi oleh sosok berintegritas dan profesional dengan track record yang baik.

Ketiga, pemerintah juga harus menghindari politisasi Danantara, sehingga perlu disiapkan mekanisme untuk menghindarinya. Keempat dibutuhkan pula kejelasan koordinasi agar hindari terlalu banyak bos. 

Terakhir, harus menerapkan mekanisme Good Corporate Governance (GCG) dan antikorupsi yang handa di dalam BPI Danantaral. “Megakorupsi Taspen, Asabri dan Jiwasraya terjadi, karena lima faktor tersebut tidak hadir secara memadai, khususnya faktor nomor dua, tiga dan lima,” ungkapnya.

Dikonsep mantan koruptor

Burhanuddin Abdullah kini mengemban jabatan sebagai Tim Inisiator Danantara. Badan Pengelola Investasi (BPI) yang dicetuskan Presiden Prabowo Subianto itu akan diresmikan pada 24 Februari 2025. Sebelum Prabowo dilantik saat itu, Burhanuddin merupakan sosok yang telah membeberkan konsep Danantara, yang sebelumnya disebut super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu mengatakan sejak diinisiasi, badan ini memang diharapkan menjadi superholding bagi BUMN untuk menarik investasi masuk ke dalam negeri.

Sebab, selama ini penanaman modal asing (PMA) yang masuk ke Indonesia sangat kecil, hanya US$100 per kapita atau Rp1,6 juta per kapita (kurs Rp16.290 per dolar AS)

"Ternyata Indonesia sampai hari ini bukanlah negara yang diminati oleh para investor asing. Hal ini terbukti dari selama Indonesia merdeka, rata-rata investasi asing di Indonesia ini tidak lebih dari US$100 (per kapita)," ujarnya dalam diskusi Peran Danantara dalam Percepatan Pembangunan Indonesia yang ditayangkan dalam Youtube Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/2/2025).

Menurutnya, kondisi tersebut jauh di bawah Vietnam. Padahal, Hanoi baru mulai membangun negaranya pada 1990-an. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia berkali-kali lipat tertinggal.

"Kita tahu Vietnam yang baru membangun tahun 90 (1990), rata-rata investasi asing per kapita di Vietnam US$400. Jangan sebut Singapura yang hampir US$2 juta per kapita. Jadi agak susah investasi asing ini masuk ke Indonesia," jelasnya.

Burhanuddin menuturkan investor enggan masuk ke dalam negeri karena tidak ada kepastian. Hal ini tercermin dari aturan terkait investasi di Indonesia kerap berubah tergantung dengan pemimpinnya.

"Mungkin karena rumah kita belum ditata dengan bersih, dengan apik dan terencana dengan baik. Kita sering mengubah-ubah aturan atau karena sering banyaknya hal-hal yang tidak menyenangkan, karena mungkin ada banyak tikus di rumah itu sehingga investasi asing tidak mau, tidak banyak yang masuk ke Indonesia," jelasnya.

Dengan permasalahan itu semua, maka saat ia menjadi Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, mereka merancang Danantara. Lembaga ini akan difokuskan untuk membantu meningkatkan investasi dalam negeri melalui berbagai perusahaan negara.

"Karena itulah dipikirkan bagaimana kita mencoba menkonsolidasikan apa yang kita punya. Kita konsolidasikan, kita leverage dan kita punya BUMN kita yang cukup besar, karena itulah, maka kemudian dipikirkan bagaimana cara untuk mengkonsolidasikan BUMN ini," ucapnya.

"Bagaimana kita me-leverage mereka supaya tumbuh dan berkembang dengan sangat sehat. Ini merupakan modal dari perjalanan bangsa kita di depan untuk mencapai Indonesia Emas," pungkasnya.

Penting diketahui, bahwa Burhanuddin Abdullah bukanlah sosok baru di dunia ekonomi dan keuangan Indonesia. Sebagai ekonom senior, Burhanuddin pernah menduduki berbagai posisi penting, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Gubernur Bank Indonesia (2003-2008, Komisaris Utama PT PLN, Wakil Kepala Urusan Luar Negeri Bank Indonesia, Kepala Bagian Kerja sama Ekonomi dan Perdagangan Internasional BI, Assistant Executive Director IMF untuk Asia Tenggara. 

Selain itu, ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) periode 2003-2008. Dengan latar belakangnya di sektor keuangan dan pemerintahan, wajar jika namanya dikaitkan dengan Danantara.

Burhanuddin Abdullah lahir pada 10 Juli 1947 di Garut, Jawa Barat. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran pada tahun 1974. Kemudian, Burhanuddin melanjutkan pendidikannya ke Michigan State University di Amerika Serikat dan meraih gelar Master of Arts di bidang Ekonomi pada tahun 1984.

Selain menempuh pendidikan di dua kampus besar, Burhanuddin juga sempat mengenyam pendidikan di Financial Policy and Programming, IMF, Washington DC (1988), hingga Sekolah Staf dan Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan XIX (1994).

Pada 2006, ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Rekam jejak karir sang ekonom senior cukup beragam.

Burhanuddin Abdullah pernah menjadi Menteri Koodinator Bidang Perekonomian di bawah Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur. menjabat sebagai Gibenur BI pada tahun 2003 dan Gubernur untuk International Monetary Fund (IMF), Washington DC, di Indonesia.

Ia juga pernah didapuk sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada periode 2003-2006 dan 2006-2008.

Namun dibalik itu, Burhanuddin tidak lepas dari kontroversi. Bahwa pada Januari 2008 alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Michigan State University itu pernah tersandung kasus korupsi.

Burhanuddin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus aliran dana dari BI ke DPR.  Burhanuddin divonis lima tahun penjara pada Oktober 2008 dalam perkara dugaan korupsi aliran dana BI sebesar Rp100 miliar kepada para mantan petinggi BI dan anggota DPR. 

Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Gusrizal menyatakan Burhanuddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sepert

Ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dalam kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) dari YPPI sebesar Rp100 miliar. Dana tersebut kemudian digunakan untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI sebesar Rp68,5 miliar dan menyuap anggota DPR sebanyak Rp31,5 miliar guna meloloskan amandemen UU BI dan penyelesaian BLBI secara politis. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Burhanuddin Abdullah, hingga akhirnya divonis tiga tahun penjara. 

Setelah menyelesaikan hukumannya, Burhanuddin kembali aktif di dunia ekonomi. 

7 BUMN yang Asetnya dikelola Danantara

BUMN yang akan dikelola BP Danantara diantaranya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero). PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID.

1. Bank Mandiri

Bank Mandiri menjadi perusahaan perseroan melalui Akta Nomor 9 yang diterbitkan pada 2 Oktober 1998.

BMRI menghelat initial public offering (IPO) pada 14 Juli 2003. Perusahaan kala itu melepas 2,9 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp 675 per saham.

Mandiri didirikan sebagai inisiatif atas restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan pemerintah. Pada 1999 ada empat bank, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia dan Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi Bank Mandiri.

Setelah melakukan konsolidasi dan integrasi bisnisnya, pada 14 Juli 2003 Mandiri menghelat initial public offering (IPO). Kala itu, emiten melepas 2,9 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp 675  saham.

Dalam perjalanannya, Mandiri melaksanakan berbagai aksi korporasi untuk memantapkan bisnis di bidang keuangan dan perbankan. Seperti, program transformasi yang mulai digelar sejak 2005 silam.

Pada 2014, Bank Mandiri ditargetkan mampu mencapai nilai kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, serta masuk dalam jajaran Top 5 Bank di Asia Tenggara (Asean).

Selanjutnya di 2020, Mandiri juga menargetkan dapat masuk dalam jajaran Top 3 di Asean dalam hal nilai kapitalisasi pasar dan menjadi pemain utama di regional

Kinerja Bank Mandiri semakin cemerlang, hal ini dilihat dari performa perusahaan di 2023, dimana aset secara konsolidasi tumbuh sebesar 9,12 persen YoY mencapai Rp2.174 triliun. Kredit konsolidasi tumbuh 16,29 persen menjadi Rp1.398 triliun.

Lalu, Dana Pihak Ketiga (DPK) naik mencapai Rp1.577 triliun atau tumbuh 5,78 persen. Laba bersih secara konsolidasi Rp55,1 triliun, tumbuh 33,7 persen. Di aspek, NPL konsolidasi sebesar 1,19 persen atau turun sebesar 73 bps YoY dengan rasio coverage NPL mencapai 326,34 perse

Di tahun ini, strategi bisnis Bank Mandiri difokuskan pada percepatan pertumbuhan bisnis di seluruh sektor potensial untuk mencapai dominasi di industri perbankan.

2. BRI

Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 7/1992 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/1992 status BRI berubah menjadi perseroan terbatas. Kepemilikan BRI saat itu masih 100 persen di tangan pemerintah.

Namun, sejak tahun 2003, otoritas memutuskan untuk menjual 30 persen saham bank ini, sehingga menjadi perusahaan publik dengan nama resmi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, yang digunakan hingga saat ini.

Kala itu, perusahaan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, kini Bursa efek Indonesia, dengan kode saham BBRI. Saham Bank BRI mayoritas dimiliki oleh negara sebesar 56,75 persen dan sisanya dimiliki pemegang saham publik.

Pada saat penawaran perdana, nilai saham Bank BRI ditawarkan pada harga Rp875 per lembar saham, namun pada 2010 telah menembus lebih dari Rp12.000 per lembar saham. Kenaikan harga saham tersebut mencerminkan kinerja Bank BRI yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kinerja Bank BRI kian mantap, hingga kuartal II/2024 perusahaan dan entitasnya berhasil mencatatkan kinerja positif. Di mana, laba secara konsolidasian yang dibukukan sebesar Rp29,90 triliun. Berdasarkan laporan keuangan, di kuartal III/2024 perseroan mengumpulkan laba bersih senilai Rp45,36 triliun.

Selain laba, diketahui hingga akhir September 2024 BRI berhasil menyalurkan kredit senilai Rp1.353,36 triliun atau tumbuh 8,21 persen secara tahunan.

Dari total penyaluran kredit tersebut, 81,70 persen di antaranya atau Rp1.105,70 triliun merupakan kredit kepada segmen UMKM. Penyaluran kredit yang tumbuh positif membuat aset BRI meningkat 5.94 perse menjadi Rp1.961,92 triliun.

3. BNI

Bank BNI didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/1946. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/1968, BNI ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946, dan statusnya menjadi Bank Umum Milik Negara

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1992, dilakukan penyesuaian bentuk hukum BNI menjadi Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero).

Saat ini, 60 persen saham BNI dimiliki negara, sedangkan 40 persen sisanya dimiliki oleh masyarakat, baik individu maupun institusi, domestik dan asing.

BNI kini tercatat sebagai Bank nasional terbesar ke-4 di Indonesia, dilihat dari total aset, total kredit maupun total dana pihak ketiga. Dalam memberikan layanan finansial secara terpadu, BNI didukung oleh sejumlah perusahaan anak, yakni BNI Multifinance, BNI Sekuritas, BNI Life Insurance, BNI Ventures, BNI Remittance dan hibank.

Seperti dua bank pemerintah lainnya, BNI juga punya kinerja yang baik. Hingga kuartal III/2024 perusahaan membukukan laba bersih senilai Rp16,3 triliun. Nilai ini naik 3,5 persen secara tahunan (YoY) dari Rp15,75 triliun.

Di sembilan bulan pertama ini BNI menyalurkan kredit senilai Rp735,02 triliun, naik 9,5 persen.

Seiring dengan kenaikan kredit, aset pun ikut terkerek menjadi Rp1.068,08 triliun pada September 2024 naik 5,8 persen September 2023, yakni Rp1.009,31 triliun.

Adapun, dana pihak ketiga berada di posisi Rp769,74 triliun, tumbuh 3 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp747,59 triliun.

4. PLN

Pada 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18, status Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sejak 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.

PLN membukukan nilai aset setelah menjalankan transformasi proses bisnis perusahaan selama empat tahun terakhir. Terhitung sejak 2020, aset PLN yang awalnya Rp1.588 triliun menjadi Rp1.691 triliun di semester I/2024 atau naik Rp102 triliun. Pertumbuhan aset ini menjadikan PLN sebagai BUMN utilitas terbesar di Indonesia

Selain itu, perseroan melakukan manajemen aset perusahaan. Hal ini berdampak pada penambahan jumlah pelanggan sebesar 15,3 persen dari tahun 2020 sebesar 79 juta pelanggan menjadi sebesar 91,1 juta pelanggan di pertengahan 2024.

Upaya penambahan aset dan pelanggan ini ditopang oleh konsolidasi seluruh proses bisnis perusahaan sehingga menjadi perusahaan yang modern dan siap beradaptasi dengan perubahan iklim bisnis global

Saat ini, PLN terus meningkatkan pemanfaatan aset yang sudah ada. Termasuk melalui inovasi bisnis di luar kelistrikan atau Beyond kWh yang menjadi sumber pendapatan baru bagi PLN. Upaya ini searah dengan perubahan iklim industri dan kebutuhan masyarakat.

5. Pertamina

Eksistensi Pertamina dibangun sejak sekitar tahun 1950-an, ketika pemerintah menunjuk Angkatan Darat yang kemudian mendirikan PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara untuk mengelola ladang minyak di wilayah Sumatera.

Kemudian perusahaan tersebut berubah nama menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (Permina) pada 10 Desember 1957 yang hingga kini diperingati sebagai hari lahirnya Pertamina.

Pada 1960, PT Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Permina. Kemudian, PN Permina bergabung dengan PN Pertamin menjadi PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada 20 Agustus 1968

Selanjutnya, peran Pertamina semakin strategis setelah Pemerintah melalui UU Nomor 8/1971 menunjuk perusahaan untuk menghasilkan dan mengolah migas dari lading ladang minyak serta menyediakan kebutuhan bahan bakar dan gas di Indonesia

Lalu, melalui UU Nomor 22/2001, pemerintah mengubah kedudukan Pertamina sehingga penyelenggaraan Public Service Obligation (PSO) dilakukan melalui kegiatan usaha. Pertamina dipercaya pemerintah untuk menjadi holding company di sektor energi, sejak ditetapkan Kementerian BUMN pada 12 Juni 2020.

Perusahaan saat ini membawahi enam subholding yang bergerak di bidang energi (jenis kegiatan usaha), yaitu Upstream Subholding yang secara operasional dijalankan oleh PT Pertamina Hulu Energi, Gas Subholding yang dijalankan oleh PT Pertamina Gas Negara.

Refinery & Petrochemical Subholding yang dijalankan oleh PT Kilang Pertamina Internasional, Power & NRE Subholding yang dijalankan oleh PT Pertamina Power Indonesia, Commercial & Trading Subholding yang dijalankan oleh PT Pertamina Patra Niaga, serta Subholding Integrated Marine Logistics yang dijalankan oleh PT Pertamina International Shipping.

Empat tahun pasca restrukturisasi organisasi dan bisnis, pada periode 2020-2023, aset Pertamina tumbuh signifikan hingga 32 persen menjadi USD 91,1 miliar atau setara Rp1.390 triliun di akhir 2023

Berdasarkan laporan tahunan 2023, aset perusahaan secara historis tercatat USD69,14 miliar di 2020, kemudian naik menjadi USD 78,05 miliar pada 2021. Jumlah aset naik kembali menjadi USD 87,8 miliar 2022, dan pada akhir 2023 mencapai USD 91,1 miliar atau setara Rp1.390 triliun.

6. Telkom Indonesia

Telkom Indonesia adalah BUMN yang bergerak di bidang layanan teknologi informasi dan komunikasi, serta telekomunikasi digital di Indonesia.

Pemilik mayoritas saham Telkom adalah pemerintah dengan kepemilikan sebesar 52,09 persen. Sementara sisa kepemilikan saham sebesar 47,91 persen dipegang oleh publik.

Telkom memiliki 12 anak perusahaan atau subsidiary yang bergerak di berbagai sektor dan memberikan dampak positif baik untuk investor maupun rakyat Indonesia.

Pendirian PN Telekomunikasi, sesuai PP Nomor 30/1965, pada dasarnya ditujukan untuk membangun ekonomi nasional sesuai dengan ekonomi terpimpin dengan mengutamakan kebutuhan rakyat.

Dalam menjalankan transformasi, Telkom mengimplementasikan strategi bisnis dan operasional perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan atau customer oriented.

Transformasi tersebut akan membuat organisasi Telkom Group menjadi lebih lean (ramping) dan agile (lincah) dalam beradaptasi dengan perubahan industri telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat.

Menutup pertengahan 2024, Telkom Indonesia mencatatkan total aset Rp285,99 triliun, dengan rincian liabilitas sebesar Rp138,71 triliun dan ekuitas dicatat senilai Rp147,27 triliun.

7. MIND ID

Saat ini MIND ID membawahi beberapa perusahaan sebagai anak usahanya, yakni PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum, dan PT Timah Tbk.

BUMN yang bergerak dibidang Holding Industri Pertambangan ini dibentuk pada 2017 lalu. Saat itu, pemerintah menggunakan entitas PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai induk perusahaan yang memiliki mayoritas saham pada tiga perusahaan industri tambang, yaitu Antam, Bukit Asam, dan Timah.

Sejak tahun 2019, Holding Industri Pertambangan bertransformasi menjadi MIND ID atau Mining Industry Indonesia untuk membedakan fungsi Inalum sebagai operasional pabrik peleburan aluminium dan fungsi holding.

Dalam kurun 5 tahun ini, jumlah aset MIND ID mengalami kenaikan hingga 57,22 persen dari Rp164,84 triliun pada 2019 menjadi Rp259,18 triliun pada 2023. Sementara itu, compound annual growth rate (CAGR) atau tingkat pertumbuhan total aset grup MIND ID pada periode 2019 hingga 2023 tercatat sebesar 9,47 persen.

MIND ID juga mengelola portofolio dan mengakuisisi aset pertambangan multinasional untuk mendukung program hilirisasi. Dalam 5 tahun terakhir, perusahaan berhasil mengakuisisi saham perusahaan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Vale Indonesia.

Investasi hilirisasi pun terus dilakukan, termasuk pembangunan fasilitas pemurnian tembaga Freeport Indonesia di Gresik dengan investasi Rp 58 triliun, dan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah dengan nilai investasi Rp 16 triliun. (wan)

Topik:

Danantara ASABRI Jiwasraya BUMN BP Danantara