Rupiah Terkapar di Rp16.428 Akibat Defisit Fiskal dan Konflik Gaza

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 18 Maret 2025 16:42 WIB
Rupiah Melemah ke Level Rp16.428 Selasa Sore, 18 Maret 2025 (Foto: Ist)
Rupiah Melemah ke Level Rp16.428 Selasa Sore, 18 Maret 2025 (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa (18/3/2025) sore, seiring tekanan dari sentimen dalam negeri yang membebani pasar.

Rupiah ditutup turun 22 poin atau 0,13% ke posisi Rp16.428 per dolar AS. Padahal, indeks dolar AS justru melemah tipis 0,04 poin ke level 103,3. Sehari sebelumnya, pada Senin (17/3/2025), rupiah juga tercatat melemah cukup dalam sebesar 56 poin ke level Rp16.406 per dolar AS.

Analis mata uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah ini dipicu oleh kekhawatiran terhadap kondisi fiskal dalam negeri. 

Data terbaru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) Februari 2025 menunjukkan defisit fiskal mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya dalam dua bulan pertama tahun ini.

Selain itu, penurunan tajam penerimaan pajak sebesar 30,19% secara tahunan turut menjadi sinyal peringatan atas ketahanan kebijakan fiskal pemerintah.

“Jika tidak ada langkah korektif yang tegas, bukan tidak mungkin defisit bisa melebar hingga melebihi batas aman di akhir tahun,” ujarnya, Selasa (18/3/2025).

Dilansir dari data Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp 316,9 triliun atau 10,5% dari target APBN tahun ini. 

Penerimaan perpajakan mencatatkan angka Rp240,4 triliun atau 9,7% dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6% dari target serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp52,6 triliun atau 17,5% dari target.

Sementara itu, Ibrahim menyampaikan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah terkumpul sebanyak Rp76,4 triliun atau 14,9% dari target APBN. 

Anjloknya penerimaan pajak, lanjutnya, bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi yang lesu, melainkan juga permasalahan administrasi dan implementasi sistem Coretax yang gagal beroperasi secara optimal.

“Penurunan pajak yang drastis ini lebih banyak berkaitan dengan kendala dalam implementasi Coretax yang menghambat pemungutan pajak dari sektor-sektor utama,” jelas Ibrahim.

Selain persoalan pajak, Ibrahim menyoroti bahwa melemahnya daya beli masyarakat menjadi faktor krusial yang harus diperhatikan. Inflasi pangan dan energi yang masih bertahan di atas 4% berpotensi menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar terhadap PDB. 

Jika daya beli masyarakat terus melemah, maka sektor ritel, UMKM, hingga industri manufaktur akan terdampak signifikan.

“Ini bisa menjadi awal dari perlambatan ekonomi yang lebih dalam,” katanya.

Untuk sentimen eksternal, Ibrahim menuturkan bahwa ketegangan geopolitik kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan ke sejumlah target Hamas di Gaza, menyusul kegagalan negosiasi gencatan senjata. 

Berdasarkan laporan sejumlah media, Israel menyerang berbagai lokasi yang diklaim sebagai basis Hamas di seluruh wilayah Gaza setelah kesepakatan damai tak tercapai.

Serangan itu dilaporkan menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk pejabat senior Hamas, dan memicu kemarahan dari kelompok itu, yang menuduh Israel melanggar gencatan senjata Januari. Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata sementara pada pertengahan Januari.

Namun, lanjut Ibrahim, pembicaraan mengenai perjanjian damai yang lebih konkret telah memburuk di tengah ketidaksepakatan atas ketentuan gencatan senjata, sementara delegasi AS juga tidak dapat menjadi penengah perdamaian. 

Israel mengklaim serangan itu sebagai balasan atas penolakan berulang Hamas untuk membebaskan sandera Israel. “Serangan hari Selasa menandai pembaruan ketegangan di Timur Tengah,” imbuhnya.

Ibrahim juga menambahkan bahwa ketidakpastian terkait rencana tarif dari Trump terus membayangi pasar, terutama karena target kebijakan tersebut mencakup Eropa, China, Kanada, dan Meksiko, yang telah merespons dengan rencana aksi balasan.

Trump mengulangi ancamannya bahwa tarif timbal balik dan sektoral akan diberlakukan paling cepat pada tanggal 2 April. “Kekhawatiran atas gangguan ekonomi dari tarif tersebut memicu ketakutan akan resesi AS,” terang Ibrahim.

Lebih lanjut Ibrahim mengatakan, Pertemuan The Fed kini menjadi fokus untuk isyarat ekonomi lainnya, dengan bank sentral secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada akhir pertemuan dua hari pada Rabu (19/3/2025). 

Namun bank sentral diperkirakan akan mengurangi pandangan agresifnya dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi yang meningkat. Selain The Fed, pertemuan Bank of Japan dan Bank of England juga akan berlangsung minggu ini.

“Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif. Namun, rupiah ditutup menguat direntang Rp 16.390-16.430,” pungkasnya.

Topik:

rupiah nilai-tukar-rupiah dolar-as