Pengembang Perumahan Subisidi akan Diaudit: Mengingatkan Temuan BPK di BP Tapera


Jakarta, MI - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI agar melakukan audit untuk mengevaluasi pengembang rumah subsidi.
Pun, Inspektur Jenderal Kementerian PKP Heri Jerman mengatakan pihaknya sudah bersurat kepada BPK. Audit dengan tujuan tertentu ini, kata Heri, terutama ditujukan terhadap pengembang-pengembang yang membangun rumah di bawah standar layak.
“Pengembang-pengembang yang tidak punya kepedulian terhadap MBR yang seharusnya mendapatkan hak rumah layak juga," katanya.
Menteri PKP Maruarar Sirait sebelumnya mendapati banyak rumah subsidi yang dibangun tidak layak huni. "Kalau tidak setuju diaudit, sama dengan tidak setuju dengan langkah negara," kata Menteri Ara sapaannya.
Data Badan Perlindungan Konsumen, lanjut Menteri Ara, menemukan banyaknya laporan mengenai aspek perumahan. "Semua data-data, bahkan kemarin kita sudah bekerja sama dengan Badan Konsumen, karena pengaduan di bidang perumahan itu tinggi sekali," jelasnya.
Soal temuan rumah subsidi tak layak huni, Ara telah melihatnya sendiri. Itu jadi praktik-praktik para developer nakal yang membangun tidak sesuai aturan. "Saya sendiri turun tangan langsung. Sudah menemukan. Itu cukup banyak perumahan subsidi, yang tidak, bayangin, tidak hujan banjir," jelasnya.
Dia juga menemukan ada lantai rumah subsidi yang sudah mengangkat padahal baru satu tahun dibangun. Temuan itu pula yang disampaikan Ara kepada sejumlah asosiasi pengembang perumahan. "Kalau mau dibantah, bantah dengan data juga. Jelas itu, di kelurahan mana, desa mana, kecamatan mana," tegas dia.
Informasi, dalam rapat yang digelar bersama asosiasi pengembang perumahan, Ara menunjukkan beberapa temuannya dalam inspeksi mendadak ke lokasi rumah subsidi. Salah satunya pada perumahan di Tambun Utara, Bekasi. Ada sejumlah poin temuan di lokasi yang dibangun sejak 2018 itu.
Yakni: genangan air sudah sering terjadi di perumahan; permasalahan dan pengaduan sudah dilaporkan ke pihak pengembang, namun tidak ada respons; tidak ada tempat ibadah menjadi keluhan warga; kondisi saat ini ada 87 rumah dihuni dari 214 rumah terjual.
Lalu, warga membayar cicilan rutin setiap bulan dengan tagihan Rp 1,3 juta selama 15 tahun; tindak lanjut oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PKP untuk memanggil pengembang; warga meminta untuk dibangun drainase dan fasilitas umum; Menteri PKP akan mengecek developer yang baik dan tidak untuk memberikan peluang bagi para developer yang kompeten namun tak diberi kesempatan; developer akan melaksanakan pembangunan drainase kurang dari 3 bulan.
Namun demikian, Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI Adian Napitupulu merespons hal itu dengan menyatakan tidak perlu terlalu jauh mengambil langkah tersebut.
"Nggak perlu, lah. Masak UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) saja diperiksa," kata Adian usai rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan asosiasi pengembang perumahan di Gedung DPR, Rabu (19/3/2025).
Menurut Adian, audit langsung tidak bisa dilakukan karena pengembang perumahan tidak mengelola anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karena itu, anggota Komisi V DPR ini mengatakan Kementerian PKP perlu melihat dasar hukum pelaksanaan audit BPK terhadap pengembang perumahan. "Ini kan swasta. Kalau ada permintaan audit, ya auditor publik," kata politikus PDI Perjuangan itu.
Sementara itu, Bambang Setiadi, pengembang dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), sepakat akan hal itu. Bambang yang juga Ketua Bidang Perizinan, Pertanahan Apersi percaya diri lantaran yakin perumahan yang ia bangun tidak bermasalah. Namun, di sisi lain, Bambang mempertanyakan apa dasar hukum Ara dalam meminta BPK mengaudit pengembang.
Pasalnya, pengembang hanyalah mitra yang digandeng pemerintah untuk menyediakan rumah subsidi. Pengembang tidak menjadi pengguna anggaran dalam program untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini.
“Kalaupun terjadi audit, kami mengusulkan bukan hanya kepada pengembang tapi kepada PUPR (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) setempat, kabupaten,” kata Bambang.
Ia menjelaskan, pengembang perumahan tidak bisa serta-merta menjadi penyedia rumah bersubsidi. Ada serangkaian proses dan seleksi hingga pengembang bisa ikut program FLPP.
Sebelum membangun rumah juga ada perizinan yang harus diurus ke pemerintah daerah setempat. Kemudian ketika rumah yang dibangun pengembang ternyata tidak layak huni, persetujuan kredit untuk konsumen pun tidak bisa ditandatangani. “Kalau ada yang harus diaudit, ya internal mereka, pemerintah, BUMN. Kemudian, ya pengguna anggaran, kementerian. Itu jelas diaudit,” kata Bambang.
Mengingatkan temuan BPK di BP Tapera
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah melakukan pemeriksaan terhadap lembaga tersebut pada 2021 lalu. Pemeriksaan itu dilakukan di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.
Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu itu dilakukan BPK khususnya untuk memeriksa pengelolaan dana Tapera dan biaya operasional tahun 2020 dan 2021.
Secara keseluruhan, laporan bernomor 202/LHP/XVI/l2/2021 tertanggal 31 Desember 2021 itu membeberkan lima hasil pemeriksaan yang dilakukan.
Salah satu dari hasil pemeriksaan itu adalah temuan sebanyak 124.960 orang pensiunan peserta Tapera belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp 567.457.735.810 atau sekitar Rp 567,5 miliar.
Selain itu, BPK menemukan sebanyak 40.266 orang peserta pensiun ganda dengan dana Tapera sebesar Rp 130,3 miliar.
Dalam dokumen pemeriksaan, angka 124.960 orang pensiunan yang belum menerima pengembalian dana Tapera itu didapat dari hasil konfirmasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Taspen.
Sebanyak 124.960 orang pensiunan adalah mereka yang sudah berakhir kepesertaannya karena meninggal atau pensiun sampai dengan triwulan ketiga tahun 2021 namun masih tercatat sebagai peserta aktif.
Adapun sebanyak 124.960 orang pensiunan yang belum mendapat pengembalian dana Tapera itu terdiri atas 25.764 orang dari data BKN dan 99.196 orang pensiunan dari data Taspen.
Sementara, saldo Rp 567,5 miliar dari 124.960 orang pensiunan itu terdiri atas Rp 91 miliar dan Rp 476,4 miliar masing-masing dari data BKN dan data Taspen. Sementara saat itu BP Tapera mengelola dana PNS Aktif sebanyak 4.016.292 orang atau bila dibulatkan sekitar 4 juta orang.
Selain mengkonfirmasi ke BKN dan Taspen, BPK juga melakukan konfirmasi lanjutan kepada 5 pemberi kerja. Adapun hasil konfirmasi lewat uji petik ke lima pemberi kerja atas 191 peserta menunjukkan bahwa benar peserta tersebut telah meninggal atau pensiun yang didukung dengan SK Pensiun atau Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP).
Namun data tersebut belum dimutakhirkan oleh pemberi kerja, sehingga status kepesertaan di BP Tapera masih tercatat sebagai peserta aktif. "Pengembalian tabungan atau Dana Tapera juga belum dapat diberikan," seperti dikutip dari buku laporan pemeriksaan BPK tersebut.
Dalam laporan pemeriksaan BPK itu juga disebutkan, selain pemutakhiran status pekerja oleh pemberi kerja, proses pengembalian tabungan sesuai proses bisnis normal BP Tapera juga memerlukan pemutakhiran nomor rekening oleh pekerja.
Dari hasil wawancara BPK dengan Direktur Operasi Pengerahan, diketahui bahwa proses bisnis BP Tapera bergantung pada pemutakhiran data dalam menentukan status pekerja dari pemberi kerja diperoleh melalui portal.
"Selama tidak ada perubahan status oleh pemberi kerja, misalkan meninggal, maka data peserta aktif tidak akan berubah," seperti dikutip dari laporan pemeriksaan BPK.
Adapun BP Tapera saat ini berupaya untuk menjaga tingkat keterhunian rumah subsidi.
Setidaknya sejak 1 Januari hingga 13 Maret 2025, BP Tapera telah menyalurkan 27.528 unit rumah subsidi. Sedangkan data proses bangun sampai dengan akad tercatat 58.551 unit rumah subsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Untuk data realisasi penyaluran rumah subsidi per 20 Oktober 2024 hingga 13 Maret 2025 sebanyak 129.953 unit rumah subsidi. Terdiri dari realisasi penyaluran FLPP dan Tapera sebanyak 63.261 unit rumah subsidi dan 66.692 unit rumah subsidi yang masih dalam proses bangun sampai dengan akad.
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan, BP Tapera tidak hanya memastikan penyaluran dana FLPP sesuai dengan target yang ditetapkan pemerintah tetapi bersama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman turut mengawal agar rumah subsidi sesuai dengan peraturan yang ada.
"Kami sejak akhir Februari bersama dengan Kementerian PKP secara rutin melakukan kunjungan lapangan ke berbagai rumah subsidi yang tersebar di Indonesia. Semua ini bertujuan melihat secara langsung kualitas rumah subsidi dan berdialog dengan warga dan pengembang untuk solusi terbaik ke depannya," kata Heru.
Selain itu, BP Tapera secara rutin melaksanakan pemantauan keterhunian/pemanfaatan rumah MBR serta pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja bank penyalur pembiayaan Tapera dan Pembiayaan FLPP sejak 2022.
Hasil kegiatan pemantauan ini akan bermanfaat untuk mengevaluasi program pembiayaan FLPP dan sebagai pertimbangan dalam melakukan perbaikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan program pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Kegiatan pemantauan terhadap rumah MBR ini sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana yang diubah UU tentang Cipta Kerja.
Hal itu juga diperkuat dengan Peraturan BP Tapera Nomor 6 Tahun 2021, Pasal 43, di mana BP Tapera melakukan pengawasan terhadap Bank Penyalur dan Perusahaan Pembiayaan Penyalur dalam memenuhi kewajiban operasional yang tertulis dalam perjanjian kerja sama. Hasil pengawasan tersebut menjadi dasar dalam melakukan evaluasi kinerja bank penyalur dan perusahaan pembiayaan penyalur.
Tercatat dari 2022, rumah subsidi yang terpantau dan valid mencapai 194.720 unit rumah dengan rumah subsidi yang dihuni sesuai ketentuan mencapai 168.891 unit rumah.
Persentase Tingkat keterhunian rumah subsidi FLPP selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2022 mencapai 71,62 persen, kemudian di 2023 tingkat kepenghunian mencapai 92,53 persen dan pada 2024 mencapai 93,62 persen.
"Ini mencerminkan kesadaran penerima manfaat pembiayaan perumahan semakin tinggi. Pemantauan evaluasi terhadap tingkat keterhunian ini dilakukan satu tahun setelah Berita Acara Serah Terima dilakukan," tandas Heru.
Topik:
BP Tapera BPK Perumahan SubsidiBerita Selanjutnya
Harga CPO Merosot Lagi, Kekhawatiran Global jadi Pemicu
Berita Terkait

BPK Didesak Audit Perdin Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi: Jangan Anggap Perusahaan "Nenek Moyangnya"!
19 jam yang lalu

Menaker: Tapera Jadi Harapan Baru Pekerja Miliki Rumah Layak dan Terjangkau
28 Agustus 2025 12:51 WIB