RI Kehilangan Potensi Penerimaan Pajak Rp 944 T, Lebih Besar daripada TPPU Kemenkeu Rp 349 T


Jakarta, MI - World Bank atau Bank Dunia menyebut kinerja penerimaan pajak Indonesia masih jauh di bawah target. Laporan Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dipublikasikan pada 17 Maret 2025 mengungkap setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan domestik masih di bawah potensinya.
Kata pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi menilai wajar jika Bank Dunia menyematkan Indonesia sebagai negara dengan penerimaan pajak terburuk periode 2016-2021.
"Ya memang wajar, tapi dengan adanya informasi ini (dari Bank Dunia), ke depan Kemenkeu diharapkan lebih sigap lagi dan lebih berhati-hati dalam menyusun suatu rencana. Untuk rencana 2026-2029 (harus cukup matang) pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran," ujar Ibrahim dikutip Selasa (1/4/2025).
Adaun laporan CIT tersebut menunjukkan adanya kesenjangan atau celah penerimaan pajak untuk jenis PPN dan PPh Badan di Indonesia. “Secara rata-rata, estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan mencapai 6,4 persen dari PDB, atau Rp 944 triliun sepanjang 2016 hingga 2021,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (1/4/2025).
Bank Dunia mengukur angka tersebut dengan menganalisis celah kepatuhan (compliance gap) dan celah kebijakan (policy gap). Celah kepatuhan itu mengacu pada semua sumber ketidakpatuhan, termasuk kurangnya pelaporan, penghindaran, penipuan, kebangkrutan, hingga kesalahan administratif. Sementara celah kebijakan merujuk pada nilai pajak yang hilang sebagai akibat dari keputusan pemerintah yang tidak memungut basis pajak tersebut.
Berdasarkan data Bank Dunia, rata-rata penerimaan pajak Indonesia yang terealisasi pada 2016 hingga 2021 mencapai Rp 800 triliun atau 5,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara potensi penerimaan pajak berdasarkan kebijakan yang berlaku seharusnya bisa mencapai Rp 1.348 triliun atau 9,1 persen dari PDB. Bahkan bila mengacu pada skenario benchmark yang ideal, penerimaan pajak seharusnya sebesar Rp 1.744 triliun atau 11,8 persen dari PDB.
Namun akibat celah kepatuhan, Indonesia kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp 548 triliun atau 3,7 persen dari PDB. Tak hanya itu, Bank Dunia menyebut celah kebijakan juga menimbulkan potensi penerimaan pajak hilang sebesar Rp 396 triliun atau 2,7 persen dari PDB.
Jika dirinci, pada periode 2016-2021, rata-rata kesenjangan kepatuhan—atau PPN yang seharusnya dibayar dengan PPN yang terbayarkan—mencapai 43,9 persen. Angka itu setara 2,6 persen dari PDB Indonesia. Secara nominal, kesenjangan kepatuhan tersebut setara Rp 387 triliun.
Sementara itu, Bank Dunia menghitung rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPN ialah sebesar Rp 138 triliun. Ini berarti Indonesia kehilangan potensi setoran PPN senilai Rp 525 triliun akibat celah kepatuhan dan juga kebijakan pajak.
Adapun untuk PPh Badan periode yang sama, rata-rata yang seharusnya dibayar dengan yang terbayarkan mencapai 33 persen dari total kewajiban pajak PPh Badan atau setara 1,1 persen dari PDB. Secara nominal, Bank Dunia mencatat tata-rata pendapatan tahunan yang hilang karena ketidakpatuhan dalam PPh Badan sekitar Rp 161 triliun.
Sedangkan, menurut lembaga keuangan internasional itu, rata-rata penerimaan yang hilang akibat celah kebijakan mencapai Rp 258 triliun. Artinya, Indonesia kehilangan potensi setoran PPh Badan senilai Rp 419 triliun akibat celah kepatuhan dan celah kebijakan.
“Secara keseluruhan, ketidakpatuhan memiliki dampak yang lebih besar pada penerimaan PPN dibandingkan dengan kesenjangan kebijakan,” tulis Bank Dunia dalam kesimpulan laporan tersebut. Sebaliknya, celah kebijakan berdampak lebih besar terhadap penerimaan PPh dibandingkan dengan celah kepatuhan.
Menurut Bank Dunia, PPN dan PPh Badan yang merupakan sumber utama penerimaan pajak dalam negeri itu tidak bekerja secara maksimal. Padahal, PPN dan PPh Badan pada 2021 menyumbang sekitar 66 persen dari total penerimaan pajak, setara dengan sekitar 6 persen dari PDB.
Transaksi siluman Rp 349 triliun
Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang saat ini kembali dipimpin Sri Mulyani Indrawati (SMI) Rp 349 triliun tak terdengar lagi kabarnya.
Aparat penegak hukum sepertinya terlalu fokus pada kasus yang saat ini menyeruak ke publik. Ataukah memang ada kesulitan mengungkap siapa tersangkanya?
Adapun nilai transaksi siluman Rp 349 triliun itu terlalu besar, kalah daripada kasus dugaan korupsi timah Rp 300 triliun yang ditangani penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Meski begitu, jangan sampai ada uang haram yang dibiarkan dicuci melalui berbagai transaksi keuangan sehingga seolah-olah menjadi legal.
Seblumnya, Mahfud Md selaku Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang juga kala itu sebagai Menkopolhukan sudah memberikan penjelasan mengenai transaksi mencurigakan itu dalam rapat bersama Komisi III DPR RI pada 29 Maret 2023 lalu. Saat itu Mahfud membuka data versi miliknya bersama dengan Ivan Yustiavandana.
Sementara, dua hari sebelumnya, pada 27 Maret 2023, Sri Mulyani juga menjelaskan transaksi janggal itu, tapi di depan anggota Komisi XI DPR RI.
Kemudian, menanggapi pernyataan Mahfud di depan Komisi III DPR RI, pada 31 Maret 2023, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara membeberkan bahwa data yang disampaikan Mahfud dan Sri Mulyani pada dasarnya sama, nilainya Rp 349 triliun.
Suahasil menjelaskan data yang diungkap Mahfud.
Menurut Suahasil, ada perbedaan pengklasifikaian informasi transaksi itu. Dalam tabel milik Mahfud transaksinya dibagi menjadi tiga. Pertama transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu nilainya Rp 35.548.999.231.280. Kedua transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain termasuk korporasi nilainya Rp 53.821.874.839.401.
Ketiga transaksi keuangan terkait kewenangan Kemenkeu seperti pajak, kepabeanan dan cukai yang nilainya Rp 260.503.313.432.306, sehingga total keseluruhan nilainya Rp 349.847.187.502.987.
“Transaksi kategori satu itu dianggap berbeda, karena yang disampaikan di Komisi XI nilainya Rp 22.042.264.925.101. Kenapa berbeda? Karena ketika kita melihat data surat tadi, Kemenkeu itu tidak menerima surat yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum,” tutur Suahasil.
Namun, Suahasil menjelaskan, di data Kemenkeu transaksi kategori satu itu dipecah menjadi dua kategori di mana berdasarkan surat yang benar-benar dikirimkan ke Kemenkeu nilainya menjadi Rp 22.042.264.925.101.
Kemudian dari surat yang dikirimkan ke aparat penegak hukum dengan nilai transaksi Rp 13.075.060.152.748. Sehingga jika dijumlahkan menjadi 35.117.325.077.
“Cara mengklasifikasi kami begitu,” katanya.
Dalam data Kemenkeu juga disebutkan selain kategori tersebut, ada juga surat yang dikirimkan ke aparat penegak hukum yang berkaitan dengan pegawai Kemenkeu dan pihak lain nilainya Rp 47.008.738.267.859; ada juga surat yang dikirimkan ke Kemenkeu yang berkaitan dengan korporasi nilainya Rp 252.561.897.678; dan surat dikirimkan ke aparat penegak hukum yang berkaitan dengan korporasi nilainya Rp 14.186.181.968.600.
“Kenapa angkanya secara keseluruhan mirip, karena memang kami bekerja dengan data yang sama yaitu 300 surat dan keseluruhan 300 surat itu nilai totalnya berapa? Rp 349.874.187.502.987. Sumber datanya sama yaitu rekap surat PPATK, cara menyajikannya bisa berbeda tapi kalau di konsolidasi ya ketemu sama,” tutur Suahasil.
Hingga Mahfud Md meninggalkan kursi Menko Polhukam, kasus ini tak kunjung ada kabarnya lagi. Namun dalam konferensi pers usai serah, terima, dan jabatan (Sertijab), Hadi Tjahjanto ditemani oleh Tito Karnavian selaku Plt. Menko Polhukam yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Tito mengatakan kelanjutan tindak pidana pencucian uang Rp 349 triliun. Tito menyebut masih harus dirundingkan terlebih dahulu dengan jajaran di Kemenko Polhukam. "Nanti ya itu bagian yang disampaikan internal pada beliau," kata Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2024).
Persoalan masa tugas Satgas TPPU, Tito mengatakan hal tersebut perlu diusulkan terlebih dahulu oleh Menko Polhukam yang baru, Hadi Tjahjanto. Namun, Hadi tidak menanggapi lebih lanjut. "Nanti kan beliau usulkan dulu ya dan seterusnya," imbuhnya.
Menguap begitu saja
Terkait kasus itu, pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih kepada Monitorindonesia.com, menilai memang tidak ada keseriusan dari pemerintah, dalam hal ini Mahfud MD selaku menko polhukam saat itu untuk mengusut tuntas kasus ini.
Padahal, Mahfud saat itu memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelesaikan dugaan TPPU di Kemenkeu itu. "Dari awal saya sudah tidak setuju dengan adanya satgas, karena satgas tugasnya hanya supervisi. Justru yang terpenting itu harus ada penindakan. Nah, sayangnya hingga Satgas TPPU itu selesai masa tugasnya, kita tidak melihat adanya penindakan yang jelas," kata Yenti.
Ketua Pansel Capim KPK 2019-2023 ini pun menyayangkan kasus TPPU Kemenkeu ini seolah menguap begitu saja. Seharusnya, ada tindak lanjut yang jelas dari temuan satgas ke penindakan hukum.
"Uang Rp 349 triliun itu kan tidak kecil, ini kasus yang meresahkan rakyat. Kemarin kan sudah ada temuan yang memang impor ilegal emas itu Rp 189 triliun. Jadi memang TPPU itu memang ada, sesuai pernyataan Pak Mahfud. Jika tidak ada penindakan, dari awal untuk apa juga ada satgas, hanya buang-buang anggaran," jelas Yenti.
Ia juga menyebut seharusnya Satgas TPPU mengumumkan hasil temuannya ke publik, agar masyarakat tidak hanya dibuat gaduh dengan pernyataan Mahfud.
"Kita kalau menyebarkan kabar bohong saja bisa kena pidana, apa lagi ini yang dari awalnya mengumbar data temuan PPATK, lalu tiba-tiba tidak ada lanjutnya. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum. Rakyat justru bisa tidak percaya dengan hukum kalau seperti ini," pungkas Yenti.
Bak ditelan bumi
Kabar terakhir, Satgas TPPU telah melakukan supervisi dan evaluasi penanganan 300 surat LHA terkait dugaan TPPU yang melibatkan Kemenkeu dengan nilai agregat lebih dari Rp 349 triliun.
"Dalam kurun waktu 8 bulan Satgas TPPU telah melakukan supervisi dan evaluasi penanganan tiga ratus surat LHA/LHP informasi dugaan TPPU dengan nilai agregat lebih dari Rp 349 triliun," kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring di YouTube Kemenko Polhukam, Rabu (17/1/2024).
Buntut dari kasus ini, sebanyak 8 pegawai Kemenkeu dipecat. Namun oleh Satgas TPPU enggan merincikannya. Dan tidak diketahui apakah 8 pegawai itu termasuk 491 Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenkeu yang sempat disebutkan Mahfud Md.
"Yang terlibat di sini jumlah entitas dari Kemenkeu 491 orang," kata Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023) lalu.
Dia mengungkapkan bahwa 491 entitas ASN Kemenkeu itu terdiri dari tiga kelompok laporan hasil analisis (LHA). Kategori pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan jumlah Rp35.548.999.231.280, melibatkan 461 entitas ASN Kemenkeu.
Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Nilai transaksi dari kategori kedua di atas adalah Rp53.821.874.839.402, dengan jumlah entitas ASN Kemenkeu yang terlibat sebanyak 30 orang.
Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tidak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai di kementerian tersebut.
Untuk kategori yang terakhir, jumlah transaksinya mencapai Rp260.503.313.306 dan tidak melibatkan entitas ASN Kemenkeu.
Mahfud menegaskan bahwa jangan melibatkan Rafael Alun dengan kasus dugaan TPPU ini karena Rafael terlibat dalam kasus berbeda. "Rafael sudah ditangkap, selesai. Di laporan ini ada jaringannya. Bukan Rafael, itu kan pidana, bukan TPPU," tandas Mahfud. (wan)
Topik:
Pajak Kemekeu Satgas TPPUBerita Sebelumnya
Pasar Saham Global Terpuruk, Ancaman Ketidakpastian Ekonomi Makin Nyata
Berita Selanjutnya
Garuda Indonesia Ditantang Hukum Berat Pria Merokok dalam Pesawat
Berita Terkait

DJP Akui Coretax Belum Optimal, Janji Sistem Lancar dalam 3 Bulan
25 September 2025 19:13 WIB

KPK dan Kemenkeu Kejar Tunggakan Pajak Rp 60 T, 200 WP Sia-siap Saja!
24 September 2025 19:51 WIB