Lulusan Sarjana Banyak jadi Pengangguran, Apa Penyebabnya?

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 28 Mei 2025 15:26 WIB
Ilustrasi (Foto: Ist)
Ilustrasi (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Tingkat pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi kembali menjadi perhatian publik. 

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan universitas mencapai 5,25 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding lulusan diploma I/II/III yang tercatat sebesar 4,83 persen.

Tak hanya itu, angka setengah pengangguran, mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal dan belum memperoleh pekerjaan yang layak juga mengkhawatirkan. Tercatat mencapai 5,03 persen, dengan lulusan diploma menyumbang 4,01 persen dari total angka tersebut.

Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai data ini mencerminkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan tinggi dan kebutuhan nyata dunia kerja. 

Menurutnya, banyak lulusan perguruan tinggi belum memiliki keterampilan praktis atau sertifikasi yang relevan dengan tuntutan industri.

Pendidikan tinggi disebut perlu bertransformasi untuk merespon kebutuhan dunia usaha dan industri yang terus berubah. Fokus pembelajaran yang selama ini hanya menekankan aspek pengetahuan atau teori dianggap kurang cukup. 

Institusi pendidikan tinggi diharapkan mampu mengintegrasikan pengembangan keterampilan (skill) dan sertifikasi profesional dalam proses pembelajarannya.

"Menurut saya memang tentunya pendidikan tinggi ini harus juga bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia usaha, dunia industri. Karena orientasinya kan memang lulusan perguruan tinggi kan mau bekerja gitu ya. Yang memang ada juga yang memang mau menjadi akademisi mengajar ya," ujar Timboel kepada media, Selasa (27/5/2025).

Ia menekankan bahwa selain mengantongi ijazah, lulusan juga seharusnya memiliki nilai tambah, seperti penguasaan bahasa asing dan keterampilan teknis yang relevan dengan kebutuhan industri, seperti kemampuan di bidang teknologi, kecerdasan buatan, dan penguasaan perangkat lunak.

Sebagai contoh, lulusan ilmu komunikasi tidak cukup hanya memahami teori komunikasi, tetapi juga memiliki kemampuan multibahasa serta keterampilan teknologi penunjang komunikasi modern.

"Gelar akademik penting, iya. Cuma tidak boleh menjadi variable tunggal. Dia harus disertai dengan sertifikasi. Dia harus disertai dengan keterampilan apa. Misalnya di komunikasi, ilmu komunikasi. Dia harus bisa paling tidak berapa bahasa," jelasnya.

Perlu Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Tinggi

Sejalan dengan tantangan ketenagakerjaan saat ini, Timboel menyarankan agar struktur kurikulum pendidikan tinggi segera direvisi. 

Ia menilai bahwa porsi mata kuliah umum seperti Pancasila dan pendidikan agama bisa dikurangi agar tersedia ruang lebih luas untuk pengembangan keterampilan yang relevan dengan tuntutan pasar kerja.

Timboel menyarankan agar penguasaan teknologi informasi, perangkat lunak, serta literasi digital dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum dasar di berbagai jurusan. Investasi, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri maupun asing, memang menjadi kunci pembukaan lapangan kerja.

Namun, saat ini tren investasi cenderung padat modal dan teknologi, yang hanya menciptakan sedikit pekerjaan. Hal ini menuntut dunia pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam sektor berbasis teknologi tersebut.

"Dan tentunya ini yang jangan sampai sekolah atau perguruan tinggi memproduksi pengangguran. Jadi kembali harus ada kombinasi antara studi skill dengan knowledge, pengetahuan. Pengetahuan itu kan diwakili oleh ijasa, skill itu diwakili oleh sertifikat," imbuhnya.

Peran Pemerintah Sangat Diperlukan

Dalam jangka pendek, pemerintah diharapkan mengambil langkah nyata dengan menyediakan program pelatihan keterampilan bagi para lulusan yang belum siap memasuki dunia kerja. 

Di sisi lain, perguruan tinggi juga disarankan menjalin kerja sama aktif dengan industri melalui job fair dan kemitraan strategis untuk menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan nyata pasar kerja.

Lembaga pendidikan tinggi pun dituntut untuk proaktif menjajaki kebutuhan industri agar dapat menyiapkan lulusan yang sesuai. Jika tidak segera dibenahi, sistem pendidikan yang tidak adaptif dikhawatirkan akan terus memproduksi pengangguran terdidik.

Padahal, kolaborasi yang erat antara lembaga pendidikan dan dunia industri merupakan faktor krusial dalam menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan mampu bersaing di pasar kerja.

"Kita pastikan apa yang diajarkan di perguruan tinggi itu juga tidak match dengankebutuhan dunia usaha, dunia industri.Sehingga terjadi pengangguran lulusan perguruan tinggi. Nah ini kan yang akhirnya menjadi sebuah perangkap struktural yang akhirnya kelompok masyarakat terdidik kita initidak tersalurkan ke dunia usaha," tutupnya.

Topik:

sarjana pengangguran pengangguran-di-indonesia