DPR Soroti Anggaran Pendidikan Tak Kunjung 20 Persen, Ini Kata Sri Mulyani

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 22 Juli 2025 16:16 WIB
Rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan (Foto: Tangkapan Layar YouTube)
Rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan (Foto: Tangkapan Layar YouTube)

Jakarta, MI - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terlibat perdebatan dengan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Frederic Palit, dalam rapat kerja Komisi XI DPR. Perdebatan itu dipicu oleh persoalan alokasi anggaran pendidikan yang belum pernah mencapai 20 persen dari total APBN.

Dalam rapat yang digelar di kompleks parlemen Senayan, Dolfie memaparkan bahwa proporsi anggaran pendidikan stagnan di bawah ambang konstitusional sejak sebelum putusan MK, yaitu 18 persen pada 2007, lalu turun menjadi 15,6 persen pada 2008.

Padahal, sesuai amanat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2007, anggaran pendidikan semestinya dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN. Dolfie pun menyoroti hal ini dan mempertanyakan realisasi anggaran pendidikan pada tahun 2024.

Meski telah berjalan lebih dari satu dekade, porsi anggaran pendidikan belum menunjukkan perubahan signifikan. Pada 2022, proporsinya tercatat sebesar 15 persen, naik tipis menjadi 16 persen pada 2023, dan mencapai 17 persen di tahun 2024. Bahkan, rancangan APBN 2025 masih mempertahankan angka yang sama

"Tidak bergerak Bu Menteri ternyata. Sudah dua kali pemerintahan SBY, dua periode pemerintahan Jokowi, tidak berubah," ujar Dolfie saat rapat kerja Komisi XI, Selasa (22/7/2025).

Menanggapi hal itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa perhitungan 20 persen tidak bisa dilihat secara kaku karena komponen pembagi (denominator) belanja negara terus bergerak.

Ia juga mengatkan adanya alokasi anggaran pendidikan dalam bentuk cadangan yang masuk dalam skema pembiayaan, bukan belanja langsung.

"Kalau bicara tentang by design Pak Dolfie, kami mendesainnya waktu RUU APBN itu 20 persen. By default jadinya tergantung dari beberapa komponen karena pembaginya itu bergerak," kata Sri Mulyani.

Meski begitu, penjelasan tersebut belum memuaskan Dolfie. Ia menilai bahwa dana cadangan pendidikan yang dialokasikan melalui pos pembiayaan justru sering tidak terserap dan malah berkontribusi pada meningkatnya utang negara.

"Kalau Rp80 triliun itu digunakan untuk memperkuat pendidikan kita, itu kan sangat dahsyat. Tapi kalau masih tidak terpenuhi lagi 20 persen, berarti kan ada sesuatu," jelas Dolfie.

Menanggapi kritik itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sebagian anggaran pendidikan ditempatkan di pos pembiayaan dengan tujuan menjaga efisiensi serta memastikan kualitas belanja tetap terjaga.

"Waktu itu kalau sudah mendekati September 2024, kita belum mencapai 20 persen, maka diberikanlah kementerian, lembaga, itu belanja tambahan di Oktober. Rp80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa? That's problem juga," tutur Sri Mulyani.

Sri Mulyani menilai, semangat kebijakan ini untuk menjaga kualitas belanja agar tidak sekadar menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk hal-hal yang tidak mendesak.

Dia mencontohkan potensi dampak negatif jika alokasi anggaran pendidikan dipaksakan dihabiskan demi memenuhi target 20 persen, seperti fenomena di masa lalu di mana sekolah-sekolah membelanjakan dana untuk hal yang tidak mendesak, seperti mengganti pagar yang masih layak.

"Supaya jangan sampai, oh karena harus 20 persen, harus habis, nanti sekolah yang pagarnya enggak rusak, diganti pagarnya. Saya dengar waktu itu," katanya.

Sri Mulyani menekankan bahwa praktik semacam itu bertentangan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kepatutan dalam pengelolaan anggaran negara. 

Menurutnya, menghabiskan puluhan triliun rupiah dalam waktu singkat menjelang akhir tahun anggaran bukanlah tindakan yang sehat maupun bertanggung jawab.

Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan terus berusaha menyeimbangkan antara kewajiban konstitusional untuk mengalokasikan 20 persen anggaran bagi pendidikan dan pentingnya menjaga kualitas serta akuntabilitas belanja negara. 

Oleh karena itu, mekanisme penganggaran perlu dirancang secara matang agar tidak hanya memenuhi angka, tetapi juga membawa manfaat nyata.

"Memang ini mekanisme, kami juga berpikir terus bagaimana satu sisi mengikuti undang-undang dasar, di sisi lain Pak Dolfie minta kualitas belanjanya harus bagus, tata kelola bagus, dan segala macam, efisien," ungkap Sri Mulyani.

Upaya komunikasi dan koordinasi dengan berbagai kementerian atau lembaga terkait akan terus diperkuat demi mencapai keseimbangan tersebut.

Meskipun perdebatan berlangsung cukup tajam, rapat kerja akhirnya ditutup dengan pembacaan kesimpulan oleh Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun. 

Dalam kesimpulan tersebut, Komisi XI tetap mendesak Kementerian Keuangan agar meningkatkan kebijakan pengelolaan belanja negara, terutama dalam merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

"Kementerian Keuangan memperkuat kebijakan dalam pengelolaan belanja, pengelolaan belanja negara untuk meningkatkan kualitas belanja Kementerian atau lembaga KL yang ditunjukkan antara lain. Secara khusus, anggaran pendidikan 20 persen APBN sesuai mandat konstitusi, indikator prestasi KL dalam menjalankan belanja KL,” pungkas Misbakhun.

Topik:

dpr anggaran-pendidikan apbn-2025 sri-mulyani