Garuda Beban Negara? DPR: Tak Haram Kalau Dibubarkan!


Jakarta, MI - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP, Mufti Anam, menyoroti bobroknya PT Garuda Indonesia, mulai dari mesin pesawat yang bermasalah hingga ketepatan waktu.
Menurut Mufti Anam, Garuda Indonesia hingga kini belum mampu memberikan kontribusi keuntungan bagi negara, meskipun telah mendapat berbagai bentuk dukungan, termasuk suntikan dana sebesar Rp6,6 triliun melalui Danantara Indonesia.
“Perbaikan keuangan Garuda pun belum menunjukkan hasil yang signifikan. Negara sudah banyak hadir untuk menyelamatkan Garuda, tapi kondisinya masih stagnan,” kata Mufti dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI, Garuda Indonesia, InJourney Airports, dan IAS, pada Senin, 22 September 2025 dikutip pada Rabu (24/9/2025).
Mufti juga meragukan klaim Garuda Indonesia yang menargetkan penguasaan 50 persen pangsa pasar domestik. Saat ini, pangsa pasar Garuda baru mencapai 11 persen, sementara maskapai swasta telah menguasai lebih dari 60 persen pasar.
“Target 50 persen pasar domestik itu realistis dicapai kapan? Kami ingin tahu roadmap-nya. Kalau tahun 2026 tidak tercapai, apakah direksi dan jajarannya bersedia mengundurkan diri? Kami tidak ingin lagi diberi janji tanpa kejelasan,” katanya.
Selain itu, Mufti menyoroti soal ketepatan waktu penerbangan Garuda yang dinilai belum memuaskan. Ia mengaku mengalami keterlambatan meski Garuda pernah diklaim sebagai maskapai yang tepat waktu.
“Saya pernah mengalami delay, padahal Garuda disebut-sebut mendapatkan penghargaan sebagai maskapai tepat waktu. Saya ingin tahu, penghargaan itu dari siapa?” tanya Mufti.
Kritik juga diarahkan pada jumlah armada Garuda. Dari total 78 pesawat, hanya 58 unit yang saat ini layak operasi. “Artinya ada 20 pesawat yang tidak bisa digunakan. Jika dihitung, itu berarti sekitar 26 persen dari total armada dalam kondisi tidak layak terbang. Apakah ini wajar? Bagaimana jika dibandingkan dengan maskapai swasta seperti Lion Air atau Batik Air?” jelasnya.
Pun, dirinya mempertanyakan efektivitas suntikan dana Rp6,65 triliun yang telah dikucurkan pemerintah untuk menyelamatkan Garuda. Menurutnya, penurunan market share membuktikan bahwa bantuan negara belum mampu memperbaiki daya saing maskapai. “Negara sudah hadir begitu banyak, tapi tetap begitu-begitu saja. Kalau memang tidak ada harapan tumbuh dan terus jadi beban, tidak haram kalau Garuda dibubarkan,” lanjutnya.
Manajemen Garuda sebelumnya menyatakan ambisi menguasai hingga 50 persen pangsa pasar domestik. Namun, ia menilai target tersebut tidak realistis. “Sekarang saja baru 11 persen, sementara swasta menguasai 60 persen. Jangan sampai janji itu hanya omong kosong. Kami minta roadmap jelas, tahun 2026 berapa persen, 2027 berapa persen, dan kalau tidak tercapai, apakah direksi berani mundur?” tanyanya.
Walaupun penurunan market share memperlihatkan tantangan serius yang dihadapi. sebagai maskapai pembawa bendera (flag carrier), Mufti berharap Garuda mampu bersaing di tengah dominasi swasta. Ia pun menegaskan, jika kinerja Garuda tidak segera dibenahi, bukan hanya beban keuangan negara yang semakin berat, namun juga hilangnya kepercayaan publik terhadap maskapai nasional
Sementara Anggota Komisi VI DPR RI, Asep Wahyuwijaya, turut menyoroti tantangan besar yang dihadapi Garuda sebagai maskapai nasional. Menurut Asep, ekosistem bisnis penerbangan sudah sangat kompetitif dan bagi maskapai sendiri bebannya amat berat.
“Kalau soal bisnis dan maintenance, bisnis kebandaraan relatif oke. Tetapi bagi perusahaan jasa penerbangan yang mengelola dan memiliki maskapai, untuk mencapai profit dua digit saja pasti sulit. Apalagi ketika dihadapkan dengan persaingan yang ketat dan beban yang sangat banyak,” kata Asep dalam RDP itu.
Meski demikian, Asep menilai Garuda masih memiliki potensi besar untuk tumbuh, terutama di sektor penerbangan domestik mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan.
Dia bahkan membandingkan dengan maskapai dari negara yang secara luasan jauh lebih kecil seperti Emirates, Etihad, hingga Qatar Airways namun mampu mencetak keuntungan signifikan.
Legislator NasDem dari Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) ini juga mempertanyakan keterbatasan Garuda dalam menjangkau daerah pelosok. Komitmen untuk memberikan jasa layanan penerbangan hingga seluruh pelosok nusantara adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh PT Garuda Indonesia agar klaimnya sebagai maskapai penerbangan nasional kebanggaan semakin kuat legitimasinya.
“Garuda sebagai maskapai nasional milik negara, kenapa tidak lebih banyak hadir di pelosok? Apakah itu akan dibebankan kepada Citilink? Tentu itu soal lain, tapi saya kira melakukan ekspansi bisnis dengan memaksimalkan rute domestik ini harus sudah mulai dipikirkan dan dilakukan karena Garuda dan Citilink kan maskapai penerbangan milik bangsa yang berada dalam satu manajemen grup yang sama,” bebernya.
Agar kondisi finansialnya menjadi sehat, dia mendorong manajemen Garuda untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh, termasuk memangkas beban operasional warisan masa lalu, seperti banyaknya anak dan cucu perusahaan yang keberadaannya berpotensi membebani.
“Kita semua paham kalau kondisi keuangan Garuda saat ini secara fundamental sedang tidak baik-baik saja. Saya kira manajemen Garuda pun mestinya harus sudah menyisir dimana saja beban operasional dan finansial itu terjadi. Beban operasional yang menggerus kondisi keuangan secara terus-menerus muncul jangan sampai dibiarkan. Jangan sampai menjadi benalu atau kanker."
"Lakukan amputasi dan potong saja jika hal itu ada. Anak dan cucu perusahaan yang jika saat ini menjadi beban, saya kira segera hilangkan dan bubarkan saja,” tambahnya.
Pun, dia juga menekankan perlunya transformasi tata kelola dan budaya kerja di tubuh Garuda. “Garuda jangan sampai menyia-nyiakan perhatian banyak pihak dan kesempatan bisnis yang masih bisa dilakukan. Pihak Garuda sendiri yang harus sigap dalam meresponnya dengan melakukan upaya transformasi di internal perusahaandengan sungguh-sungguh," jelasnya.
Dengan perhatian yang hingga saat ini sudah diberikan banyak pihak kepada Garuda, mestinya Garuda bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan memaksimalkan posisinya sebaik mungkin agar menjadi entitas usaha penerbangan milik bangsa yang dapat dibanggakan.
"Saya khawatir jika Garuda tak bisa memanfaatkan kesempatan baik ini dengan benar, nasibnya bisa jadi malah berakhir buruk," pungkasnya.
Sebagai catatan, Garuda masih membukukan kerugian sepanjang kuartal I-2025. Berdasarkan laporan keuangan, Garuda Indonesia (GIAA) mencatat kerugian bersih US$76,49 juta atau setara sekitar Rp1,25 triliun di tiga bulan pertama tahun ini.
Kerugian bersih GIAA tersebut mengecil dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, US$87,04 juta. GIAA sejatinya mampu mencatat kenaikan pendapatan usaha konsolidasi 1,63% secara tahunan menjadi US$723,56 juta di kuartal I-2025.
Pendapatan dari segmen penerbangan berjadwal masih mendominasi, mencapai US$603,68 juta. Angka ini naik 0,78% dibanding kuartal I-2024 yang sebesar US$599,02 juta.
Kontribusi penerbangan tidak berjadwal kecil. Akan tetapi, pertumbuhannya mencapai 92,89% secara tahunan menjadi US$37,96 juta. Meski top line positif, namun GIAA masih terbebani oleh beban operasional. Tekanan kian besar lantaran beban keuangan perusahaan masih cukup tinggi.
Beban pemeliharaan misalnya. Angkanya naik 26,10% secara tahunan menjadi US$156,19 juta. Beban operasional turun 2,46% secara tahunan, tapi angkanya masih signifikan, mencapai US$361,96 juta.
GIAA mampu mencatat kenaikan keuntungan selisih kurs 63,51% secara tahunan menjadi US$12,82 juta. Namun, angka itu tidak cukup mengkompensasi kenaikan beban keuangan 3,91% secara tahunan yang menjadi US$124,56 juta, sehingga GIAA terpaksa harus kembali mencatat kerugian.
Topik:
Garuda Indonesia DPRBerita Terkait

Belum Usai Korupsi Kuota Haji Era Yaqut, DPR Sudah Bongkar Titik Rawan Korupsi Dana Haji 2026
16 Oktober 2025 16:51 WIB

DPR Sentil Menkeu Purbaya: Berhenti Komentari Kebijakan Kementerian Lain
14 Oktober 2025 14:55 WIB

KPK Diyakini Bongkar Korupsi Impor Beras: Kabarnya Sudah Naik Penyelidikan!
14 Oktober 2025 02:31 WIB

Tenang Saja! KPK Tetap Jebloskan Satori dan Heri Gunawan ke Tahanan, Setelah...
13 Oktober 2025 16:06 WIB