Dr. Handi Risza: Untuk Kepentingan Siapa Proyek Kereta Cepat Itu?
Jakarta, MI - Dr. Handi Risza menilai kebijakan pemerintah dalam melanjutkan proyek kereta cepat Jakarta–Bandung kini mulai menunjukkan dampaknya terhadap fiskal dan ekonomi nasional. Menurutnya, kondisi saat ini mencerminkan ketidaksinkronan antara keputusan masa lalu dengan kebutuhan dan situasi ekonomi terkini.
”Sebenarnya ada satu pertanyaan, proyek itu buat kepentingan siapa, apakah untuk kepentingan masyarakat?,” tanya Risza.
Menurut Handi, dengan jarak hanya sekitar 150 kilometer dari Jakarta-Bandung, masyarakat sejatinya masih merasa nyaman menggunakan moda transportasi lain seperti bus atau kereta, karena belum menunjukkan tingkat urgensi.
Lebih lanjut, Handi mengingatkan bahwa kereta cepat di Jawa seperti dari Jakarta – Surabaya, muncul digagas pertama kali dari pemerintahan SBY. Studi kelayakan telah dilakukan dengan desain Jakarta – Surabaya dengan jarak tempuh 748 km, dan nilai awal Rp76,95 triliun, Jakarta – Bandung 150km dengan nilai Rp13 miliar.
Dalam perjalanannya kemudian, Jepang yang sudah membuat studi kelayakan proposal waktu itu dengan alokasi anggaran lebih besar sekitar 6,52 miliar USD. Sebesar 0,1% masalahnya ada pada jaminan pemerintah. China menawarkan angka lebih ekonomis 5,13 miliar USD.
Proposal China yang disetujui pemerintah Jokowi dengan penerbitan perpres pada 2015. Adapun komposisi saham dimiliki konsorsium BUMN, skemanya B to B. Tapi waktu itu Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan menentang kereta cepat, karena dinilai tidak visible dan tidak menguntungkan. Pada 2016 dilakukan grownbreaking dan disepakati anggaran 6,071 miliar USD.
Ternyata dalam perjalanannya terjadi perubahan-perubahan karena nilai kurs akibat pembiayaan overrun, terjadi silisih Rp21,4 triliun. Hal tersebut jelas menyulitkan PT KAI dan ketua konsorsium menanggung beban.
Konsorsium akhirnya berbagi beban 25% yaitu dengan porsi Rp2,3 triliun, Rp 2,1 triliun, dan sisanya pinjaman China Development Bank sebesar Rp16 triliun. Jebakan utang membuat akumulasi utang menjadi besar. Namun harus berjalan karena sudah ada perubahan Perpresnya.
Beban APBN, katanya, terjadi karena China meminta mendapatkan jaminan dari APBN, seolah-olah PT KAI gagal bayar, dan mendapatkan PMN dari pemerintah 9,5 miliar USD. Jadi ini menunjukkan bagaimana proses transaksi didesain sedemikian rupa ‘‘memaksa dengan skema negara“, tentu saja PT KAI sebagai kreditur di bebankan pada PT KAI.
Handi menilai persoalan kereta cepat sebenarnya sudah dapat diperkirakan sejak awal. Ia mengutip perhitungan almarhum Faisal Basri yang menggunakan asumsi keterisian kursi 50%, harga tiket sekitar Rp250 ribu, dan frekuensi perjalanan 30 kali per hari.
Berdasarkan laporan keuangan PSBI tahun 2024, KAI mencatat pendapatan sekitar Rp1,5 triliun, namun tetap menanggung kerugian hingga Rp4,195 triliun. Hingga kini, masih menjadi perdebatan apakah beban kerugian tersebut akan ditanggung APBN atau melalui skema korporasi bersama Danantara.
Handi menyarankan perlunya langkah korektif berupa restrukturisasi utang, akuisisi aset, serta injeksi modal dari Danantara. Ia juga menilai strategi pengembangan usaha perlu difokuskan pada perpanjangan rute Whoosh hingga Surabaya untuk meningkatkan jumlah penumpang dan potensi pendapatan, selain itu juga optimalisasi tarif.
Melakukan inovasi skema tarif untuk menarik lebih banyak penumpang dan meningkatkan pendapatan. Dilakukan juga hendaknya integrasi dengan jaringan lain. Kereta cepat harus dintegrasikan dengan jaringan angkutan perkotaan dan logistik untuk memperkuat konektivitas dan daya tarik bagi penumpang.
Ditambah peningkatan pelayanan: meningkatkan layanan dan fasilitas dengan menambah jaringan Wi-Fi dan bekeria sama dengan operator telekomunikasi.
Terakhir peningkatan kapasitas: peningkatan jumlah perjalanan harian Whoosh perlu ditingkatkan untuk melayani lebih banyak penumpang.
Topik:
proyek-kereta-cepat dr-handi-risza