LPSK Minta Polri Profesional dan Independen Tuntaskan Kasus Pemerkosaan di Riau

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 8 Januari 2022 16:40 WIB
Monitorindonesia.com- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus profesional dan independen dalam menuntaskan kasus pemerkosaan di Pekanbaru, Riau. Kasus pemerkosaan itu diduga dilakukan oleh anak anggota DPRD Pekanbaru berinisial AR (20) terhadap siswi SMP berinisial A (15) yang kini berujung damai. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia, Maneger Nasution menduga keluarga pelaku, yang merupakan anggota DPRD, menggunakan pengaruhnya menekan korban untuk berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku. “Polisi sejatinya tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban dan keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa,” kata Maneger kepada wartawan, Sabtu (8/1/2022). Korban pemerkosaan itu diketahui telah mencabut laporannya terhadap pelaku di Polresta Pekanbaru. Pelaku AR yang sebelumnya sempat ditahan di Polresta Pekanbaru akhirnya dibebaskan dan diharuskan wajib lapor dua kali dalam seminggu. Dengan begitu, Maneger Nasution menilai pencabutan laporan korban di Pekanbaru, Riau mencederai rasa keadilan publik. Menurut Maneger, meski korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut. Pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku, juga perlu dilakukan pemeriksaan. “Apakah langkah mereka benar-benar sesuai prosedur atau diduga terjadi pelanggaran,” tegasnya. Manager mengingatkan, jika perdamaian tersebut dimaknai sebagai upaya restorative justice, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, memiliki prinsip pembatasan. Misalnya, pemenuhan syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia. “Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud,” tegasnya. Lebih jauh, Maneger mengatakan bahwa LPSK mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri, agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervsisi yang tepat. Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan di tahun 2021 terdapat 482 Pemohon. Kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual, hendaknya menjadi perhatian dan keprihatian bersama. “Selain angkanya yang tinggi dengan berbagai modus, perbuatan ini juga terjadi di ruang-ruang yang minim pengawasan. Misalnya, lingkup keluarga, tempat pendidikan dan ibadah,” tutupnya. (Wawan)
Berita Terkait