Sengketa Tanah Gunung Seriang Belum Ada Titik Terang, Lembaga Adat: Milik Warga Atau TNI AD?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Juli 2022 15:55 WIB
Jakarta, MI - Sengketa Tanah yang terjadi antara ahli waris keluarga WS Singal di wilayah Desa Gunung Seriang, Kabupaten Bulungan dengan pihak TNI AD, yakni Kodim 0903/Bulungan belum menemui titik terang. Bahkan, pihak Kodim 0903/Bulungan telah meminta agar warga yang tinggal di wilayah itu untuk mengosongkan selambat-lambatnya pada tanggal 26 Juli 2022 besok. Menanggapi hal ini, Staf Lembaga Adat Jelarai Selor, Jatting Ului mengatakan bahwa, wilayah Desa Gunung Seriang masih tanah ulayat adat Jelarai Selor. Dimana, keberadaannya sudah ada sejak tahun 1700-1800 silam. “Desa Jelarai Selor ini merupakan desa induk atau desa tertua dan secara ulayat memiliki asal usul yang jelas,” kata Jatting kepada wartawan, Senin (25/7/). Namun, jelas Jatting, ahli waris W.S Singal (almarhum) yang saat ini sedang bersengketa dengan Kodim 0903/Bulungan. “Ahli waris ini mulai menempati tanah di Gunung Seriang pada saat W.S Singal pejabat pada orde lama (wedana) sebagai utusan pemerintah untuk urusan Apau Kayan dan Mentarang, karena sudah pensiun, sehingga beliau bersama dengan tokoh adat Jelarai Selor diberikanlah tempat oleh kepala adat Jelarai Selor untuk membuka lahan yang ada di Gunung Seriang,” ujarnya. Dahulunya, lanjut dia, area tersebut merupakan kawasan pertanian masyarakat adat Desa Jelarai Selor. Namun, pada 1960 ada penunjukan dari mantan Bupati Bulungan, Damus Frans untuk pembangunan asrama TNI AD. “Tetapi, oleh Kantor Pertanahan penunjukan lokasi asrama oleh Bupati itu merupakan tumpang tindih, karena tanah itu sudah dimilik W.S Singal dan sekarang ada sembilan ahli warisnya,” ungkapnya. Namun, saat itu TNI AD melakukan pembabatan di area tersebut, W.S Singal merasa keberatan. Kemudian, tahun 1979 dilakukan koordinasi oleh pihak keluarga kepada pemerintah dan Kodim 0903/Bulungan. “Nah, dalam pertemuan itu timbul kesepakatan secara lisan. Yakni, hak pakai,” bebernya. Sehingga, pembangunan asrama TNI dilakukan. Kemudian, pada tahun 1980 pembangunannya selesai dan ditempati. Setelah itu, terbit surat keputusan gubernur terkait hak pakai. Tetapi, berjalanya waktu pada tahun 1990-1993 TNI AD meninggalkan tempat tersebut tanpa pemberitahuan. “Nah, waktu itu tidak ada konfirmasi dari TNI AD dan kami tidak tahu juga mereka ke mana,” ujarnya. Karena itu, menurutnya hak pakai tersebut dinyatakan gugur. Bahkan, sampai saat ini lembaga adat Desa Jelarai Selor tidak pernah mendapatkan pemberitahuan terkait pemakaian lahan tersebut. Kecuali, adat yang memberikan kepada W.S Singal. “Saya sebagai staf lembaga adat kami juga sudah berkoordinasi dengan tokoh adat dan mereka tidak mengetahui hal itu,” bebernya. Untuk itu, lembaga adat meminta Kodim 0903/Bulungan untuk memperjelas kepemilikan atas lahan tersebut. Jika memang tanah itu milik negara. “Sekarang ini yang kita ketahui. Yakni, tanah negara, desa dan adat,” ungkapnya. Apalagi sampai saat ini, ahli waris belum pernah melihat surat penunjukan tersebut, begitu juga dengan surat keputusan gubernur. “Para ahli waris ini sudah melakukan upaya persuasif. Bahkan, pada saat itu sudah ada upaya penyelesaian dengan tukar guling,” ujarnya. Namun, karena ada pergantian kepemimpinan Kodim 0903/Bulungan hal itu tidak berlaku. Sementara, keluarga ahli waris ini murni masyarakat hukum adat. “Jadi, lembaga adat tidak pernah membiarkan masyarakatnya mendapatkan perlakuan yang semena-mena, karena TNI ini harusnya mengayomi bukan menekan masyarakat,” bebernya. Bahkan, Kodim 0903/Bulungan telah memberikan batas waktu (deadline) untuk mengosongkan area tersebut. “Nah, kita dari lembaga adat juga sudah menerima tembusan surat peringatan dari Kodim 0903/Bulungan dan keluarga para ahli waris ini berada di dalam ulayat adat Jelarai Selor berdasarkan asal usul. Jadi, sulit sekali adat Jelarai Selor untuk melepaskan aset itu,” sebutnya. Sementara itu, Dandim 0903/Bulungan Kolonel Inf Akatoto mengatakan, mantan Bupati dahulu, Damus Frans telah menyerahkan tanah seluar 6 hektare (ha) itu untuk dibangun Kompi D. “Nah, waktu itu para ahli waris itu tidak ada tinggal di lokasi tersebut,” ujarnya. Pembangunan Kompi D, kata Akatoto, sempat tersendat, sehingga pembangunannya belum 100 persen rampung. “Nah, sebelum tahun 78 proses pembangunan kembali dilanjutkan, karena mereka ada yang tinggal di area itu dilakukan ganti rugi tanam tumbuh, karena kalau tanah negara tidak ada ganti rugi tanah yang ada hanya ganti rugi tanah tumbuh dan itu sudah diganti,” bebernya. Bahkan, proses ganti rugi itu disaksikan oleh tiga orang. Karena sudah ada proses tersebut akhirnya pembangunan dilakukan. “Mana bisa pembangunan dilakukan kalau masalah lahan belum selesai,” ujarnya. Setelah rampung, TNI AD beroperasional di area tersebut mulai 1978-1993. Namun, pada tahun 1993 terjadi perubahan organisasi. “Dahulu kan ada Kompi D, sekarang ini kan sudah tidak ada lagi Kompi D, karena berubah menjadi Kompi Bantuan isinya itu memang sejata alat berat dan harus nempel dengan Danyon Mayor. Sehingga, mereka pindah ke Tarakan,” ujarnya. Karena itu, area tersebut ditinggalkan. Sehingga terbengkalai. Melihat kondisi tersebut, mereka menempati area tersebut. “Nah, yang mereka tempati ini kan rumah kami. Asrama itu yang direhab dan tanpa izin ke kami,” ujarnya. Kemudian, di tahun 2004 mereka membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa lahan tersebut tumpang tindih. “Nah, sekarang ini bukti identik mereka apa. Tidak ada,” tegasnya. Bahkan, terkait persoalan ini Kodim 0903/Bulungan sudah beberapa kali melakukan audiensi dan upaya persuasif. “Kami sudah melayangkan surat peringatan (SP) satu dengan masa waktu tiga bulan sejak Januari,” bebernya. Kemudian, SP dua dan tiga juga sudah dilayangkan hingga batas waktu 19 Juli. “Tetapi, karena banyak kegiatan sembari melakukan sosialisasi hingga batas waktu 28 Juli. Tetapi, karena ada kegiatan diputuskan batas pengosongan besok (26 Juli 2022). Kita sudah siapkan tempat tinggal untuk mereka,” pungkasnya.

Topik:

TNI AD Sengeketa Tanah