Kejagung Sebut Penggugat UU Kejaksaan Ingin Lumpuhkan Pemberantasan Korupsi

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 15 Mei 2023 03:00 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menyebut penggugat UU Kejaksaan ingin melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini terus digencarkan. Diketahui, seorang advokat Yasin Djamaludin menggugat UU Kejaksaan ke MK. Yasin Djamaludin meminta kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus. "Menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan gugatan itu sebagaimana dikutip dari website MK. Adapun Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan itu berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undangundang”. Sementara Pasal 28D ayat (1) berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengungkapkan apabila gugatan untuk melemahkan APH tersebut dikabulkan, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat Kejagung dalam penanganan perkara mega korupsi yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya, impor garam, impor tekstil, dan lain sebagainya. “Maka inilah yang harus disuarakan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri,” kata Ketut kepada wartawan, Senin (15/5). Selain itu, Ketut menduga bahwa gugatan tersebut merupakan bagian dari perlawanan para koruptor yang selama merasa terusik terhadap Kejagung yang selama ini telah memongkar kasus-kasus besar (Korupsi). "Maka inilah yang harus disuarakan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri,” pungkasnya. Ketut pun mengakui bahwa gugatan atas kewenangan penyidikan Kejagung sudah berulang kali dilakukan, salah satunya pasca disahkannya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penggugat, kata Ketut, mempersoalkan tugas penyidikan Kejagung dalam kasus korupsi. "Gencar dilakukan oleh para koruptor adalah menggugat kewenangan aparat penegak hukum seperti uji materiil undang-undang Kejaksaan terkait kewenangan penyidikan termasuk kewenangan lain yang sangat substansial dari segi penegakan hukum,” ujarnya. Menurutnya, penggugat mencoba mengaitkan fungsi penyidikan antara Kejagung dengan aparat penegak hukum lain, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kata Ketut, penggugat melupakan kapasitas Jaksa dimana kewenangan Kejagung dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diatur dalam undang-undang Kejaksaan saja. Sebab, lebih dari itu kapasitas Kejagung tercermin dalam Undang-undang KPK, Undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, hingga Undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. “Gugatan-gugatan tersebut sudah keluar dari konteks penegakan hukum modern dan mencederai konstitusi, yakni yang tidak ada satu lembaga pun memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk Jaksa sebagai dominus litis yakni pengendali perkara,” ujar Ketut. Sebagai infornasi, bahwa dalam berkas permohonannya, Yasin Djamaludin mengungkapkan sejumlah alasan. Pertama, kewenangan jaksa masuk ke ranah penyelidikan dan penyidikan dinilai melanggar KUHAP. Sebab, pengaturan pembagian tugas penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan prapenuntutan maupun penuntutan yang dilakukan oleh jaksa/penuntut umum telah menciptakan kepastian hukum terkait dengan pembagian kewenangan, sehingga tercipta checks and balances dalam proses penyidikan/prapenuntutan. "Dalam hukum acara pidana dalam tahapan pra-ajudikasi atau prapenuntutan, jaksa melakukan the screening prosecutor atau memeriksa hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian berupa BAP, apabila menurut Jaksa/penuntut umum dirasa penyidikan yang dilakukan kurang lengkap, maka kejaksaan kepolisian untuk menyempurnakan penyidikannya," ungkap Yasin. Kedua, dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan kejaksaan menjadi superpower mengingat bahwa kejaksaan memiliki kewenangan lebih selain melakukan penuntutan jaksa juga bisa sekaligus melakukan penyidikan. Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Karena prapenuntutan/kontrol penyidikan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. "Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan tersangka untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara," urai Yasin. Alasan ketiga, sejarah pembentukan KUHAP menyatakan: "Adanya dua instansi tersebut, yaitu kepolisian dan kejaksaan yang sama-sama mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana dalam praktik menimbulkan kesimpang-siuran karena tidak ada pembidangan yang jelas dan tegas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntut umum. Karena itu, di dalam rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana ini diadakanlah suatu pembidangan yang jelas antara fungsi penyidik dan jaksa/penuntut umum. Dalam rancangan undang-undang ini, ditentukan bahwa penyidikan sepenuhnya dilaksanakan polisi. Selain itu, ditentukan pula sebagai penyidik ialah pegawai negeri sipil tertentu... dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah kordinasi dan pengawasan polisi... bilamana jaksa berpendapat bahwasanya belum cukup unsur-unsur atau kurang lengkap hasil penyidikan yang diajukan oleh pihak polisi, maka jaksa membuat catatan yang kemudian diserahkan kembali kepada polisi untuk dilengkapi... perbuatan jaksa atau penuntut umum dalam hal ini dinamakan penyelidikan lanjutan. Untuk jelasnya maka penyidikan lanjutan "de jure" ada pada jaksa (agung) tetapi "de facto" ada pada polisi dan wajib dilaksanakan oleh polisi sesuai dengan catatan jaksa/penuntut umum." "Pemberian kewenangan jaksa sebagai penyidik telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan jaminan keadilan mengakibatkan jaksa telah bertindak sewenang-wenang dan merugikan Pemohon," demikian Yasin. (LA)