Gelar Diskusi "Hubungan Hukum Antara Pengemudi Ojek Online dengan Perusahaan Transportasi Berbasis Digital" YFAS 90 Minta UU LLAJ Direvisi

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 31 Mei 2023 15:42 WIB
Jakarta, MI - Yayasan Forum Adil Sejahtera 90 (FAS 90) mengelar acara diskusi tentang "Hubungan Hukum Antara Pengemudi Ojek Online dengan Perusahaan Transportasi Berbasis Digital", di Hotel Best Western Premier, Jalan DI Panjaitan Kav 3-4 Jakarta Timur, Rabu (31/5). Diskusi ini bertujuan mengindetifikasi atau pemetaan persoalan-persoalan dan kerentanan pengemudi Ojek Online (Ojol) dan merumuskan strategi advokasi hukum yang akan dilakukan atas kepastian hukum hubungan hukum antara pengemudi ojek online dengan pengusaha transportasi ojek online. Peserta diskusi sekitar 30 orang ini terdiri dari; YFAS 90, Komunitas Ojek Online – Cibitung, Kajian transportasi dari Kampus Trisakti – Jakarta, FGSBM (Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri). [caption id="attachment_545642" align="alignnone" width="1024"] Suasana Diskusi[/caption] Diketahui, bahwa sebelum ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengangkutan orang dengan sepeda motor dengan pembayaran atau sebagai Angkutan umum yang dikenal dengan OJEK sudah marak, namun masih menggunakan pesanan Tatap muka, baik di jalan maupun di panglalan ojek. Menurut Kepala Pusat Kajian Kebijakan Transportasi dan Losgitik - Institut Transpotasi dan Losgistik Trisakti, Suripno, maraknya fenomena ini karena disebabkan tidak terserapnya angkatan kerja untuk atau lapangan kerja ini digunakan untuk mencari tambahan penghasilan dan terbatasnya layanan Angkutan umum baik jangkauan layanannya maupun kemudahan dan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas. "Ini pada dasarnya adalah problem sosial ekenomi, namun perlu ditampung dalam Rancangan Undang-undang LLAJ, yang pada saat awal perumusannya tahun 2001 dan usulan RUU LLAJ yang disampaikan pada tahun 2005, ditampung dalam Angkutan dalam Kawasan tertentu sebagai Angkutan informal, namun pada saat pembahasan undang-undang LLAJ di DPR tidak disetujui sehingga sepeda motor tidak dapat digolongkan sebagai kendaraan bermotor yang digunakan sebagai Angkutan Umum," ujar Suripno. [caption id="attachment_545643" align="alignnone" width="1024"] Kepala Pusat Kajian Kebijakan Transportasi dan Losgitik - Institut Transpotasi dan Losgistik Trisakti, Suripno[/caption] Berdasarkan ketentuan tersebut, tegas Suripno, maka penempatan sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum, adalah dilakukan dengan sengaja, tidak dapat digunakan sebagai sebagai kendaraan bermotor umum, dengan segala konsekuensinya sebagai Angkutan umum sebagai diatur dalam ketentuan lain misalnya persyaratan perijinan, tanggung jawab jawab pengangkutan untuk memberikan ganti rugi kepada penumpangnya, dan lain-lain. Apabila dikehendaki bahwa sepeda motor dapat digunkan sebagai kendaraan bermotor umum maka, yang satu-satunya jalan adalah melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. " Yaitu, sepeda motor termasuk yang dapat digunakan sebagai Kendaraan Bermotor Umum dengan pengaturan khusus sah digunakan tetapi bersifat informal artinya hanya berlaku ketentuan persyaratan keselamatan., ketentuan mengenai jasa Angkutan berdasarkan kesepakatan antara penyedia sa dan pengguna jasa," bebernya. Kemudian, Jasa Angkutan dikelompokan, menjadi Jasa Pemesanan (hanya bila melalui aplikasi on line), Jasa Angkutan yaitu jasa memindahkan penumpang dari temapat asal ke tempat tujuan. Selain itu, Suripno mengatakan juga perlu diatur penyedia jasa pemesanan online. Menurutnya, penyedia aplikasi onliine hanya dapat memungut sewa jasa layanan online berdasarkan waktu yang tarifnya ditentukan Pemerintah "Aplikasi penyedia aplikasi memungut berdasarkan transaksi, dan mengatur layanan Angkutan termasuk tarif, maka penyedia aplikasi secara otomatis bertindak sebagai perusahaan Angkutan, dan berlaku ketentuan sebagai perusahaan Angkutan umum, dan pengemudi sepeda motor berstatus sebagai pengemudi yang hak dan kewajibannya diatur berdasarkan Peraturan perundang-undangan," jelasnya. Sementara itu Ketua Umum FGSBM, Sukaria menyatakan dengan adanya diskusi bersama komunitas ojek online tujuan utamnya adalah bagaimana kedepannya agar ojek online itu memiliki hubungan dengan kerjanya bukan hanya pada perjanjian kemitraan. "Karena resiko dan pendapatan mereka terbatas dan sebagian besar keuntungan lebih diambil sama aplikator (Kantor). Dari teman-teman ojol sendiri ada kekhawatiran ketika perjanjian kemitraan itu sebagai ojol ketika diangkat menjadi hubungan kerja mereka agak khawatir terjadi masalah di aplikasi atau di ojol itu sendiri," kata saat ditemui usai acara diskusi. [caption id="attachment_545644" align="alignnone" width="1024"] Sukaria[/caption] "Karena ada beberapa sampel di luar negeri bukan saja di Indonesia, itu ada yang dari ojol menjadi hubungan kerja mereka ternyata, aplikasi jadi bubar. Jadi harapan kita adalah bagimana teman-teman ojol ini didukung juga FGSBM dan serikat buruh lainnya dilapangan tentunya," sambungnya dengan harap. Terkait Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 12 Tahun 2019, tambah Sukaria, ojol juga berharap agar direvisi. "Memperjuangkan ini, mencantumkan, diperbaiki di permennya. Itu harus dimasukin didalam isinya. Harus ada perbaikan juga pada UU Nomor 22 tahun 2009," tutur Sukaria. Dierktur Pelaksana LPBH-fAS Pelikson Silitonga mengatakan, bahwa ojek olini saat ini sangat berharap ada kekuatan yang didukung masyarakat sipil untuk dapat segera melakukan perubahan terhadap UU LLAJ yang menurut mereka sangat merugikan. [caption id="attachment_545645" align="alignnone" width="1024"] Pelikson S[/caption] "Karena tidak dianggap sedikitpun menjadi semacam transportasi yang mendukung dari pihak masyarakat di kota-kota besar. Masyarakat sipil diharapkan dapat membantu mereka dalam hal perbaikan terhadap kebijakan supaya mereka dikategorikan sebagai transportasi dan mendapat perlindungan dari negara dan pemerintah," ungkapnya. Dengan fenomena tenaga kerja sekarang ini, tambah dia, sudah menjadi sangat mendesak untuk segera pemerintah bersama dengan DPR duduk bersama untuk melakukan revisi UU LLAJ itu. Sementara itu, salah satu pengemudi oje online, Wily menegaskan payung hukum ojek online harga mati. [caption id="attachment_545646" align="alignnone" width="1024"] Wily[/caption] "Kita berharap ada payung hukum sih Pak. Sebagai pengemudi ojek online payung hukum harga mati buat kami. Kami tetap berjuang soal ini, dan tidak menutup kemungkinan kita akan tetap berjuang, kalau bisa ya kita ramein lagi lah DPR," katanya. Sebagai informasi, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 12 Tahun 2019 mengatur mengenai persyaratan terkait keselamatan dan keamanan yang harus dipenuhi oleh pengemudi maupun perusahaan aplikasi. Termasuk dalam cakupan pengaturannya, antara lain, adalah kewajiban bagi pengemudi untuk memiliki Surat Izin mengemudi, tidak membawa penumpang melebihi dari satu orang, dan mengendarai kendaraan bermotor dengan Surat Tanda Kendaraan Bermotor yang masih berlaku. Sedangkan bagi perusahaan aplikasi terdapat kewajiban untuk mencantumkan identitas pengemudi dan penumpang di dalam aplikasi, mencantumkan nomor telepon layanan pengaduan dalam aplikasi, serta melengkapi aplikasi dengan fitur tombol darurat (panic button). Kementerian Perhubungan kemudian juga menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 348 Tahun 2019 (Kepmenhub 348/2019) yang mengatur mengenai pedoman perhitungan biaya jasa penggunaan sepeda motor yang dilakukan dengan aplikasi. Peraturan ini mengatur formula perhitungan biaya jasa. (LA)