Benang Merah Korupsi Pengerukan Alur Pelayaran, Tata Kelola Pelabuhan yang Buruk di Ditjen Hubla

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Kapal pesiar sandar di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Sabtu (21/10/2023) (Foto: Antara)
Kapal pesiar sandar di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Sabtu (21/10/2023) (Foto: Antara)

Jakarta, MI - Ada benang merah dalam pusaran dugaan korupsi proyek pengerukan alur pelayaran di beberapa pelabuhan di Indonesia mencapai Rp500 miliar. Setidaknya ada empat pelabuhan yang pengerjaan pengerukan yang dikorupsi.

Adalah Pelabuhan Tanjung Mas Tahun Anggaran (TA) 2015-2017. Selanjutnya, Pelabuhan Samarinda TA 2015-2016, Pelabuhan Benoa TA 2014-2016, dan Pelabuhan Pulang Pisau TA 2013-2016.

Pada kasus tersebut masih memiliki benang merah pada kasus suap mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono pada tahun 2017 lalu. Hanya saja, KPK menambahkan satu objek hukum baru yaitu, korupsi pengerukan alur pelayaran di Pelabuhan Benoa periode 2014 hingga 2016.

Tonny terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK karena diduga menerima suap dari Komisaris PT Adhi Guna Keruktama, Adiputra Kurniawan. Suap ini diduga terkait proyek pengerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Keduanya terkena OTT pada Rabu (23/8/2017).

Komisi Pemberantasan Korupsi
KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengerukan alur pelayaran di beberapa pelabuhan di Indonesia. "Total nilainya sekitar Rp 500-an miliar karena ada 8 paket pengerukan di dalamnya," kata Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto. (Foto: Dok MI/Aswan)

Total uang yang disebut KPK sebagai suap sebesar Rp 20,47 miliar. Duit tersebut disita KPK dari 33 tas yang berisi uang tunai Rp 18,9 miliar. Sisa duit lainnya, yakni Rp 1,174 miliar, berada dalam ATM yang disiapkan untuk membayar setoran kepada Tonny.

Tony kemudian dinyatakan terbukti bersalah menerima uang suap terkait sejumlah proyek di lingkungan Kementerian Perhubungan dalam kurun waktu 2016-2017 serta gratifikasi selama 2015-2017.

Suap tersebut diterimanya dari mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia IV itu sebesar Rp2,3 miliar dari pengusaha Adiputra Kurniawan, terkait pengerjaan pengerukan empat pelabuhan di sejumlah daerah.

Dia kemudian dijatuhi hukum pidana penjara selama dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Adapun kasus tersebut sama-sama berlangsung bertahun-tahun serta tidak terendus Kemenhub ataupun aparat penegak hukum. Lantas, apakah ini menunjukkan adanya pembiaran terhadap kasus yang terjadi dan tata kelola pelabuhan yang dinilai buruk selama ini?

Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) R Agus H Purnomo (2017-2021) saat dimintai tanggapan Monitorindonesia.com, Kamis (1/8/2024) enggan berkomentar panjang lebar. Justru dia menduga chat WhatsAap jurnalis Monitorindonesia.com salah kirim.

https://hubla.dephub.go.id/storage/images/post/9744/md-rysOwRs2a9XEGJy5Vq62mwEtnXbkqx18szQgqeMY.jpg
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut, R Agus H Purnomo

"Mungkin salah kirim," singkatnya. Ketika dikonfirmasi lagi bahwa dia menjabat sebagai Dirjen Hubla dari tahun 2017-2021 yang tentunya mengetahui soal pengelolaan pelabuhan. 

Namun, lagi-lagi dia tak mau berkomentar, justru menyarankan bertanya kepada pihak yang berkompeten. "Ke yang kompeten lebih tepat," katanya.

Sementara itu, Menhub Budi Karya Sumadi, hingga saat ini belum memberikan respons konfirmasi Monitorindonesia.com. Sama halnya saat dimintai tanggapan soal kasus dugaan korupsi pembangunan jalur kereta api, dia bungkam alias tutup mulut.

Sektor pelayaran perlu diperbaiki
Komisi V DPR RI yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang Infrastruktur dan Perhubungan menilai masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki di sektor pelayaran.

Anggota Komisi V DPR Sigit Sosiantomo menyebut perlu ada pengaturan di tingkat UU untuk menghilangkan praktik-praktik manipulasi pengangkutan. 

Dalam praktiknya, manipulasi yang terjadi sebenarnya tidak dikuasai oleh perusahaan angkutan dalam negeri, dan merugikan kedaulatan pelayaran nasional.

“Revisi ini intinya untuk membangkitkan sektor pelayaran nasional oleh karena itu klausul-klausul dalam undang-undang pelayaran ini yang terkait dengan asas cabotage". 

Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo (Foto: Ist)
Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo (Foto: Dok MI)

"Kalau bisa membangkitkan potensi dan semua aspek yang bisa menjadikan pelayaran nasional itu menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Sigit saat dikonfirmasi, Kamis (1/8/2024).

Menurut Sigit, sejak pemberlakuan Asas Cabotage dalam Undang-Undang Pelayaran selama ini, telah menambah gairah pelayaran nasional. Namun, peran warga dalam peningkatan kepemilikan kapal nasional masih menemui sejumlah kendala. 

Antara lain masih kurangnya dukungan terhadap sektor-sektor terkait pelayaran, yang mencakup permodalan, perbankan, dan teknologi.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Santoso, berharap kepada KPK dapat membongkar kasus yang saat ini sedang ditangani.

Anggota Komisi III DPR RI, Santoso (Foto: Dhanis/MI)
Anggota Komisi III DPR RI, Santoso (Foto: Dok MI)

Dia menegaskan tindakan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah oknum di berbagai instansi tentu sangat merugikan masyarakat. Untuk itu ia menyatakan bila setiap tindakan dugaan kasus korupsi harus dihukum secara setimpal.  “Perilaku oknum yang menyengsarakan rakyat harus di hukum seberat-beratnya," tegasnya.

9 tersangka
KPK telah menetapkan 9 tersangka kasus korupsi proyek pengerukan alur pelayaran di 4 pelabuhan itu. Para tersangka terdiri dari penyelenggara negara dan swasta.

"KPK membuka penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait paket pekerjaan pengerukan alur pelayaran pada beberapa pelabuhan di Indonesia," kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, Kamis, (27/6/2024).

Tessa menjabarkan dugaan korupsi yang tengah disidik di antaranya, paket pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Mas tahun anggaran 2015, 2016 dan 2017; lalu di Pelabuhan Samarinda tahun 2015 dan 2016.

Juru Bicara KPK RI Tessa Mahardika Sugiarto
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto (Foto: Dok MI)

Selain itu, paket pengerukan alur pelayaran di Pelabuhan Benoa tahun 2014, 2015, dan 2016; serta di Pelabuhan Pulang Pisau tahun 2013 dan 2016.

Tessa mengatakan 9 orang yang ditetapkan menjadi tersangka, terdiri dari 6 penyelenggara negara dan 3 swasta. Dia belum mau menyebutkan nama para tersangka tersebut. "Kronologis dugaan perbuatan pidana dan pasal yang disangkakan akan kami umumkan saat penyidikan perkara ini telah cukup," katanya.

Dia mengatakan proses penyidikan saat ini sedang berjalan, di antaranya dengan pemanggilan saksi-saksi dan tindakan-tindakan penyidik lainnya. 

"Setiap perkembangan penyidikan ini akan kami sampaikan ke masyarakat," katanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Monitorindonesia.com, 9 tersangka dalam kasus ini adalah Adiputra Kurniawan (Swasta); David Gunawan (Swasta); Iwan Setiono Phoa (Swasta); Sunarso (PNS/PPK paket pekerjaan pelabuhan tanjung mas Semarang); Ihsan Ahda Tanjung (PPK/paket pekerjaan pelabuhan mas Semarang).

Lalu, Aditya Karya (PPK/paket pekerjaan pelabuhan samarinda); Herwan Rasyid (PPK/paket pekerjaan pelabuhan samarinda); Otto Patriawan (PPK/paket pekerjaan pelabuhan pulang pisau); dan Sapril Imanuel Ginting (PPK/paket pekerjaan pelabuhan pulang pisau)

Jika menarik benang merahnya, maka orang-orang diduga tersangka itu tidak asing lagi. Mereka terseret di kasus serupa yang diusut KPK pada 2017 lalu.

Adiputra Kurniawan mantan Komisaris PT Adhiguna Keruktama divonis empat tahun penjara lantaran terbukti memberi suap kepada Dirjen Perhubungan Laut pada Kementrian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono untuk memuluskan jalan perusahaannya sebagai pememang di sejumlah proyek. 

Mulai dari proyek pengerukan alur pelayaran di Pelabuhan Pulang Pisau, Kalimantan Selatan dan Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur pada 2016 dan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Emas Semarang pada 2017. Tonny Budiono juga divonis bersalah dengan hukuman penjara lima tahun.

Selain itu, Adiputra dan Tonny terlibat dalam penyelewengan izin pengerukan untuk rekanan Adiputra yaitu PT Indominco Mandiri dalam proyek pengerukan di Bontang Kalimantan Timur dan PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten terkait pekerjaan pengerukan di Lontar Banten serta pekerjaan pengerukan di Tanjung Emas Semarang. 

Dalam fakta persidangan, total suap yang masuk ke Tonny dari Adiputra mencapai Rp2,7 miliar.

Dalam LPSE Kemenhub, nama Adhiguna Kerukutama tercatat sebagai perusahaan yang kerap menang proyek pengerukan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan sejak 2013. 

Saat itu, Adhiguna mendapat proyek senilai Rp45 miliar untuk pengerukan alur pelayaran di Tanjung Emas. Sedikitnya, perusahaan itu telah menggarap empat proyek dengan total nilai dari Rp230 miliar sampai 2017.

Seluruh proyek Kementeran Perhubungan yang dimenangkan Adhiguna Kerukutama berasal dari dana APBN.

Merujuk proyek yang sedang disidik KPK di Pelabuhan Tanjung Emas pada periode 2015-2017, Adhiguna Keruktama memenangkan dua tender dengan total pagu proyek sebesar Rp117 miliar. 

Di proyek pengerukan di Pelabuhan Samarinda memenangkan satu tender dengan total anggaran negara Rp81 miliar. Dan Rp68 miliar untuk proyek keruk di Pelabuhan Pulang Pisau.

Adiputra Kurniawan menjabat komisaris di perusahaan itu sejak 2013. Dalam fakta persidangan diungkap bahwa Adiputra sudah lama mengenal Tonny Budiono, bahkan sejak Tonny masih berstatus Direktur Direktur Pelabuhan dan Pengerukan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pada 2015. 

Relasi keduanya berawal ketika Adiputra mendatangi Tonny untuk meminta saran tentang masalah tender proyek agar bisa menang. Tonny lantas menjawab normatif agar perusahaan Adiputra memenuhi segala persyaratan dan kualifikasi tender.

Setahun kemudian, relasi keduanya makin cair menyusul Tonny mendapat jabatan baru sebagai Dirjen Perhubungan Laut. Pada saat itu lah, lobi gencar dilakukan Adiputra hingga akhirnya memberi suap kepada Tonny berupa kartu ATM yang berisi saldo banyak. Tonny sejak saat itu mulai intervensi sejumlah proyek yang diinginkan Adhiguna Kerukutama.

Fakta persidangan
Dalam fakta persidangan, nama-nama terduga tersangka yang kini diincar KPK juga sempat menjadi saksi bagi Tonny dan Adiputra, seperti Sapril Imanuel Ginting.

Dia adalah PPK KSOP Kelas V Pulang Pisau yang menandatangani kontrak proyek di Pelabuhan Pulang Pisau dengan nilai kontrak Rp60 miliar lebih. David Gunawan selaku Dirut Adhiguna Keruktama, juga ikut menandatangani proyek bermasalah itu.

Ginting mengaku menerima ATM berisi ratusan juta dari Otto Patriawan yang saat itu berstatus Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas V Pulang Pisau, sekaligus kuasa pemegang anggaran proyek. 

Kartu ATM berasal dari Adiputra yang diberikan ke Otto sebagai bentuk suap dan Ginting bilang menggunakan uang dari ATM itu sebesar Rp200 juta. Dalam sidang, dia katakan sudah mengembalikan uang itu kepada KPK. Begitu pun Otto, yang mengambil Rp200 juta dari ATM dan mengklaim sudah mengembalikan.

Menhub Budi Karya lolos, lempar tangan ke anak buah?
Menhub Budi Karya Sumadi sebagai saksi bagi Tonny Budiono. Kala itu, Menhub Budi Karya mengklaim bukan sebagai pemegang kuasa dalam proyek pengerukan alur pelayaran di sejumlah pelabuhan. 

Sebab, wewenang penuh di bawah Dirjen Perhubungan Laut. Menhub Budi juga mengklaim tidak mengenal Adiputra dan perusahaannya serta tak mengetahui adanya ATM yang diberikan Adiputra sebagai bentuk suap pemulusan proyek. 

Sedangkan, Ignatius Jonan tak pernah menjadi saksi dalam sidang kasus itu. Namun, bekas staf ahlinya yang bernama Hadi Djuraid disebut Tonny dan Adiputra dalam sidang menerima uang Rp1 miliar untuk pengaturan dalam proyek di Pelabuhan Tanjung Emas.

Di lain sisi, setiap kali pemeriksaan di KPK, Tonny Budiono saat itu selalu menyatakan bahwa Menhub Budi Karya Sumadi sebagai orang baik. 

Kendati, penyidik KPK tidak percaya begitu saja, termasuk pula Ketua KPK Agus Rahardjo (sebelum Firli Bahuri).

Dugaan keterlibatan Menhub Budi Karya ternyata sedari awal telah didalami penyidik, saat pemeriksaan perdana Tonny Budiono sebagai tersangka kala itu.

Menhub Budi Karya Korupsi Jalu Kereta Api
Menhub Budi Karya (Foto: Dok MI)

Dari pemeriksaan awal itu, Antonius Tonny Budiono mengaku kepada penyidik, bahwa uang-uang yang ditimbun di rumahnya hingga Rp 20 miliar itu hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk pihak lain, termasuk Menhub Budi Karya dan pejabat di Kemenhub.

"Dia (Antonius Tonny budiono saat pemeriksaan) menyampaikan sama sekali tidak ada (aliran uang suap Menhub Budi Karya). Bahkan dia memuji menterinya terus, bilang kalau orang baik," kata Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (31/8/2017).

Namun, Agus Rahardjo menegaskan, KPK tidak begitu saja mempercayai pengakuan Antonius Tonny Budiono. Dia bahkan memastikan pihaknya bakal mendalami sejumlah pihak lain yang diduga kecipratan uang dari Antonius Tonny Budiono. 

"Ya itu pernyataan dia (Antonius Tonny Budiono). KPK kan selalu melakukan penelitian lebih lanjut," katanya.

Eks Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim
Eks Ketua KPK Agus Rahardjo (Foto: Dok MI)

Agus menambahkan, dugaan keterlibatan Menhub Budi Karya ‎bukan tanpa sebab. Sebab, KPK telah mengantongi bukti awal bahwa dugaan suap kepada Antonius Tonny Budiono, terkait perizinan dan banyak proyek pengadaan di lingkungan Kementerian Perhubungan tahun 2016-2017. 

"Proyek di sana (Kemenhub) kan banyak sekali, tapi saya tidak hafal," kata Agus.

Agus Rahardjo meyakini, selain berasal dari Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adiputra Kurniawan, diduga uang suap sebesar Rp 18,9 miliar yang disimpan dalam 33 tas ransel berasal dari berbagai pengusaha yang berkepentingan dengan proyek di Kemenhub.

Penting diketahui bahwa hingga saat ini, KPK belum bisa menyampaikan identitas para tersangka dan duduk perkara korupsi tersebut pengerukan alur pelayaran di beberapa pelabuhan di Indonesia Rp500 miliar

"Pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, kronologi dugaan perbuatan pidana dan pasal yang disangkakan akan diumumkan saat penyidikan perkara ini telah cukup," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Kamis (1/8/2024) malam. (wan)

"Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah? Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor".