OTT Perwira TNI di Basarnas: KPK Khilaf hingga Dirdik Mengundurkan Diri, Ada yang Cuci  Tangan?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 28 Juli 2023 22:31 WIB
Jakarta, MI - Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret pejabat Badan SAR Nasional (Basarnas) berbuntut pada pemintaan maaf KPK terhadap pihak TNI dan pengunduran diri Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu yang juga Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK. Mantan penyidik KPK sekaligus Ketua IM57+Institute, M Praswad Nugraha, menyoroti pimpinan KPK yang seolah menyalahkan tim penyelidik terkait proses tangkap tangan dugaan korupsi di Basarnas. "Pimpinan KPK tidak boleh cuci tangan seolah-olah ini adalah pekerjaan tim penyelidik semata. Karena seluruh alat bukti wajib dilaporkan kepada pimpinan KPK dalam mekanisme ekspose perkara bersama antara penyelidik, penyidik, penuntut, dan pimpinan KPK," kata Praswad kepada wartawan, Jumat (28/7). Dijelaskannya bahwa mekanisme pengusutan kasus di KPK telah diatur dalam UU KPK Pasal 39 ayat 2. Aturan itu, jelas Praswad menyebutkan bahwa setiap kegiatan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan KPK dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama pemimpin KPK. Praswad mengatakan para penyelidik KPK akan melaporkan kepada pemimpin KPK setelah menemukan dua alat bukti. Berdasarkan bukti itu, pemimpin KPK lalu melakukan gelar perkara untuk menentukan pihak yang menjadi tersangka. "Penetapan tersangka sepenuhnya adalah kewenangan pimpinan KPK, bukan kewenangan penyelidik atau penyidik KPK. Kesalahan atau ketidakcermatan pimpinan KPK tidak boleh terjadi di dalam proses pro justisia (penanganan perkara) karena masuk di dalam penyalahgunaan kewenangan dan termasuk dalam perbuatan pidana," bebernya. Praswad pun menegaskan pemimpin KPK menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam kekeliruan dari OTT hingga penetapan Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka di kasus dugaan suap di Basarnas. "Pimpinan KPK harus bertanggung jawab penuh atas segala proses operasi tangkap tangan dan penanganan perkara, baik secara etik maupun pidana," jelas Praswad. Sementara itu, mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan menilai pimpinan lembaga antisurah tidak bertanggung jawab. "Pimpinan KPK tidak tanggung jawab. Setiap kasus melalui proses yang detail bersama Pimpinan KPK dan pejabat struktural KPK. Kok bisa-bisanya menyalahkan penyelidik atau penyidik yang bekerja atas perintah Pimpinan KPK," kata Novel di akun Twitter @nazaqistha, dikutip Monitorindonesia.com, Jum'at (28/7). KPK telah mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas itu. KPK mengatakan, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI. "Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7). Dengan demikian, Novel menyalahkan pemimpin KPK Firli Bahuri yang salah penindakan yang harus dilakukan oleh TNI. "Kenapa tidak salahkan Firli yang menghindar dan main Badminton di Manado?" kata Novel. Menurut Novel, pengambilan keputusan dalam setiap penanganan perkara ada pada pimpinan KPK. Sementara penyelidik menyajikan fakta-fakta dan dibahas dengan penyidik. "Penuntut dan pejabat struktural di Penindakan KPK. Bisa-bisanya pimpinan salahkan penyelidik dagelan," kata dia. Berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 yang mengatur sistem peradilan di Indonesia, terdapat empat butir sistem peradilan yakni peradilan militer, peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Karena dalam kasus ini melibatkan prajurit aktif TNI, maka harus diserahkan kepada pihak militer. KPK sebelumnya telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap di Basarnas itu. Untuk tersangka pemberi suap adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil. Ketiga tersangka dijerat dengan pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sedangkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto sebaggai penerima suap diserahkan kepada Puspom TNI. Namun, pengusutan kasusnya ditangani tim gabungan penyidik KPK dan Puspom TNI. Henri dan Afri diduga telah menerima suap Rp 999,7 juta dari Mulsunadi dan Rp 4,1 miliar dari Roni. Selain itu, Henri dan Afri diduga telah menerima suap total Rp 88,3 miliar dari sejumlah vendor sejak 2021 hingga 2023. (Wan)

Topik:

KPK Basarnas