Bongkar Lagi Kasus Kopi Sianida, Otto Hasibuan Incar Novum

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Desember 2023 02:08 WIB
Otto Hasibuan (Foto: MI/Aswan)
Otto Hasibuan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Otto Hasibuan, kuasa hukum Jessica Wongso berterimakasih kepada tim advokat dengan melaporkan oknum-oknum yang diduga merekayasa kasus yang menjerat kliennya itu.

Bahkan, Otto juga akan berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) lagi.

Adapun yang dilaporkan pertama adalah Oknum Hakim bernama Binsar Gultom (BG) yang diduga melanggar kode etik karena memberikan pernyataan mengenai kasus Jessica Wongso di televisi.

BG dilaporkan ke Bawas MA dan KY pada akhir November lalu atas dugaan melanggar pasal 7 ayat 3 huruf F dan huruf G peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial nomor 2bb/MA/09/2012.

Pihak kedua yang dilaporkan adalah Darmawan Salihin (DS), ayah kandung dari Mirna Salihin karena diduga menyembunyikan barang bukti CCTV.

Pelaporan DS ke bareskrim dilakukan pada hari Jumat 1 Desember 2023 atas dugaan melanggar pasal Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP dan Pasal 32 Ayat (1) UU ITE.

Alasannya, DS memamerkan rekaman CCTV yang tidak ditayangkan di persidangan namun ia perlihatkan di suatu acara yang dipandu oleh Karni Ilyas.

Dengan demikian, kepada Kapolri, Ketua Umum Peradi itu berharap agar tidak menganggap kasus ini biasa saja.

"Saya pikir Kapolri harus memberikan perhatian yang serius mengenai ini, tidak bisa membiarkan ini sebagai biasa saja, supaya hukum kita itu tegak," harap Otto, Senin (4/12).

Di lain sisi, Otto mengatakan langkah ini bukan untuk menyerang institusi, akan tetapi jika ada oknum yang salah tentu harus diperbaiki.

Sekedar tahu, bahwa saat ini Otto sedang mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengajukan PK, khususnya soal novum dan bukti-bukti lain pada kasus kopi sianida itu.

Menurut Otto, kasus Jessica seharusnya dapat dijadikan momentum perubahan di bidang penegakan hukum. 

Banyaknya dukungan pada kasus Jessica, lanjut Otto harusnya dijadikan pertimbangan bagi para penegak hukum. 

Dengan kasus ini, diharapkan ada perubahan yang signifikan di bidang penegakan hukum, supaya semua pimpinan-pimpinan penegak hukum yang ada baik Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Agung, bisa melihat bahwa ada sesuatu hal yang salah di dalam penegakan hukum selama ini. 

PK Jessica memang telah diajukan pada awal Desember 2018. Namun sayangnya, PK itu ditolak oleh MA. 

Otto menegaskan, kasus ini harus dibuka kembali. Pasaknya, Otto menduga ada pihak yang melakukan kejahatan dalam kasus yang terjadi pada tahun 2016 itu.

"Kami akan mengajukan PK setelah terlebih dahulu membongkar pelaku yang diduga melakukan kejahatan dalam kasus ini," tegas Otto saat dihubungi Monitorindonesia.com, Minggu (26/11) dini hari.

Otto yang juga Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menegaskan, bahwa dugaan pihak yang merekayasa dan menyembunyikan CCTV-lah yang membuat kliennya itu dihukum.

"Aparat penegak hukum harus membongkar pelaku yang diduga melakukan rekayasa cctv dan yang menyembunyikan cctv sehingga membuat Jessica dihukum," kata Advokat senior ini.

Sebagai catatan, bahwa sebenarnya pihak Jessica Wongso dapat meminta kepada pihak berwenang kembali membuka kasus tersebut karena adanya kejanggalan-kejanggalan. 

Barulah peninjauan kembali dapat diajukan dengan syarat terdapat bukti baru (novum) yang belum terungkap pada persidangan sebelumnya. 

Jadi harus terdapat hal baru yang sebelumnya memang belum ada dalam persidangan hingga terpidana tersebut diputus dan dieksekusi dalam hukumannya.

Monitorindonesia.com mengutip pengaturan soal upaya hukum peninjauan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 263 hingga 269. 

Bahwa di dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a-c disebutkan peninjauan kembali dapat dilakukan dengan apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan yang lebih ringan dari yang telah diterimanya.

Kemudian peninjauan kembali dapat dilakukan dengan dasar apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain serta terakhir putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Adapun jangka waktu dalam peninjauan kembali tidak dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 264 Ayat (3). 

Kemudian dalam peninjuan kembali pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. 

Kemudian putusan tersebut dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, serta putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Soal asas tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 18 Ayat (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Melalui asas tersebut maka setiap orang akan memperoleh kepastian hukum dengan tidak diproses pada perkara yang sama. (Wan)