Kriminolog Dorong Pemeriksaan Terhadap Hani, Diduga Rencanakan Ngopi di Kafe Olivier Bareng Mirna Salihin

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 19 Desember 2023 12:55 WIB
Kriminolog UI, Kurnia Zakaria (Foto: Dok MI)
Kriminolog UI, Kurnia Zakaria (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang menyeret Jessica Kumala Wongso seakan masih janggal dan menyimpan misteri. Tetapi, kasus ini bisa digali dari awal oleh pengacara Jessica Kumala Wongso, Otto Habisbuan dengan bantuan aparat penegak hukum (APH).

"Pak Otto dengan bantuan penegak hukum bisa menggali siapa sebenarnya yang merencanakan kasus tersebut,"  kata kriminolog Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria saat berbincang dengan Monitorindonesia.com di Jakarta, Selasa (19/12).

Apalagi baru-baru ini, Otto Hasibuan mengungkap fakta bahwa yang mengajak pergi ngopi di kafe olivier awalnya tidak direncanakan oleh Jessica Wongso, namun Hani.

Hanya saja, lanjut Kurnia, ada kah pengakuan dari Hani terkait hal itu.

"Maka itu dia mesti diperiksa, jika memang saat itu dia memberikan keterangan palsu saat persidangan," bebernya.

"Dan harus laporkan dulu, kalau seandainya Jessica punya opsi bahwa Hani yang mengusulkan untuk ke cafe itu. Bukan hanya semata-mata pengakuan dari Jessica atau klaim dari pengacaranya," sambungnya.

Hal inilah menurut Kurnia akan menjadi kesulitan dalam hal mencari novum (bukti baru/belum terungkap dalam persidangan).

"Akan sulit juga jika tidak ada pengakuan Hani, kemudian tidak ada bukti dalam laporan Jessica, itu akan sulit," lanjut Kurnia.

Selain itu Kurnia juga menyoroti laporan terhadap ayah Mirna Salihin, Edi Darmawan Salihin ke Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada Jumat (1/12) lalu. Laporan itu dilayangkan oleh Tim Aliansi Advokat Pembela Jessica Wongso.

Selain Edi, salah satu hakim dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Laporan itu diajukan oleh tim pengacara dari Jessica.

"Kalau dia ada dugaan atau sangkaan terlibat dalam kasus ini, belum bisa dikatan oknum juga, kan itu baru sangkaan," kata Kurnia.

Laporan-laporan itu juga dapat disebut  sebagai novum, jika ada pengakuan dari terpidana Jessica Wongso juga.

Di lain sisi, Kurnia juga mendorong pemeriksaan ulang terhadap saksi-saksi. "Kalaupun umpanya belum diperiksa dan dijadikan tersangka oleh polisi, itu harus ditanya ulang sama hakim, termasuk pegawai di kafe olivier itu," tukasnya.

Sebelumnya, Otto Hasibuan membeberkan bahwa bukan Jessica Wongso yang pertama kali mengajak untuk bertemu di Kafe Olivier. Menurutnya yang pertama kali yang merekomendasikan untuk bertemu di Kafe Olivier adalah Hani.

“Yang menentukan tempat itu bukan dia (Jessica Wongso), dia chatting dengan Hani ‘Hani kita mau minum di mana?’ mereka mengatakan minumnya cari aja public market atau di Olivier,” kata Otto sebagaimana dikutil dari YouTube PABLO BENUA pada Senin (18/12).

Otto menjelaskan bahwa setelah Hani merekomendasikan Kafe Olivier baru kemudian Jessica Wongso mencari tahu seputar kafe tersebut baru memberikan pendapatnya.

“Karena Jessica orang baru datang dari Sydney dia lihatlah di internet ‘Oh Olivier bagus di Olivier aja yah gitu’ dari sini saja bisa dilihat tidak ada perencanaan itu,” ungkap Otto Hasibuan.

“Jadi kalau perencanaan itu ada tentunya dia lah yang memang cari tempat, yang menawarkan itu adalah Hani,” sambungnya.

Maka dari itu atas dasar inilah yang menurut Otto Hasibuan tidak ada perencanaan pembunuhan kepada Mirna Salihin, karena bukan Jessica Wongso yang merekomendasikan Kafe Olivier.

Terkait dengan peninjauan kembali (PK) yang baru, Otto Hasibuan akan mendaftarkannya lagi pada awal tahun depan.

"Mudah-mudahan nanti Januari atau Februari kita akan masukkan PK-nya," kata Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (18/12).

Rekayasa CCTV

Otto mengatakan tim pengacara Jessica sedang mengumpulkan sejumlah bukti baru dalam kasus pembunuhan Mirna. Dia menyinggung soal dugaan adanya rekayasa CCTV.

"Dalam rangka bukti-bukti tersebut kami melakukan beberapa langkah upaya hukum. Antara lain itu mencari bukti adanya pelanggaran-pelanggaran prosedur terutama terkait dugaan rekayasa terhadap CCTV," ujar Otto.

Menurut Otto, dugaan rekayasa CCTV dalam kasus pembunuhan Mirna merupakan hal krusial. 

Dia mengatakan salah satu pertimbangan hakim dalam memutus Jessica bersalah ialah rekaman CCTV di hari Mirna terbunuh.

"Hakim juga memberikan putusan berdasarkan tayangan CCTV padahal bukti-bukti yang kita peroleh ada dugaan manipulasi terhadap CCTV tersebut. Itu pintu pertamanya," katanya.

Hakim Tak Bisa Tafsirkan Kematian Mirna Tanpa Autopsi

Otto juga berharap Mahkamah Agung (MA) menyoroti tidak adanya hasil autopsi jenazah Mirna yang menjadi rujukan putusan hakim.

Otto menilai hakim tidak bisa menafsirkan penyebab kematian korban tanpa autopsi. "Mahkamah Agung harus concern karena kalau sampai ada seseorang mati tanpa diautopsi tapi hakim menafsirkan sendiri sebab kematiannya tanpa autopsi ini akan cacat dalam peradilan itu," ujar Otto.

"Jadi bagaimanapun sesungguhnya Mahkamah Agung harus memperbaiki putusan ini karena prosedur ini akan cacat dan secara ilmu pengetahuan pun akan cacat juga," sambungnya.

Otto mengatakan bukti-bukti tersebut kini tengah dikumpulkan tim pengacara Jessica. Dia menargetkan awal tahun depan PK dari Jessica akan kembali diajukan.

"Mudah-mudahan dalam waktu singkat ini kami akan dapatkan bukti semuanya dan kami ajukan PK," ucap Otto.

Sebagai informasi, bahwa kasus bermula saat Mirna tewas setelah ngopi bareng Jessica di Kafe Olivier, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016. 

Jessica kemudian ditetapkan sebagai tersangka hingga menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Setelah sidang berjalan, hakim menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara terhadap Jessica. Hakim menyatakan Jessica terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Mirna dengan cara memberi racun sianida ke kopi yang diminum Mirna.

Hakim menyatakan Jessica terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 340 KUHP. Majelis hakim menyatakan Jessica terbukti menaruh sianida tersebut.

Jessica tak terima dengan vonis itu dan mengajukan permohonan banding. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta kemudian menguatkan putusan PN Jakpus Nomor 777/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst pada 27 Oktober 2016.

Jessica terus melawan dengan mengajukan upaya kasasi. Pada 21 Juni 2017, MA menolak kasasi Jessica. 

Perkara tersebut diketok oleh ketua majelis kasasi hakim agung Artidjo Alkotsar dibantu dengan 2 anggotanya hakim agung Salman Luthan dan hakim agung Sumardijatmo.

Atas vonis kasasi itu, Jessica mengajukan PK. MA pun menolak PK Jessica pada 31 Desember 2018. Jessica saat ini sedang menjalani hukuman di Lapas Pondok Bambu.

Kejagung juga menyatakan siap menghadapi PK kedua dari Jessica. Kejagung menyatakan seluruh dakwaan telah terbukti dan hukuman Jessica tak berubah sejak tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung. (Wan)