Teka-teki Siapa Orang Tua Buronan Kasus Vina Cirebon

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Mei 2024 15:19 WIB
Polda Jabar juga mengimbau kepada tersangka yang masih buron untuk menyerahkan diri, dan memberikan peringatan kepada siapa saja yang berusaha menyembunyikan tersangka juga dapat diproses hukum.
Polda Jabar juga mengimbau kepada tersangka yang masih buron untuk menyerahkan diri, dan memberikan peringatan kepada siapa saja yang berusaha menyembunyikan tersangka juga dapat diproses hukum.

Jakarta, MI - Kasus pembunuhan Vina Cirebon tahun 2016 kembali menyeruak buntut ramainya film 'VINA: Sebelum 7 Hari' karya Anggy Umbara. Namun film horor tersebut mendapatkan kritik pedas dari berbagai pihak karena dianggap tidak menghormati korban pemerkosaan dan pembunuhan.

 Apalagi sutradara menampilkan adegan kekerasan yang dialami korban secara terang-terangan.

Delapan tahun bergulir, sejak Vina dan Eky tewas dibunuh, kasus hukum kedua remaja asal Cirebon, Jawa Barat itu tak pernah benar-benar tuntas. Dua orang pelaku masih menjadi buronan polisi hingga saat ini, dan di sisi lain, muncul klaim sejumlah terdakwa yang mengaku menjadi korban salah tangkap polisi.

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan polisi harus membuktikan akuntabilitas penyelidikannya dalam kasus ini untuk menjawab berbagai klaim dan kejanggalan yang mengemuka.

Sebab klaim-klaim yang mengemuka itu, menurut Bambang, mengindikasikan pembuktian yang tidak cukup kuat terkait keterlibatan para terdakwa.

Dia mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan serta Direktorat Kriminal Umum Polri menelusuri dan memeriksa kembali apakah penyidikan kasus ini pada 2016 lalu sudah berjalan sesuai prosedur.

Dua hal yang menurut Bambang penting untuk dibuka secara transparan. Pertama, mengapa polisi belum juga menangkap tiga orang pelaku yang menjadi buronan selama delapan tahun terakhir. Padahal menurut Bambang, “itu semestinya bukan hal yang sulit dilakukan oleh polisi”.

Kegagalan polisi menangkap buronan dalam waktu delapan tahun membuat muncul spekulasi di media sosial yang menuding bahwa satu buron adalah anak dari perwira polisi. Namun, tuduhan itu dibantah oleh Polda Jawa Barat.

Kedua, polisi harus mempertanggungjawabkan proses penyelidikan kasus ini untuk menanggapi dugaan “salah tangkap” yang diungkap oleh salah satu terdakwa baru-baru ini.

Hanya saja menurut Bambang, pembuktian polisi saat menangani kasus ini terlalu bertumpu pada pengakuan dan kesaksian para terdakwa, yang disebut bisa saja muncul akibat intimidasi.

“Kalau tidak [diusut] risikonya akan muncul lagi keraguan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, jangan-jangan ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi. Divisi Propam harus hadir untuk menyelidiki apakah ada pelanggaran SOP dalam penyelidikan delapan tahun lalu,” kata Bambang dikutip pada Rabu (22/5/2024).

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Jules Abraham Abast dan Direktur Kriminal Umum Kombes Surawan menolak diwawancara perihal ini, dan hanya mengatakan bahwa mereka “masih bekerja”.

Sejauh ini, delapan orang telah divonis bersalah di pengadilan karena dinyatakan terbukti membunuh Vina dan Eky. Salah satunya adalah Saka Tatal, yang sudah bebas usai menjalani masa tahanan selama tiga tahun delapan bulan.

Saka mengaku menjadi “korban salah tangkap” dan menyatakan dia “tidak ada di tempat kejadian” pada malam Vina dan Eky meninggal dunia. Dia juga mengeklaim disiksa oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam kasus ini.

Akan tetapi, klaim itu berbeda dengan fakta-fakta persidangan yang terangkum di dalam putusan Pengadilan Negeri Cirebon bahwa Saka turut memukul Eky bersama para terdakwa lainnya.

Pengacara yang mendampingi Saka, Titin Prialanti mengaku “sudah menempuh beragam cara” sejak masa-masa persidangan untuk membuktikan klaim itu. Titin pernah melaporkan dugaan penghalangan bertemu dengan keluarga dan kuasa hukum, pemaksaan pengakuan sebagai pelaku, serta dugaan penyiksaan oleh penyidik ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat pada 7 September 2016.

Kemudian dia juga melaporkan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tanggal 13 September 2016, serta ke Komisi Yudisial pada 23 November 2016.

Laporan itu tidak membuahkan hasil dan proses hukum terus berjalan. Baru belakangan ini, setelah kasus Vina kembali mengemuka, Saka mengaku ke publik bahwa dia menjadi “korban salah tangkap”.

“Saya ingin nama saya baik lagi seperti dulu, enggak dicap masyarakat, dipandang sebelah mata sebagai narapidana,” ujar Saka.

Dihubungi terpisah, Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing membenarkan bahwa lembaga ini pernah menerima laporan tersebut. Setelah itu, Uli mengatakan Komnas HAM telah meminta klarifikasi Irwasda Polda Jawa Barat untuk memeriksa penyidik atas dugaan penyiksaan dan penghalang-halangan kunjungan keluarga. “Kami belum menerima jawaban Polda Jawa Barat,” kata Uli terkait permintaan klarifikasi itu.

Kini, Komnas HAM kembali bersurat ke Polda Jawa Barat untuk meminta keterangan mengenai perkembangan pencarian tiga orang buronan, tindak lanjut proses hukumnya, serta memastikan perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan dan kepastian hukum terhadap keluarga korban.

Saka Tatal, terpidana yang telah bebas, mengaku dirinya tidak ada di tempat kejadian pada Sabtu, 27 Agustus 2016, ketika Vina dan Eky meninggal dunia. “Saya ada di rumah paman sama kakak saya, sama paman saya, silang rumah tiga rumah dari sini. Saya di situ dari sebelum magrib sampai jam 10 [malam] lewat,” kata Saka.

Sekitar pukul 23.00, dia pergi ke bengkel karena radiator motor milik temannya rusak. “Sebelum saya berangkat ke bengkel, saya kan mau lewat jalan layang tuh, ada polisi baru nyampe. Saya di tengah jalan berhenti melihat di atas ada polisi, saya kira ada razia, saya sama teman saya enggak pakai helm sama sekali,” ujar Saka.

Ketika melihat ada keramaian itu, Saka mengaku melanjutkan perjalanannya ke bengkel. Dua orang itu yang menurut pihak Saka menjadi saksi bahwa dia tidak ada di tempat kejadian. Kuasa hukumnya, Titin mengatakan bahwa kedua orang tersebut turut mereka hadirkan di pengadilan sebagai saksi yang meringankan.

"Kami hadirkan [kedua saksi], tapi dicecar oleh hakim, 'Mana ada bengkel malam-malam buka?'" kata Titin.

Dipukuli, disetrum dan dipaksa mengaku bersalah
Menurut versi Saka, dia mengaku berada di rumah neneknya pada 31 Agustus 2016. “Saya duduk di rumah nenek sama teman-teman saya juga,” kata dia.

Saka kemudian disuruh mengisi bensin oleh saudaranya bernama Eka Santi, yang merupakan salah satu terdakwa pembunuhan. Setelah mengisi bensin, Eka Santi meminta Saka mengantarkan motornya ke SMP 11. Ini adalah lokasi penangkapan para terdakwa.

“Pas baru sampai di situ, yang lain selain Eka Santi itu sudah ditangkap. Saya ke situ nyamperin. Kenapa saya nyamperin? Karena saya mau kembalikan motor, terus sudah, saya mau main,” kata dia.

“Habis nyamperin, langsung dibawa. Enggak ada keterangan saya ini salah apa, enggak ada. Enggak ngomong apa-apa, langsung dibawa. Enggak ada penjelasan sama sekali, langsung dibawa ke Polresta Cirebon,” kenang Saka.

Menurut pengacaranya, Saka juga ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan. Selama di tahanan, Saka mengaku disiksa. Dia dipukuli, disetrum, dan dipaksa mengaku bersalah.

“Awalnya saya enggak ngaku terus, kekeuh. Kurang dari seminggu lah saya akhirnya mengakui, karena disiksa terus,” kata Saka.

“Kalau saya pribadi, masih ingatlah kejadian itu. Sampai sekarang masih membekas,” kata Saka.

Menurut Saka, dia bahkan "tidak mengenal Vina dan Eky" dan "tidak mengetahui kejadiannya di mana".

Secara terpisah, orang tua dari terdakwa bernama Sudirman juga masih meyakini anaknya tidak bersalah. Ayah dari Sudirman, Suratno menyebut anaknya memiliki "keterbelakangan mental". “Waktu kejadian umur [Sudirman] 20 tahun. Sudirman ini hanya lulus SD, tidak meneruskan karena anaknya keterbelakangan mental,” kata Suratno.

Oleh sebab itu, dia menyatakan anaknya "tidak pernah terlibat geng motor seperti yang dituduhkan". Sudirman juga disebut "baru belajar mengendarai motor" saat kasus itu terjadi.

“Ditangkapnya setelah tiga hari kejadian. Demi Allah waktu kejadian itu anak saya di rumah. Anak saya keterbelakangan mental, tidak pernah bergaul, pendiam. Makanya waktu ditangkap itu saya kaget,” ujar Suratno.

Kepada Suratno, Sudirman bercerita bahwa dia "disuruh mengaku sebagai salah satu pembunuh Vina dan Eky".

“Sampai sekarang, delapan tahun, kalau saya besuk [di penjara], saya tanya, dia selalu bilang dipaksa untuk mengaku melakukan [pembunuhan],” ucap Suratno.

Fakta persidangan
Fakta-fakta persidangan yang tercantum dalam salinan putusan dalam kasus Saka mengungkapkan keterangan yang berbeda. Saka disebut turut memukul korban Eky menggunakan tangan sebanyak satu kali, sehingga mengenai pipi Eky.

Kronologi kejadian yang terungkap menurut fakta persidangan menyebut bahwa Saka terlibat setelah diajak jalan-jalan menggunakan motor oleh salah satu terdakwa bernama Eka Sandi.

Mereka berkumpul dan minum minuman keras berupa tuak, namun Saka disebut tidak ikut minum. Saat itulah kelompok geng motor XTC melintas, di antaranya Eky yang membonceng Vina. Para terdakwa disebut melempari dan mengejar Eky dan Vina.

Eky dan Vina dipepet di sebuah jalan layang, dan di situ kedua korban disebut dipukuli. Di sinilah Saka disebut memukul Eky. Setelah itu, para pelaku membawa Vina dan Eky ke belakang sebuah showroom mobil. Namun Saka tidak ikut karena disuruh pulang oleh kakaknya.

Menimbang fakta-fakta persidangan itu, Saka divonis delapan tahun penjara. Hakim turut mempertimbangkan status Saka sebagai anak berusia 16 tahun pada saat itu.

Bukti-bukti keterlibatan Saka antara lain batang bambu, sepeda motor, ponsel, dan batu.

Sementara itu, Sudirman yang oleh orang tuanya disebut mengalami keterbelakangan mental disebut turut memperkosa Vina berdasarkan berkas pengadilan. Sudirman divonis hukuman penjara seumur hidup.

Apa keterlibatan buronan dan mengapa tak kunjung ditangkap?
Setelah hampir delapan tahun berlalu, polisi juga menyatakan masih ada dua pelaku dalam kasus tersebut yang masih menjadi buron, yakni atas nama Andi dan Dani. Sementara Pegi alias Perong baru saja ditangkap di Bandung pada Selasa (21/5/2024) malam.

Di dalam salinan putusan kasasi Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Andi, Dani dan Pegi turut mengejar Vina dan Rizky menggunakan sepeda motor.

Andi disebut memukul Rizky dengan tangan kosong sebanyak lima kali sehingga mengenai bagian wajah sebelah kiri. Pegi memukul tubuh Rizky dua kali dengan tangan kosong. 

Dani memukul Rizky menggunakan kayu, sehingga mengenai bagian rahang belakang sebelah kanan. Pegi dan Dani juga disebut memukul Vina dengan tangan kosong.

Kemudian mereka membawa Vina dan Rizky ke lahan kosong di belakang sebuah showroom mobil. Di sana, Pegi disebut memukul dan menyabet samurai pendek berbentuk pipa ke tubuh Rizky, Dani menusuknya ke bagian perut sebelah kiri sehingga "Rizky meninggal dunia di tempat".

Dani, Pegi, dan Andi juga disebut terlibat memperkosa dan melecehkan Vina.

Polri diminta audit proses penyelidikan
Bambang Rukminto dari ISSES menilai mengemukanya klaim-klaim soal kejanggalan dalam kasus Vina mengindikasikan bahwa pembuktian terkait keterlibatan para terdakwa kurang kuat.

Bukti-bukti yang terlampir terkait Saka misalnya, menurut Bambang adalah bukti yang umum dalam perkara ini. "Tidak spesifik terkait dengan Saka. Sekian banyak sepeda motor, ponsel apakah digunakan oleh Saka sendiri? Tentunya tidak mungkin. Makanya peran tersangka Saka dalam kasus pembunuhan tersebut juga harus dinyatakan secara spesifik dan detil," jelas Bambang.

Dalam kasus ini, Bambang menduga penyidik terlalu banyak bertumpu pada pengakuan terdakwa yang bisa saja didapat melalui intimidasi serta pengakuan para saksi.

Padahal menurutnya, polisi semestinya mampu membuktikan sebuah tindak pidana secara saintifik. "Masih jadi kebiasaan polisi mengutamakan pengakuan tersangka ketimbang bukti-bukti yang saintifik," ujar Bambang.

"Mereka sering melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan. Padahal di kepolisian di negara-negara yang lebih maju, pengakuan tersangka punya bobot yang sangat kecil," katanya.

Dia menuturkan klaim-klaim terkait kejanggalan dalam kasus ini mesti ditanggapi serius oleh Polri demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.

Terlebih, polisi memiliki rekam jejak terkait dugaan rekayasa kasus dan penggunaan kekerasan terhadap tahanan. "Karena kasus ini sudah viral dan jadi perhatian masyarakat, polisi harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan delapan tahun lalu lewat penyelidikan ulang atau penyelidikan terkait kesalahan prosedur sendiri," jelas Bambang.

"Propam harus turun untuk audit investigasi pada proses penyelidikan maupun penyidikan delapan tahun yang lalu," tambahnya.

Proses ini dinilai penting untuk mengungkap kebenarannya secara terang, sehingga memberi keadilan bagi keluarga korban soal peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

7 terpidana dipindahkan ke Bandung
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jawa Barat menyampaikan bahwa tujuh orang terpidana kasus pembunuhan Vina telah dipindahkan dari Lapas Cirebon ke Lapas Banceuy dan Rutan Kebonwaru Bandung untuk membantu proses penyelidikan oleh Polda Jabar.

"Selama ini di Cirebon, sekarang di Bandung biar lebih dekat," kata Robianto di Bandung, Rabu (22/5/2024).

Robianto mengatakan pemindahan para terpidana ke lapas dan rutan di Bandung untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap pelaku lain yang masih buron (DPO) terhadap kasus Vina Cirebon.

Adapun tiga narapidana saat ini telah dipindahkan ke Lapas Banceuy dan empat narapidana dipindahkan di Rutan Kebonwaru, Kota Bandung.

Sementara itu, Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jawa Barat Kombes Pol Surawan menyampaikan pihaknya menangkap Pegi alias Perong yang merupakan satu dari tiga DPO kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky atau Eky di Cirebon. "Sudah (diamankan Pegi alias Perong)," kata Surawan.

Surawan mengungkapkan pelaku yang sudah buron delapan tahun ini ditangkap di Kota Bandung pada Selasa (21/5/2024). Dia menyebut saat ini pelaku telah diamankan dan menjalani pemeriksaan oleh penyidik. "Tadi malam (ditangkap) di Bandung," kata dia.

Polda Jabar juga mengimbau kepada tersangka yang masih buron untuk menyerahkan diri, serta memberikan peringatan kepada siapa saja yang berusaha menyembunyikan tersangka juga dapat diproses hukum.