Penyidikan Kasus Gagal Ginjal Akut Seret BPOM Tak Kunjung Tersangka Baru, Apa Hambatannya?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Agustus 2024 1 jam yang lalu
Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022).
Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022).

Jakarta, MI - Kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) sudah naik ke tahap penyidikan baru sejak bulan Desember 2024 lalu.

Pada Desember 2023, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin menyatakan ada dugaan keterlibatan BPOM selaku regulator dalam peredaran obat yang mengandung racun ini. Namun hingga saat ini, belum ada kelanjutan atas pernyataan tersebut.

Bahkan, Bareskrim Polri sebelumnya telah menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi, yakni PT Afi Pharma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang dan CV Samudra Chemical.

Polri juga telah menetapkan dua orang petinggi CV Samudra Chemical sebagai tersangka. Mereka berinisial E yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus Direktur Utama dan AR selaku Direktur. Mereka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Subsider, Pasal 60 Angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Selain itu, mereka juga dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Juncto Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 56 Ayat 2 KUHP.

Pada 1 November 2023, Pengadilan Negeri Kediri menjatuhkan vonis penjara selama dua tahun dan denda Rp1 miliar kepada empat petinggi PT Afi Farma. Vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yaitu hukuman penjara selama tujuh hingga sembilan tahun penjara.

Pada tahun 2022 lalu juga, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), PT Mega Setia Agung Kimia, CV Budiarta, PT Logicom Solution, CV Mega Integra, PT Tirta Buana Kemindo, CV Samudera Chemical, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industry dan Kementerian Keuangan turut menjadi tergugat.

Sementara pada tahun 2024 ini atau penyidikan baru kasus ini tak kunjung ada tersangka.

Padahal, pihak Bareskrim Polri telah memeriksa sejumlah saksi dari pihak BPOM hingga perusahaan produsen obat sirop penyebab gagal ginjal akut itu. 

"Kita sudah memeriksa 11 saksi saksi bukan hanya dari BPOM aja, dari BPOM, ada dari saksi ahli, ada dari PT Afi Farma," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Saifuddin pada Rabu (20/12/2023) lalu.

Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri telah melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait kasus ini. Salah satu temuan penyidikan adalah obat sirop yang dikonsumsi para korban mengadung cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas.

Sementara Deputi Penindakan BPOM telah menyidik lima industri farmasi, dan sebagian di antaranya telah dilimpahkan penanganannya ke Bareskrim Polri. Namun proses penyidikan atas kasus ini masih berlangsung dan berkas perkara dari dua perusahaan belum kunjung dinyatakan lengkap.

Pelanggaran HAM?
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan lebih dari 200 anak meninggal dunia usai mengonsumsi obat sirop beracun, dan meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempertimbangkan temuan ini dalam gugatan class action yang masih berlangsung.

Hal itu disampaikan Komnas HAM sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan yang merasa berkepentingan pada kasus ini) dalam sidang lanjutan gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (7/2/2024).

Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan bahwa salah satu hal yang diharapkan dari putusan majelis hakim nanti adalah adalah perbaikan kebijakan hingga pertanggung jawaban untuk pemulihan para korban yang masih sakit.

Pasalnya, penanganan terhadap korban sejauh ini dinilai “belum maksimal” dan baru fokus pada dampak kesehatan, dan belum menyentuh dampak lanjutan jangka panjang yang mereka hadapi.

Selain hak-hak korban telah dilanggar, Komnas HAM dalam dokumen pemberian pendapatnya juga memaparkan bahwa upaya korban mendapat keadilan melalui proses pidana telah menghadapi sejumlah hambatan.

Dalam pendapat yang dibacakan di dalam persidangan, Komnas HAM mengatakan telah terjadi pelanggaran hak hidup akibat kesengajaan mengoplos senyawa kimia sebagai bahan baku tambahan dalam produksi obat, kelalaian dalam proses produksi obat, serta kebijakan dan tindakan yang tidak efektif oleh pemerintah dalam menyikapi kasus-kasus tersebut.

Pemerintah dan BPOM juga dinilai lambat menyampaikan informasi secara masif dan cepat kepada publik sehingga kewaspadaan masyarakat, yang semestinya bisa mencegah jatuhnya lebih banyak korban, tidak terbangun dengan cepat. Dalam hal ini, Komnas HAM berpendapat bahwa hak atas kesehatan para korban telah dilanggar.

Pengawasan yang tidak efektif terhadap sistem produksi dan peredaran obat juga telah memicu dampak lanjutan terhadap ratusan anak-anak.

“Terjadinya kasus keracunan obat sirop karena EG/DEG [etilen glikol/dietilen glikol] pada anak memperlihatkan negara dan entitas bisnis telah gagal dalam menjamin dan memastikan perlindungan bagi anak,” bunyi pendapat Komnas HAM dikutip Monitorindonesia.com, Sabtu (3/8/2024).

Hak atas kesejahteraan para korban juga telah dilanggar. Meskipun korban mendapatkan biaya perawatan dan pengobatan yang ditanggung BPJS Kesehatan, namun ada peralatan medis yang tidak ditanggung.

Orang tua korban juga kesulitan membagi waktu antara merawat korban dan bekerja, bahkan berhenti bekerja sehingga berdampak bagi perekonomian keluarga mereka. Ini menyebabkan keluarga korban mengalami dampak lanjutan “yang memprihatinkan”.

Selain itu, Komnas HAM juga menilai terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat atas informasi karena pemerintah dinilai tidak transparan terkait peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak sepanjang Juli-Agustus 2022.

Dalam konteks ini, Komnas HAM sebagai amicus curaei menyatakan pendapatnya tidak bertujuan untuk mengintervensi pengadilan, namun diharapkan menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara ini.

Di luar gugatan class action yang masih berlanjut ini, sejumlah proses hukum pidana juga masih diupayakan.

Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri telah melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait kasus ini. Salah satu temuan penyidikan adalah obat sirop yang dikonsumsi para korban mengadung cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas.

Meski Bareskrim telah menetapkan lima perusahaan farmasi sebagai tersangka dan delapan tersangka perorangan. Namun menurut Komnas HAM, pasal-pasal yang dikenakan belum maksimal.

Deputi Penindakan BPOM telah menyidik lima industri farmasi, dan sebagian di antaranya telah dilimpahkan penanganannya ke Bareskrim Polri. Namun proses penyidikan atas kasus ini masih berlangsung dan berkas perkara dari dua perusahaan belum kunjung dinyatakan lengkap.

Komnas HAM juga menyebut “terdapat upaya-upaya menghambat Polri dalam penyelidikan dan penyidikan”.