Membuka Kotak Pandora Korupsi Pertamina Hulu Rokan, Dua Petingginya Dilaporkan?

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 28 November 2024 13:36 WIB
Ilustrasi - PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) cucu perusahaan PT Pertamina (Persero) (Foto: Dok MI/Aswan)
Ilustrasi - PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) cucu perusahaan PT Pertamina (Persero) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Setidaknya ada beberapa indikasi dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Geomembrane di PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebagaimana dilaporkan pegiat antikorupsi Amatir ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK pada beberapa waktu lalu.

Bahwa PT Total Safety Energy (TSE) sebagai pemenang tender mengirim Geomembrane HDPE dengan Sertifikat yang diduga direkayasa/palsu dan tidak sesuai dengan standar atau spesifikasi yang ditetapkan oleh PT Pertamina Hulu Rokan pada Surat Pesanan “RELEASE ORDER” Nomor 4300012786.

Lalu, memberikan Certifikate of Analysis yang diterbitkan oleh pabrik PT MCP No. 402/MCP/COA tanggal 21 Agustus 2023, disinyalir adanya Rekayasa karena poin 7 Oxidative Induction Time (OIT) belum ada pengujiannya di Indonesia.

Disinyalir melakukan rekayasa terhadap dokumen milik Lembaga Negara yaitu BRIN pada Laporan Pengujian Nomor 18/Lap/LUP/I/ETC/Dec/22 tanggal 27 December 2022 dengan melakukan Penambahan Pengujian Oxidative Induction Time (OIT) pada poin 7 sampai 9.

Adanya konfirmasi oleh E-Layanan Sains (ELSA) BRIN bahwa Pengujian Geomembrane HDPE hanya dapat dilakukan pengujian untuk TENSILE PROPERTIES saja, yang artinya Pengujian Oxidative Induction Time (OIT) tidak dapat dilakukan di BRIN. 

Dugaan rasuah ini dikabarkan tengah diselidik lembaga anti rasuah itu.

Korupsi Pertamina Hulu Rokan
Tanda Terima Laporan di KPK

Tak hanya di KPK, dugaan rasuah itu juga nyaring di Kejaksaan. Bahwa, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Pandjaitan, melaporkan dugaan korupsi di PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau di Pekanbaru, Rabu (26/6/2024) lalu.

Adalah terkait dengan dugaan perbuatan melawan hukum atas kontrak geomembrane yang diduga dilakukan PT Total Safety Engineering. Diduga, penerimaan barang tidak sesuai spesifikasi dan berpotensi merugikan negara miliaran rupiah.  Selain itu, diduga juga terjadi dugaan pemalsuan sertifikasi laboratorium test produk geomembran di Wilayah Kerja Blok Rokan.

Dalam kasus ini, diduga kontraktor memalsukan sertifikasi yang diterbitkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hinca menemui langsung Kepala Kejati Riau, Akmal Abbas, untuk melaporkan dugaan korupsi di perusahaan pelat merah tersebut. 

"Tadi saya diterima langsung sama Kajati, Pak Abbas. Ini sebenarnya rangkaian pengawasan saya di Riau, khususnya PHR, ini sudah sejak zamannya Pak Supardi (mantan Kajati Riau)," kata Hinca. 

"Menurut saya sangat parah ya, terutama di pengadaan-pengadaan. Ini kan kalau di Pertamina holdingnya besar sekali, ya saya banyak menerima pengaduan. Bahkan sempat pernah ada yang jatuh," timpal Hinca. 

Dia pun mengaku banyak menerima pengaduan. Kemudian disampaikan ke Kejati Riau agar diperiksakan dan tindaklanjuti laporannya. Hinca pun meminta Kejati Riau supaya tidak berlama-lama mengusut dugaan korupsi tersebut. 

"Karena kalau masyarakat yang lapor belum tentu di-follow up dengan baik. Jadi, biar saya wakil rakyat yang melapor supaya seriuslah pengawasan. Sebab, perkara geomembran yang menurut saya ini pemalsuannya luar biasa. Ternyata itu surat-surat BRIN dipalsukan dan PHR percaya saja bayarin itu," kata Hinca. 

Hinca Pandjaitan
Hinca Pandajaitan (Foto: Dok MI)

"Jadi kalau kontrak panjang sudah ditemukan, harusnya disetop supaya kerugian tidak semakin besar," tambahnya. 

Hinca melaporkan empat nama, di antaranya berinisial ES dan IZ. Berdasarkan informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, IZ diduga petinggi PHR,  Irfan Zaenuri  dan ES, Edi Susanto .

Sementara, dua nama lainnya telah dilaporkan ke Kejaksaan. "Saya akan terus mengawasi proses hukum kasus tersebut karena locusnya di sini, supaya Kajati Riau seriuslah. Ini sudah saya kasih tahu baik-baik waktu zaman Pak Supardi. Waktu itu fungsi pengawasan saya sampaikan. Kalau tidak dianggap juga, ya lapor langsung. Kasus-kasus di Pertamina ini harus dibongkar, besar-besar ini," beber Hinca.

Periksa eks Kajati Riau Supardi!

Selain pihak PT Pertamina Hulu Rokan atau PHR, Hinca juga minta penyidik Kejaksaan Tinggi Riau memeriksa semua pihak dalam kasus dugaan korupsi geomembrane. Tidak terkecuali mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Supardi.

Bukan tanpa alasan, Hinca melihat adanya dugaan pelanggaran hukum terkait proses pendampingan proyek di PHR. Khususnya terkait MoU antara Kejaksaan Tinggi Riau dengan PT PHR saat Supardi masih duduk sebagai Kajati Riau.

"Ini resume lengkap. Kalau penyidik baca ini 15 menit selesai kasus ini, ini hanya bantu kejaksaan supaya cepat kerjaan ini. Laporan yang saya laporkan apa, ini membuka kontak pandora yang selama ada PHR tidak tersentuh APH," kata Hinca.

Hinca menilai kejaksaan merupakan jaksa penuntut umum. Namun atas nama proyek strategis nasional dibuat MoU antara Kejaksaan dengan PHR dalam pengadaan geomembran untuk limbah.

"Kejaksaan ini menurut UU adalah penuntut umum. Tapi atasnama proyek strategis nasional ada MoU kejaksaan dan PHR, di situlah letak soal ini. Bahkan legal mereka itu jaksa aktif, intelijen harusnya di luar pagar, melihat, mencegah, tetapi justru ini masuk ke rumah, masuk kamar tinggal di situ," jelas Hinca.

Hinca mengaku laporan resmi dilayangkan karena Komisi III tempatnya bertugas saat ini juga membidangi kejaksaan. Sehingga politisi asal Sumatera Utara ini ingin terus mengawasi kerja kejaksaan. "Atas nama proyek strategis nasional disebut jaksa berhak mewakili, kerja di situ. Kalau sudah sempat begitu bahaya itu. Dari surat edaran Mahkamah Agung, jaksa tidak bisa menjadi pengacara negara untuk BUMN, 64 tahun ulang tahun (HUT Adhiyaksa), ayo introfeksi," kata Hinca.

Selain melaporkan ke polisi, Hinca mengaku terus menanyakan perkembangan kasus ke penyidik Kejaksaan Tinggi Riau. Termasuk terkait sudah sejauh mana laporan tersebut diproses penyidik.

"Setelah saya laporkan resmi yang terima itu Kajati. Saya sudah sampaikan Aspidsus dan saya dapat informasi sudah keluar surat perintah untuk melakukan ini dan mulai dipanggil untuk diperiksa. Dengan memberikan dokumen yang cukup harapan ini cepat, serius tidak kejaksaan bongkar ini. Cek saja, benar atau tidak laporan saya ini," kata Hinca.

Hinca menambahkan bahwa sudah sejak 2 tahun terakhir melihat persoalan tersebut. Terutama sejak Blok Rokan yang dikelola Chevron dilimpahkan kepada PT HPR dan Kepala Kejaksaan Tinggi dipimpin Supardi.

"Sejak waktu pak Supardi jadi Kajati saya datang, saya sampaikan jaga ini karena ini sesuatu yang besar. Tapi kelihatannya tak bergeming, memang karena dia Jaksa tinggi ya dia yang buat MoU itu. Maka ya kita minta periksa itu, project bagus," tegas Hinca.

Di lain sisi, Hinca Pandjaitan, mengungkapkan bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat telah menyampaikan temuan mengenai dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam pengadaan geomembrane di Blok Rokan. Dia juga mencurigai adanya sejumlah kejanggalan dalam proses tender yang melibatkan PT Pertamina Hulu Rokan.  

"Saya menemukan banyak kejanggalan. Informasi yang saya terima menyebutkan bahwa Kejari Jakarta Pusat telah mengirimkan surat kepada mantan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, terkait tiga unsur dugaan PMH dalam pengadaan geomembrane ini," kata Hinca.

Eks Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati
Eks Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati (Foto: Dok MI/Antara)

Hinca menekankan pentingnya menyelesaikan kasus ini sebagai bagian dari upaya pembersihan di tubuh BUMN Pertamina, terlebih setelah adanya pergantian Direksi dan Komisaris.

"Ini saat yang tepat bagi Pertamina untuk melakukan audit menyeluruh, khususnya terhadap anak dan cucu perusahaannya yang disinyalir terlibat praktik-praktik melanggar hukum, seperti di PT Pertamina Hulu Rokan," jelasnya.  

Menurut Hinca menyebut laporannya bertujuan mendukung kebijakan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi.  

"Saya mendesak Pimpinan DPR agar segera memanggil pihak-pihak terkait untuk mengungkap kasus ini. Jika Jaksa Agung menyelesaikan masalah ini, kita bisa mendukung target APBN sebesar Rp 5.000 triliun," tegas Hinca.  

Pun dia berharap jajaran Direksi dan Komisaris baru Pertamina dapat meningkatkan tata kelola perusahaan serta melakukan pembersihan internal, khususnya di PT Pertamina Hulu Rokan.  

"Saya akan terus memantau dan mendorong penyelesaian kasus ini agar para pemimpin baru di Pertamina bisa bekerja dengan baik tanpa terbebani oleh masalah warisan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab," pungkasnya.

Merespons laporan dugaan korupsi, Corporate Secretary PHR, Rudi Ariffianto menegaskan kepada beberapa media komitmennya terhadap proses pengadaan barang dan jasa yang adil, akuntabel, dan transparan. 

Perusahaan menjamin setiap penyedia barang dan jasa memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti proses pengadaan dengan mematuhi persyaratan yang berlaku, memastikan integritas dan kompetitivitas dalam setiap langkah operasionalnya. 

Kejaksaan masuk angin?

Lanjut, Hinca juga mengkritik kebocoran yang terjadi di Pertamina dan tidak ditindak oleh Kejagung.  “Hari ini menghabiskan membelanjakan kita Rp145,8 triliun, tapi menurut menteri ESDM ini sudah Rp450 triliun. Bocornya besar sekali,” katanya.

Hinca juga mengkritik Kejagung karena selama ini sudah seperti konsultan legalnya Pertamina. Menurut Hinca, Kejagung tidak melakukan penindakan sekali pun terhadap Pertamina, meskipun diduga banyak persoalan.

“Kenapa, karena itu masuk proyek strategis nasional, baru masuk ke proyek PPS. Pendampingan proyek strtegis. Ini jadi soal. Kritik saya, jangan buat jaksa aktif menjadi bagian legalnya Pertamina. Untuk apa itu. Tarik itu semua. Anggarannya sudah ada. Masih banyak yang profesional untuk itu,” katanya.

Pun Hinca menyoroti cucu perusahaan Pertamina, itu. "Saya mulai lagi ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) target kita kalau secara nasional 1 juta barel per hari nanti 2030, sampai hari ini, baru turun, turun, turun sampai 600," jelasnya.

Presiden Jokowi, lanjut dia, datang ke Riau (Rokan) meminta 210.000 ribu barel per hari hanya mampu sekitar 162.000 ribu per barel. "Kenapa begitu? bagi saya target yang tidak tercapai harusnya bagi penyidik adalah dugaan terjadi penyalahgunaan wewenang di sini harus begitu baru kita masuk, nah tapi karena ini sudah masuk ke program PPS menjadi enggak bisa masuk, hati-hati di situ Pak," beber Hinca.

Skandal Geomembrane, Pertamina Hulu Rokan
Pertamina Hulu Rokan (Foto: Dok MI)

"Nah mari kita lihat setiap kali mau mengebor itu ring, rig-nya ini hampir 86 di sana, sisa-sisa dari cepron bapak selidikin ini Pak, besar sekali uang di situ pengadaannya itu baik rig yang lama maupun yang baru enggak jalan itu macet dan batu-batuk, siapa yang bermain di balik ini," tambahnya.

Sebelum rig mengebor, ungkap Hinca, perlu ada bak kontrol untuk membuat menampungnya namanya geomembran. "Plastic geomembran zamannya cepron cukup PLP saja supaya dapat uang besar dibikin kontraknya jadi 3 tahun Rp 209 miliar, cincai lagi di situ oke terjadi persoalan di situ," katanya. 

Nah adakah persoalannya? Ada! Kajari Jakarta Pusat,  telah mengirim surat kepada Dirut PT Pertamina telah ditemukan tiga perbuatan melawan hukum. 

"Di situ silakan di audit apa yang terjadi di situ. Oleh Direktur PPS-nya dihentikan perkara ini, tarik itu kasus. Saya sudah laporkan kepada bapak-bapak semua di sana. Tidak ditemukan itu, saya bawa dokumen ke Kajati Riau, saya sampaikan gitu itu dianggap enteng itu sama Kajati Riau, tidak berani menerima laporan saya," jelasnya.

"Setelah itu saya serahkan seluruh dokumennya dalam seminggu tidak terbukti, kenapa tidak terbukti karena direktur PPS langsung mengatakan cepat-cepat kita bikin ini untuk geomembrane ini masuk PPS, pasang plang "Jangan Ganggu Aku" ini kah cara kerja kita?," imbuh Hinca.

Topik:

KPK Kejagung Kajati Riau Kejari Jakarta Pusat Hinca Pandjaitan Geomembrane Pertamina Pertamina Hulu Rokan DPR PT Pertamina