Korupsi Tower Transmisi PLN Rp 2,5 Triliun

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 6 Mei 2024 03:05 WIB
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Foto: Dok MI)
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kasus korupsi pengadaan tower transmisi PLN pertama kali terungkap ke publik pada Senin (25/7/2022) lalu. Proyek itu memiliki anggaran pekerjaan sebesar Rp2,5 triliun.

Saat itu, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin menyampaikan sedang mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 di PT PLN (Persero).

Kasus tersebut pun sudah naik ke tahap penyidikan. "Saat ini kejakasaan sedang fokus menangani beberapa penyidikan tindak pidana korupsi antara lain penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower tranmisi. Ini tahun 2016 di PT PLN (Persero)," kata Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin kepada wartawan, Senin (25/7/2022).

Burhanuddin mengatakan pihaknya menemukan dugaan tindak pidana korupsi setelah adanya fakta-fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. "Ditemukannya fakta-fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya," ujarnya.

Menurutnya, perkara tersebut pun kini sudah naik ke tahap penyidikan sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.

"Berdasarkan fakta tersebut, perkara tersebut telah dinaikkan ke tahap penyidikan sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan No Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana menjelaskan posisi perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Dia menyebut, pada tahun 2016 PLN memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354

Namun, dalam pelaksanaannya PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) serta 14 penyedia pengadaan tower pada tahun 2016 telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.

Hingga memasuki bulan kelima 2024, kasus ini tak kunjung ada tersangkanya. Monitorindonesia.com menanyakan perkembangan penyidikan kasus ini kepada pihak Kejagung pada Minggu (5/5/2024) malam, namun belum meberikan jawaban.

Pengamat hukum pidana, Kurnia Zakaria menduga, tidak mungkin korupsi ini hanya dilakukan oleh pihak yang terlibat, tapi juga pihak yang mengambil kebijakan. "Bersihkan PT PLN dari KKN.  Memang dalam penindakan kasus korupsi di Indonesia pihak aparat penegak hukum masih tebang pilih tergantung intervensi kekuasaan," katanya.

Delapan bulan yang lalu, Kejaksaan Agung membantah telah menelantarkan kasus ini. Kasubdit Penyidikan Korupsi dan TPPU pada Direktorat Penyidikan Jampidsus, Haryoko Ari Prabowo kala itu mengatakan, proses pemeriksaan masih terus berlangsung. “Masih jalan terus,” kata Prabowo, Senin (4/9/2023) lalu.

Untuk penetapan tersangka perkara pengadaan tower transmisi yang berbiaya Rp 2, 251 triliun tersebut, Prabowo pun menegaskan bahwa itu sebatas menunggu waktu saja. “Masih proses,” imbuhnya.

Penegasan ini membuat titik terang perkara yang disidik sejak 14 Juli dengan nomor: 39/F.2/Fd.2/07/2022.  Namun entah kendala apa yang terjadi dalam penanganan perkara ini sehingga berlarut dan tanpa ada kejelasan. 

Memang, tidak ada kewajiban untuk merilis perkara sudah dihentikan atas dasar perkara belum cukup bukti. 

Puluhan saksi diperiksa, mulai Jajaran PT. PLN era Dirut Sofyan Basir (2014- 2019) dan 9 Pabrikan Tower serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ikut diperiksa meski sempat diwarai gugatan praperadilan di PN. Jakarta Selatan. 

Namun, sampai kini Saptiastuti Hapsari dan Sofyan Basir serta 5 pabrikan Tower belum diperiksa sama sekali. Salah satu 5 Pabrikan Tower, yakni PT. Duta Hita Jaya justru diperiksa dalam skandal impor garam. 

Empat pabrikan tower lain, adalah PT. Citramas Teknikmandiri, PT. Dutacipta Pakar Perkasa,PT. Twink Indonesia dan PT. Duta Hita Jaya. Pabrikan yang telah diperiksa, adalah NS (PT. Wika Industri & Konstruksi), Kamis (10/11) usai pemeriksaan Dirut-nya Dwi Johardian, Kamis (3/11). Lalu, PT. Karya Logam Agung (KLA) berinisial H, Rabu (9/11/2023) setelah diperiksa pertama kali, Jumat (4/11).

Bahkan, Dirut PT. KLA juga berinisial H telah diperiksa, Rabu (2/11). Pabrikan lain, adalah Dirut PT. Bukaka Teknik Utama Irsal Kamarudin bersama tiga anak buahnya, Jumat (28/10). 

Lalu, Dirut PT. Berca Karunia Indonesia Erick Purwanto, milik Murdaya Poo dan Siti Hartati Tjakra, Rabu (19/10) Serta, Direktur PT. Gunung Steel Construction (GSG) Abednedju Giovano Warani Sangkaeng, Senin (24/10). 

Pemeriksaan pertama terhadap AGWS, Selasa (18/10). Jajaran Direksi PLN yang sudah diperiksa, antara lain Amir Rosidin (Direktur Bisnis Regional Sumatera 2015- 2017), Senin (8/8). 

Lalu, Selasa (2/8) Nasri Sebayang (Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Barat), Supangkat Iwan Santoso (Direktur Penggadaan 2015 – 2019). 

Kemudian, SS (Eks Kadiv Konstruksi Regional Jawa Bagian Barat pada Dit. bisnis Regional Jawa Bagian Barat 2015-2016) dan Machnizon Masri (Direktur Bisnis Regional Sulawesi), Senin (1/8).

Hingga kini belum diketahui pasti, apakah kasus ini masih diusut Kejaung atau tidak.

Kasus posisi
Kasus ini bermula pada 2016, saat itu PT PLN sedang melakukan kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran Rp 2,5 triliun. Proyek pengadaan tower itu dilaksanakan oleh PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower.

"Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu bahwa PT PLN (Persero) pada 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2, 51.592.767.354 (triliun). Dalam pelaksanaan, PT PLN (Persero) dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower pada 2016," kata Ketut Sumedana dalam keterangan persnya, Selasa (26/7/2022) lalu.

Dalam prosesnya, kata Ketut, pengadaan tower transmisi ini melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan. Perbuatan itu, kata Ketut, menimbulkan kerugian keuangan negara.

"Telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara," kata Ketut.

Tak hanya itu, kata Ketut, dokumen perencanaan pengadaan proyek pada 2016 juga tidak pernah dibuat. Sementara itu, pengadaan tower ini menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya menggunakan produk DPT 2016.

"Dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada 2016, namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," ujar Ketut.

Ketut mengungkap PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo. Hal itu pula yang mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Dalam hal ini, Ketua Aspatindo juga menjabat Direktur Operasional PT Bukaka.

PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu sebesar 30 persen.

"PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen," ujar Ketut.

Lalu, pada November 2017 hingga Mei 2018, penyedia tower tetap mengerjakan pengadaan tower tanpa legal standing. Hal itu kemudian memaksa PT PLN melakukan adendum yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.

"Selanjutnya, pada periode November 2017 sampai Mei 2018, penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (Persero) melakukan adendum pekerjaan pada Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun," kata Ketut.

PT PLN, tambah Ketut, juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi sekitar 10 ribu set tower. Dari situ, kata Ketut, ditemukan adanya tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan adendum.

"PT PLN (Persero) dan penyedia melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi sekitar 10 ribu set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, karena dengan alasan pekerjaan belum selesai. Ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan adendum," tandasnya.