Gubernur BI Perry Warjiyo Kandidat Kuat Tersangka Korupsi CSR?


Jakarta, MI - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai penggeledahan ruang kerja Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menunjukkan dugaan keterlibatan BI dalam kasus dugaan korupsi corporate social responsibility (CSR) BI.
"KPK akhirnya menggeledah kantor BI, termasuk ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo. Tentu saja, penyidik KPK punya informasi sudah sangat tajam. Enggak mungkin digeledah kalau enggak ada informasi atau data yang kuat," kata Anthony Budiawan dalam siniar Abraham Samad Speak Up, Jakarta, dikutip Monitorindonesia.com, Selasa (28/1/2025).
Pun dia mengaku heran dengan adanya dana CSR di BI yang jelas-jelas bukan entitas bisnis. Sebagai bank sentral, kata ekonom ini, BI adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain termasuk DPR.
"Intinya, BI wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka menjalankan tugasnya," jelas Anthony.
Alhasil, Dewan Gubernur BI yang terdiri dari seorang gubernur, seorang deputi gubernur senior, serta 4 sampai 7 orang deputi gubernur, dilarang menjadi pengurus atau anggota parpol.
Setelah reformasi 1998, BI ditugasi hanya untuk satu tujuan yaitu mencapai dan memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, tertuang dalam pasal 7 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BI memiliki sejumlah langkah. Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga, mengatur dan mengawasi bank.
"Nah ini, BI punya CSR berarti melanggar UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Karena di luar tugas dan wewenang Bank BI seperti yang saya sampaikan tadi," bebernya.
Apalagi, lanjutnya, penggunaan dana BI untuk CSR yang dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, untuk aktivitas politik di daerah pemilihan (dapil), jelas-jelas tindak pidana korupsi. "Bisa jadi, pemberian CSR BI ke anggota Komisi XI DPR yang menjadi mitra kerja BI, masuk kategori suap. Karena berdampak kepada tugas pengawasan Komisi XI DPR," tuturnya.
Pada 2010, DPR pernah mengusulkan adanya dana aspirasi yang berasal dari APBN, senilai Rp15 miliar untuk tiap anggota DPR. Namun usulan ini ditolak Presiden SBY, kala itu. Alasannya, dana aspirasi dianggap menyamakan kewenangan eksekutif dan legislatif, sehingga melanggar konstitusi.
"SBY kemudian menyarankan DPR untuk lebih fokus kepada fungsi konstitusinya sebagai pengawas bukan bertindak seperti eksekutif, membuat program pembangunan di dapil," kata Anthony.
Dia menyebut, keputusan SBY sangat tepat. Di mana, dana aspirasi, atau constituency development fund (CDF) secara substansi masuk kategori politik uang. Karena digunakan untuk mendapatkan dukungan politik dari konstituen. Untuk memenangkan pemilu selanjutnya.
Sayangnya, kata Anthony, usai penggeledahan ke kantor BI termasuk ruang kerja Perry Warjiyo, KPK seperti 'masuk angin'. Sempat umumkan adanya dua tersangka kemudian diralat dengan alasan sangat tidak profesional.
"KPK mengatakan dua nama yang disebut itu, bukan tersangka kasus CSR BI, tetapi kasus korupsi lain. Saya menilai, KPK terindikasi membohongi publik, dan melindungi koruptor," tandasnya.
Tidak lama kemudian, KPK memeriksa anggota Komisi XI DPR yakni Satori (NasDem) dan Heri Gunawan (Gerindra). Satori mengakui menerima CSR BI untuk aktivitas di dapil. Satori juga mengatakan, bukan hanya dirinya saja yang menerima CSR BI, tetapi seluruh anggota Komisi XI DPR.
"Pengakuan Satori ini menunjukkan fakta tidak terbantahkan, telah terjadi penyelewengan dana CSR BI untuk kepentingan politik. Ini dugaan korupsi berjemaah yang harus dibongkar tuntas," tutupnya.
Teranyar dalam kasus ini, KPK mengungkapkan bahwa ada pejabat terkait mengajukan yayasan yang tidak sesuai dengan aturan.
“Kita dapat informasi, juga kita dapat dari data-data yang ada, CSR yang diberikan kepada para penyelenggara negara ini melalui yayasan yang disampaikan, direkomendasikan kepada mereka tidak sesuai peruntukannya,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Jakarta, Rabu (22/1/2025) lalu.
Asep enggan memerinci nama yayasannya. Tapi, kata dia, rekening lembaga itu dijadikan tempat singgah, sebelum uangnya dikirimkan lagi ke pejabat yang merekomendasikan.
“Jadi, sudah disalurkan kepada yayasan, karena tidak ada yang dari BI-nya disalurkan ke rekening pribadi tapi yayasan. Ini kemudian mereka olah, ada yang kemudian pindah dulu ke beberapa rekening lain,” kata Asep.
Asep juga enggan memerinci sosok pejabat yang melakukan permainan kotor itu. KPK sangat yakin rekening yang disebar merupakan representasi dari penyelenggara negara yang dibidik.
“Harusnya, dana CSR yang diberikan kepada mereka, dititipkan karena mereka merekomendasikan yayasan. Harusnya disalurkan,” kata Asep.
Menurut Asep, pejabat ini merekomendasikan dana CSR untuk banyak alasan. Salah satunya untuk perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) sampai pendidikan orang kurang mampu.
“Misalnya untuk perbaikan rutilahu, rumah tidak layak huni sekian unit. Buat dana pendidikan berikan kepada anak-anak yang tidak mampu berprestasi misalkan seperti itu berupa beasiswa,” kata Asep.
Adapun kasus ini sudah di tahap penyidikan. Namun, KPK masih menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum yang belum menjurus kepada pihak tertentu.
KPK telah menggeledah Gedung BI pada Senin, 16 Desember 2024, malam. Ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo turut diacak-acak penyidik dalam upaya paksa itu. Dalam penggeledahan itu, KPK mengambil dokumen dan barang elektronik. Sejumlah pihak yang terkait segera dipanggil untuk dimintai keterangan.
Topik:
KPK Korupsi CSR BI BI Bank Indonesia Perry Warjiyo Komisi XI DPR