Perubahan Total KUHAP Rawan Over Eksesif, Resistensi dan Reaktif pada Kepolisian dan Kejaksaan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Februari 2025 20:57 WIB
Azmi Syahputra, Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) (Foto: Dok MI)
Azmi Syahputra, Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak boleh menyimpang jauh dan diubah total, hanya perlu penguatan fungsi? Jika dirubah total akan ada over eksesif, resistensi dan reaktif pada lembaga kepolisian dan kejaksaan?

KUHAP yang dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia yang diberlakukan sejak tahun 1981, dengan lebih mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan yang sangat berbeda dengan Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

Meskipun demikian setelah hampir berumur 44 tahun, KUHAP perlu juga ditilik kembali terutama terhadap poin-poin sistem dan fungsi yang perlu diperkuat, diperinci untuk memperbaiki wajah dan kualitas penegakan hukum.

Sebab, di lain sisi pada irisan yang sama pemerintah akan menargetkan KUHAP Baru ini nanti dapat membersamai dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 2 Januari 2026.

Menurut Azmi Syahputra, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana Kriminologi Indonesia (Mahupiki), KUHAP itu identik dengan sistem bekerja lembaga penegak hukum.

Di mana, kata dia, antara organisasi lembaga penegakan hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari distribusi kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian serta peradilan.

"Jika perubahan total pada KUHAP diterapkan, maka akan terjadi reaksi berupa over eksesif, dinamika kekuasaan antara institusi negara terutama, kepolisian, kejaksaan dan pemerintah," kata Azmi kepada Monitorindonesia.com, Minggu (2/2/2025).

"Ini pasti menimbulkan dialektika baru di antara para pemangku kepentingan karena akan ada yang resistensi dan reaktif sebab kepolisian dapat kehilangan sebahagian kewenangan dalam menentukan arah penyidikan , dan tentu hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara lembaga penegak hukum," tambahnya.

Azmi menegaskan bahwa, salah satu poin krusial selama ini adalah pada fase penyidikan ke penuntutan terjadi bolak balik berkas perkara yang berulang kali. Maka dalam KUHAP ke depan hal ini tentu harus dirinci dan diperkuat guna terwujudnya (efesiensi dalam proses hukum).

"Karenanya fase penyelidikan haruslah ada sebagai pintu gerbang selektif sebuah perkara dan setelah polisi menyampaikan surat pemberitahuan dimulai penyelidikan (SPDP) maka otomatis Jaksa dapat menanyakan, evaluasi, sekaligus supervisi  perkembangan proses penyidikan," lanjut Azmi.

Secara empiris diketahui selama ini cenderung lembaga penegak hukum kurang mampu menerima jika tindakan atau kewenangannya dipersoalkan masyarakat pencari keadilan, sehingga perlu penguatan lembaga upaya hukum.

Hal ini guna mengawasi kinerja lembaga penegak hukum. Untuk itu diperlukan lembaga koreksi atas tindakan upaya paksa penegak hukum yang mana  selama ini dijadikan sarana adalah lembaga praperadilan.

"Sehingga lembaga praperadilan harus diperkuat dan diperluas kewenangannya bahwa hakimnya tidak lagi tunggal, persidangan tidak dapat dibatasi hanya selama 7 hari namun dapat dilaksanakan setidaknya selama 2 minggu (14 hari),' beber Azmi.

Permohonan praperadilan harus terus dilanjutkan dan diperiksa dan tidak boleh gugur dengan alasan berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan dan praperadilan tidak semata pada urusan aspek formil semata.

"Karenanya prapid dapat menguji substansi bukti permulaan yang cukup termasuk diperlukan adanya lembaga khusus untuk membayar ganti rugi bagi pencari keadilan atas upaya paksa yang tidak sah maupun tindakan sewenang-wenang dari aparatur hukum," tuturnya.

Lebih lanjut, Azmi menyatakan bahwa praktik penerapan KUHAP sejatinya juga dekat dan lekat dengan perisai hak-hak perlindungan Hak Asasi manusia.

Maka dalam hukum acara pidana ini harus lebih tegas diatur karenanya fungsi dan kedudukan advokat sebagai pemberi bantuan hukum dan dalam rangka pembelaan melindungi kepentingan hukum hak kliennya sejak awal harus lebih tegas dan diperjelas peran kualitasnya.

"Bahwa advokat dapat mendampingi dan berperan aktif dengan kewenangannya sejak dari kedudukan seseorang dipanggil sebagai saksi dan terperiksa pada setiap saat memberikan keterangan sejak di fase ditangkap, penyelidikan sampai persidangan," jelas Azmi yang dosen hukum pidana dari Universitas Terisakti (Usakti).

Hal lain yang juga perlu direvisi pada KUHAP ke depan, tambah Azmi, pengaturan terkait hal-hal mekanisme upaya paksa dan terkait pembuktian.

Termasuk pula pelaksanaan difrensiasi penanganan perkara antara institusi, sinkronisasi aturan acara pidana di luar KUHAP dan pendekatan pelaksanaan restorative justice serta hak pemulihan korban tindak pidana.

"Ini juga harus ada penguatan dan sinkronisasi, termasuk saat ini masih ada ruang celah yang juga harus dipertegas berkenaan kekaburan dalam KUHAP atas upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa atau PK atas PK," ungkap Azmi.

"Sebab sejatinya PK adalah hak orisinal yang dimiliki terpidana, jadi bukanlah dominan wewenang Jaksa lagi, termasuk pengaturan terkait daluwarsa penuntutan pidana," timpal Azmi.

Serta yang tak kalah penting dengan dampak globalisasi hingga perlu dukungan kerja sama pemanfaatan teknologi yang adaptasi dan futuristik dalam proses hukum, sistem digital yang terintegrasi guna efisiensi kinerja antara aparat hukum dalam sistem peradilan pidana.

Azmi menegaskan, praktik KUHAP selama ini sudah mulai menampakkan kemajuan dan  dalam praktiknya, hanya perlu polesan lapisan pada pembaharuan KUHAP ke depan yang disesuaikan dan disempurnakan lebih aktual dan rinci.

Hal ini guna dapat memperkuat kualitas penegakan hukum, transparansi dan akuntabilitas dengan membangun mekanisme kontrol dan peran aktif dari masyarakat yang kuat dan  efektif  agar kewenangan aparatur hukum tidak disalahgunakan. 

"KUHAP ke depan harus membangkitkan optimisme harapan negara hukum yang lebih baik dan manusiawi dalam pelaksanaan penegakan hukum," tutup Azmi Syahputra.

Topik:

Polri Kejaksaan KUHAP Mahupiki