Menyoal Kasus LPEI yang Diusut KPK dan Polri

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 4 Maret 2025 09:34 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI. Selain dua anggota direksi LPEI, tiga petinggi perusahaan swasta turut terseret dalam perkara korupsi yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 11,7 triliun tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI. Selain dua anggota direksi LPEI, tiga petinggi perusahaan swasta turut terseret dalam perkara korupsi yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 11,7 triliun tersebut.

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada Senin (3/3/2025).

Dugaan rasuah ini ditangani penyidik KPK berfokus pada pemberian fasilitas kredit kepada satu debitur yaitu PT Petro Energy (PE).

Bahkan, KPK akan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tentang kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus ini.

Terungkap bahwa kasus ini berpotensi merugikan negara mencapai puluhan triliunan rupiah. "Pemberian fasilitas kredit kepada PT Petro Energy berpotensi merugikan negara hingga Rp11,7 triliun," kata Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, di Gedung Merah Putih, Senin (3/3/2025).

Para tersangka dari pihak LPEI adalah Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I) dan Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV). Sedangkan tiga tersangka berasal dari pihak PT PE. Adalah Jimmy Masrin (Komisaris Utama/Pemilik), Newin Nugroho (Direktur Utama), dan Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur). 

Hingga saat ini KPK belum menahan para tersangka karena masih melengkapi alat bukti untuk proses penyidikan perkara ini. Menurut Budi, terjadi benturan kepentingan antara PT Petro Energy sebagai debitur dengan direksi LPEI. 

Budi mengungkapkan modus operandi pemberian kredit yang berujung pada dugaan korupsi tersebut. Diduga telah terjadi benturan kepentingan atau conflict of interest antara direktur LPEI dengan PT PE. Mereka disebut melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit.

Direktur LPEI tidak melakukan kontrol kebenaran penggunaan kredit sesuai MAP. "Direktur LPEI memerintahkan bawahannya untuk tetap memberikan kredit walaupun tidak layak diberikan," kata Budi.

Menurut Budi, PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang menjadi underlying pencairan fasilitas tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. PT PE ini melakukan window dressing terhadap Laporan Keuangan (LK).

Budi menambahkan PT PE menggunakan fasilitas kredit tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit dengan LPEI.

Kode uang zakat
Khusus untuk pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT PE, Budi menyebut negara diduga mengalami kerugian sebesar US$60 juta atau sekitar Rp900 miliar lebih. 

"Atas pemberian fasilitas kredit oleh LPEI khusus kepada PT PE ini, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar USD60 juta," jelas Budi.

Pun Budi lantas mengungkap kode 'uang zakat' yang diminta direksi LPEI kepada para debitur. Jumlahnya 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan.

"Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi menyatakan bahwa memang ada namanya uang zakat ya yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut. Yaitu besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan," beber Budi.

Selain dari keterangan saksi, sebutan uang zakat untuk direksi LPEI itu juga berkesesuaian dengan Barang Bukti Elektronik (BBE) yang telah dilakukan penyitaan.

Budi pun menambahkan, setidaknya masih terdapat 10 debitur lain yang memperoleh fasilitas kredit LPEI. Ia belum bisa menyebut detail perusahaan yang memperoleh kredit tersebut. Hanya saja, kata dia, perusahaan-perusahaan itu ada yang bergerak di bidang perkebunan, shipping dan energi.

"Untuk sementara kami tidak bisa menyebutkan (detail) karena masih dalam proses pendalaman. Namun, terkait sektornya ada di sektor perkebunan, shipping, kemudian di industri terkait dengan energi ada juga," tandas Budi.

Komisi antirasuah pada 19 Maret 2024 mengumumkan telah memulai penyidikan dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit pada LPEI. 

"KPK meningkatkan penyelidikan dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan saat itu.

KPK juga menyampaikan telah mempelajari tiga korporasi dalam perkara dugaan korupsi tersebut. Hal itu juga berbeda dengan Kejaksaan Agung yang menyampaikan ada empat korporasi yang terindikasi fraud. 

Total indikasi kerugian keuangan negara pada kasus LPEI yang ditangani KPK mencapai Rp 3,45 triliun. "Yang sudah terhitung dalam tiga korporasi sebesar Rp3,45 triliun," katanya. 

KPK sejak 31 Juli 2024 hingga 2 Agustus 2024, telah melakukan serangkaian penggeledahan di 2 rumah dan 1 kantor swasta yang berlokasi di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim).

Dari penggeledahan itu, KPK menyita barang bukti berupa uang sekitar Rp4,6 miliar, 6 unit kendaraan, 13 buah logam mulia, 9 buah jam tangan, 37 tas mewah, kurang lebih 100 perhiasan seperti cincin, kalung, gelang, antin, liontin, serta barang bukti elektronik berupa laptop dan harddisk.

KPK juga sudah menyita sebanyak 44 tanah dan bangunan senilai Rp200 miliar. Aset tersebut merupakan milik para tersangka dalam perkara ini.

Selain itu, KPK juga sudah menggeledah rumah mantan Direktur Utama (Dirut) PGN periode 2019-2023 di Jakarta pada Kamis, 9 Januari 2025. Dari penggeledahan itu, KPK menyita 3 unit sepeda motor berjenis Vespa Piaggio dengan nilai kurang lebih sebesar Rp1,5 miliar, dan 1 unit mobil bermerek Wuling senilai kurang lebih Rp350 juta. Kendaraan itu diduga milik tersangka DW

Polri ikutan usut

Selain KPK, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri juga memulai penyidikan kasus dugaan korupsi yang terjadi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) periode 2012-2016 itu.

“Penyidik telah melakukan gelar perkara Direktorat Tipidkor Bareskrim Polri dengan kesimpulan telah ditemukan adanya peristiwa dugaan Tindak Pidana Korupsi,” kata Kakortastipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo, Minggu (2/2/2025).

Korupsi itu berkaitan dengan pemberian pembiayaan oleh LPEI kepada kepada PT Duta Sarana Technology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF) periode 2012 hingga 2016. Berakibat pada kerugian keuangan negara, karena dugaan pencucian uang dan korupsi.

"Akibatnya, dana yang disalurkan digunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan awal, berujung pada kerugian negara yang besar," kata Cahyono.

Sementara itu, Wakakortastipidkor Polri Brigjen Arief Adiharsa menjelaskan duduk perkara dugaan korupsi ini berawal pada 2012-2014 ketika LPEI bersepakat untuk memberikan pembiayaan kepada PT DST.

Akibatnya, pekerjaan fiktif disetujui oleh pemutus kredit. Uang hasil pencairan digunakan bukan untuk kepentingan sesuai pengajuan dan keputusan kredit yang berakibat kredit macet sebesar Rp 45 miliar dan USD 4.125.000.

Selanjutnya, terkait kredit macet direksi dan staf PT DST melakukan rapat. Lantas tercetus skema novasi, mencari debitur yang bisa melunasi utang PT DST terhadap LPEI.

Ditemukan lah PT MIF yang akan mengambil alih kredit PT DST, dengan membayar lunas kredit. "Dengan cara PT MIF menjadi debitur LPEI dan mendapatkan pembiayaan yang sebagian dipakai untuk untuk kepentingan novasi tersebut. Proses novasi tersebut tidak sesuai ketentuan dan seolah-olah PT DST telah melunasi utangnya," katanya.

Dari kesepakatan novasi itu, LPEI memberikan pembiayaan kepada PT MIF sebesar USD 47.500.000.  Namun, proses pemberian kredit kembali dilakukan tidak sesuai ketentuan.

Alhasil pencarian kredit yang diterima PT MIF dari LPEI malah digunakan untuk melunasi utang PT DST sebesar USD 9 juta dan beberapa kepentingan lainnya yang tidak sesuai perjanjian.

"Sehingga pada tahun 2022 PT MIF mengalami pailit dan tidak mampu melunasi seluruh kewajiban (utang) kepada LPEI sebesar USD 43.617.739,13. yang merupakan kerugian negara," jelas Arief.

Walaupun demikian, Arief mengatakan penyidik belum menentukan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian dana LPEI ini. Sebab, pendalaman dan pengumpulan barang bukti masih berlangsung.

Sebagaimana Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan; Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

“Proses penyidikan secara profesional untuk menemukan siapa tersangkanya dan memulihkan kerugian negara, dilanjutkan pemberkasan perkara dalam rangka penuntutan,” pungkasnya.

Topik:

KPK Polri LPEI Korupsi LPEI