KPK Periksa Direktur PT Kuda Laut Nusantara Nusa Syafrizal di Kasus TPPU Eks Pejabat Bea Cukai Andhi Pramono


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur PT Kuda Laut Nusantara, Nusa Syafrizal dan Ega Yudha Yulhamzah, karyawan swasta untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang yang menjerat saksi kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Makassar tahun 2021-2023, Andhi Pramono (AP), Selasa (11/3/2025).
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto, menyatakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk menelusuri aliran dana yang berkaitan dengan kasus dugaan gratifikasi dan pencucian uang yang menjerat eks Kepala Bea Cukai Makassar itu.
“Penyidik akan mendalami keterkaitan kedua saksi dengan aliran dana yang sedang diselidiki. Kami ingin memastikan seluruh aspek dalam kasus ini dapat diungkap secara transparan,” kata Tessa.
Kasus ini mencuat setelah KPK menemukan dugaan gratifikasi dan penerimaan uang dalam jumlah besar oleh Andhi Pramono saat menjabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
KPK menduga bahwa hasil gratifikasi tersebut disamarkan melalui transaksi keuangan dan aset-aset tertentu. Sejak kasus ini bergulir, KPK telah melakukan penyitaan terhadap beberapa aset termasuk properti mewah dan kendaraan.
“Kami mengajak masyarakat untuk terus mengawal proses hukum agar penyelesaian kasus ini berjalan transparan dan akuntabel. KPK berkomitmen untuk menindak tegas setiap pelaku yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi dan pencucian uang,” pungkasnya.
Di lain sisi, KPK telah menyita sejumlah aset milik Andhi Pramono senilai Rp76 miliar. Sejumlah aset dimaksud seperti tanah seluas 2.597 meter persegi di Desa Kenten Laut, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan; dan tiga bidang tanah dengan luas keseluruhan mencapai 5.911 meter persegi senilai sekitar Rp500 di Kelurahan Darussalam, Kecamatan Meral Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
Pada Senin 1 April 2024, Andhi Pramono telah divonis dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi.
Andhi terbukti menerima gratifikasi berupa uang total seluruhnya berjumlah Rp50.286.275.189,79 atau 264.500 dolar AS atau setara dengan Rp3.800.871.000 serta 409.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000. Sehingga jika ditotal, Andhi menerima gratifikasi sebesar Rp58.974.116.189,8 (Rp58,97 miliar).
Uang tersebut diterima Andhi dari berbagai pihak, yakni penerimaan dari Suriyanto selaku pengusaha sembako di Karimun sebesar Rp2,375 miliar; penerimaan melalui Rony Faslah sebesar Rp2.796.300.000 dari Rony Faslah, Makmun Rony Faslah PT, Masrayani, dan Nur Kumala Sari.
Selanjutnya penerimaan melalui PT Agro Makmur Chemindo sebesar Rp1.526.145.860; penerimaan dari Rudi Hartono selaku pengurus operasional ekspedisi CV Berkah Jaya Mandiri sebesar Rp1,17 miliar; penerimaan dari Rudy Suwandi Beneficiary Owner PT Mutiara Globalindo perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor sebesar Rp345 juta.
Kemudian, penerimaan dari Johannes Komarudin selaku Komisaris PT Indokemas Adhikencana sebesar Rp360 juta; penerimaan dari Hasim bin Labahasa Beneficiary Owner PT Putra Pulau Botong Perkasa perusahaan importir rokok dan dari La Hardi selaku Direktur PT Putra Pulau Botong Perkasa sebesar Rp952,25 juta.
Lalu, penerimaan dari Sukur Laidi selaku Beneficiary Owner PT Global Buana Samudra perusahaan impor alat berat sebesar Rp480 juta; penerimaan lainnya sebesar Rp7.076.047.006; penerimaan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp4.176.850.000; dan penerimaan dalam bentuk mata uang asing sebesar 167.300 dolar AS, dan 369.000 dolar Singapura.
KPK menegaskan bahwa pihaknya tidak akan berhenti sampai kasus ini benar-benar tuntas. Jika ditemukan bukti tambahan, tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang juga akan terseret dalam perkara ini.
Topik:
KPK Andhi Pramono Bea Cukai