Kenapa Perhitungan Kerugian Negara Sering Ditutup-tutupi Aparat Hukum?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Maret 2025 14:22 WIB
Ilustrasi - Perhitungan Kerugian Negara (Foto: Ist)
Ilustrasi - Perhitungan Kerugian Negara (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Saat tersangka kasus korupsi dihadapkan ke pengadilan, satu elemen penting yang sering jadi sorotan adalah angka kerugian negara. Anehnya, dalam beberapa kasus, tersangka justru tidak diberi salinan perhitungan tersebut. 

Ini menimbulkan tanda tanya besar, kenapa sesuatu yang seharusnya terbuka malah ditutup-tutupi?

Fair trial yang terabaikan

Dalam hukum pidana, prinsip "fair trial" atau pengadilan yang adil dijamin oleh Pasal 72 dan Pasal 143 KUHAP. Tersangka berhak mengetahui dan menanggapi setiap bukti, termasuk laporan perhitungan kerugian negara. Ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan bagian dari hak asasi manusia agar pembelaan bisa dilakukan secara setara.

Menurut Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), bila tersangka tidak mendapat salinan hasil audit, itu melanggar prinsip dasar audit yang transparan. 

"Setiap auditi (pihak yang diaudit) harus mendapat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Kalau LHP tidak diberikan, itu penyimpangan serius, apalagi kalau menyangkut kasus hukum besar," ujar Iskandar (21/3/2025).

BPK vs BPKP, siapa yang berwenang?

Iskandar menambahkan, persoalan makin rumit ketika bicara soal siapa yang berhak menghitung kerugian negara. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang punya kewenangan konstitusional menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memang bisa melakukan audit investigatif, tapi hasilnya hanya bersifat pendukung, bukan penentu utama.

Ini yang jadi sumber kekacauan. Dalam kasus Tom Lembong, BPKP menyusun audit atas permintaan Kejaksaan Agung. "Namun, jika hasil audit ini tidak diberikan kepada tersangka, muncul pertanyaan lanjutan, apakah audit itu sah sebagai alat bukti?" tanya Iskandar Sitorus, Jumat (21/3/2025).

Belajar dari kasus-kasus lain

Iskandar sebut fenomena ini bukan baru kali ini terjadi. Beberapa kasus besar pernah mengalami hal serupa yaitu:
1. Pada kasus PT Timah, dinana auditor BPKP dituding melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) karena hanya mengadopsi angka dari ahli lingkungan tanpa verifikasi independen. Akibatnya, hasil audit dipertanyakan, bahkan jadi bahan serangan di pengadilan.
2. Di masus e-KTP auditor BPKP mengakui kesalahan perhitungan akibat metode yang keliru. Angka kerugian akhirnya berbeda jauh dari total pembayaran negara yang sebenarnya.
3. Pada kasus Bendungan Marga Tiga di Lampung hasil audit BPKP diduga tidak akurat, mengakibatkan pemangkasan ganti rugi bagi warga terdampak. Audit yang semestinya melindungi kepentingan negara dan rakyat, malah menjadi hal yang merugikan masyarakat.

Audit yang sah versus audit yang cacat

Iskandar Sitorus mengatakan, proses audit investigatif harus mengikuti ketentuan hukum yang jelas. PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menyatakan bahwa BPKP hanya berperan sebagai pengawas, bukan pemutus kerugian negara. Selain itu, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN 2017) mewajibkan objektivitas dan bukti sahih dalam perhitungan. 

"Serta salinan hasil audit harus diberikan ke pihak yang diperiksa untuk klarifikasi. Jika aturan ini dilanggar, hasil audit berpotensi cacat hukum dan tidak sah sebagai bukti pengadilan," jelasnya.

Kesimpulan IAW, transparansi adalah kunci keadilan

Kasus Tom Lembong dan kasus-kasus serupa menunjukkan pola yang berulang, yaitu audit dilakukan, tapi hasilnya ditutup-tutupi. Ini berlawanan dengan semangat penegakan hukum yang berkeadilan. Pada akhirnya, audit kerugian negara bukan hanya angka di atas kertas, sebab hal itu adalah dasar dari dakwaan hukum. 

Ketika tersangka tidak diberi akses ke hasil audit, kita harus bertanya: apakah ini penegakan hukum yang transparan, atau ada yang sengaja disembunyikan?

"Publik berhak tahu, tersangka berhak membela diri, dan hukum harus ditegakkan tanpa celah manipulasi. Karena kalau kerugian negara saja bisa "dikunci rapat," siapa sebenarnya yang dirugikan? Negara, rakyat, atau keadilan itu sendiri?," tanya Iskandar Sitorus.

Topik:

Kerugian Negara