Wilmar Group-Sinar Mas di Korupsi BPDPKS dan Upaya Perlindungan Airlangga Hartarto

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 April 2025 08:28 WIB
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto usai menjalani pemeriksaan di Kejagung terkait kasus dugaan korupsi pemberian ekspor minyak sawit mentah crude palm oil (CPO) (Foto: Ist)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto usai menjalani pemeriksaan di Kejagung terkait kasus dugaan korupsi pemberian ekspor minyak sawit mentah crude palm oil (CPO) (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Sempat tidak terdengar kabar, Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya buka suara dan memastikan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS tahun 2015-2022 masih berjalan.

Kasus dugaan rasuah ini naik ke tahap penyidikan pada 7 September 2023 lalu. Penyidikan dilakukan untuk mendalami pengembangan biodiesel dengan menggunakan dana yang dihimpun dari pungutan ekspor kelapa sawit pelaku usaha.

"Masih jalan penyidikannya. Masih penyidikan umum ya, tapi tetap jalan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar kepada Monitorindonesia.com, belum lama ini kepada Monitorindonesia.com dikutip Rabu (2/4/2025).

Sepanjang penyidikan kasus ini Kejagung tercatat sudah memeriksa pejabat dari anak usaha Wilmar Group hingga Sinar Mas.

Bahwa pada Selasa (31/10/2023) Kejagung memeriksa Manager Produksi PT Pelita Agung Agriindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo.

Selanjutnya, pada Kamis (2/11/2023), Kejagung memeriksa saksi dari pihak PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Multimas Nabati Asahan. Pemeriksaan yang dilakukan pada kamis (2/11) itu melalui manager produksinya yakni inisial CADT.

Selasa (7/11/2023), Kejagung memeriksa Manager PT Cemerlang Energi Perkasa, FA dan PT Sari Dumai Sejahtera. Selain FA, Kejagung memeriksa dua saksi lainnya yakni, HM diduga Hartono Mitra selaku Manager Produksi PT Jhonlin Agro Raya (JARR) milik H. Isam dan AC selaku Operation Supply Chain PT Pertamina tahun 2014.

Kamis (9/11/2023) Kejagung masih terus mengulik perusahaan yang mengelola sawit yakni PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk. Saksi itu berinisial HIS selaku Manager Produksi PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk.

Perusahaan-perusahaan tersebut sempat menerima dana intensif dari BPDPKS. Berikut daftar lengkapnya:

1. PT Anugerahinti Gemanusa merupakan anak usaha dari PT Eterindo Wahanatama pada tahun 2016 menerima insentif biodiesel sebesar Rp49,48 miliar.

2. PT Batara Elok Semesta Terpadu menerima insentif dari BPDPKS senilai Rp1,13 trilun sepanjang 2017-2020. Rinciannya, pada tahun 2017 menerima Rp241 miliar, Rp109,83 miliar diterima pada 2018, Rp56,45 miliar pada 2019, dan Rp728 miliar diterima pada tahun 2020.

3. PT Bayas Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp3,5 triliun sepanjang 2016-2020. Pada 2016, perusahaan ini menerima Rp438 miliar. Selanjutnya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp866 miliar pada 2018, Rp487,8 miliar pada 2018, Rp129,9 miliar pada 2019, dan Rp1,58 triliun pada 2020.

4. PT Dabi Biofuels menerima insentif biofuel sebesar Rp412,3 miliar pada 2017-2020. Rinciannya, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp110,5 miliar pada 2017, Rp171,3 miliar pada 2018, Rp80,82 miliar pada 2019, dan Rp49,68 miliar pada 2020.

5. PT Datmex Biofuels menerima insentif biodiesel sebesar Rp677,8 miliar pada 2016. Lalu, Rp307,5 miliar pada 2017. Selanjutnya, perusahaan ini menerima insentif sebesar Rp143,7 miliar pada 2018, Rp27 miliar pada 2019, dan Rp673 miliar pada 2020.

6. PT Cemerlang Energi Perkasa mendapatkan insentif sebesar Rp615,5 miliar pada 2016, lalu Rp596 miliar pada 2017, lalu Rp371,9 miliar pada 2018, Rp248,1 miliar pada 2019, dan Rp1,8 triliun pada 2020.

7. PT Ciliandra Perkasa menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp2,18 triliun sepanjang 2016-2020. Rinciannya sebesar Rp564 miliar diterima pada 2016, Rp371 miliar pada 2017, Rp166 miliar pada 2018, Rp130,4 miliar pada 2019, dan Rp953 miliar pada 2020.

8. PT Energi Baharu Lestari menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS lebih dari Rp302,47 miliar sepanjang 2016-2018. Rinciannya, sebesar Rp126,5 miliar pada 2016, Rp155,7 miliar pada 2017, dan Rp20,27 miliar pada 2018.

9. PT Intibenua Perkasatama menerima insentif sebesar Rp381 miliar pada 2017. Kemudian, Rp207 miliar pada 2018, Rp154,29 miliar pada 2019, dan Rp967,69 miliar pada 2020.

10. PT Musim Mas mendapatkan insentif biodiesel sebesar Rp7,19 triliun sepanjang 2016-2020. Tercatat, BPDPKS memberikan insentif sebesar Rp1,78 triliun pada 2016, Rp1,22 triliun pada 2017, Rp550,3 miliar pada 2018, Rp309,3 miliar pada 2019, dan Rp3,34 triliun pada 2020.

11. PT Sukajadi Sawit Mekar menerima lebih dari Rp1,32 triliun sepanjang 2018-2020. Rinciannya, perusahaan mengantongi insentif sebesar Rp165,2 miliar pada 2018, Rp94,14 miliar pada 2019, dan Rp1,07 triliun pada 2020.

12. PT LDC Indonesia menerima insentif sekitar Rp2,77 triliun pada 2016-2020. Tercatat, BPDPKS mengucurkan insentif sebesar Rp496,2 miliar pada 2016, Rp596,68 miliar pada 2017, Rp231,1 miliar pada 2018, Rp189,6 miliar pada 2019, dan Rp1,26 triliun pada 2020.

13. PT Multi Nabati Sulawesi menerima insentif sebesar Rp259,7 miliar pada 2016. Begitu juga dengan tahun berikutnya sebesar Rp419 miliar. Lalu,  kembali mengantongi insentif sebesar Rp229 miliar pada 2018, Rp164,3 miliar pada 2019, dan Rp1,09 triliun pada 2020.

14. PT Wilmar Bioenergi Indonesia mendapatkan insentif biofuel dari BPDPKS sebesar Rp1,92 triliun pada 2016, Rp1,5 triliun pada 2017, dan Rp732 miliar pada 2018. Kemudian, perusahaan kembali menerima dana insentif sebesar Rp499 miliar pada 2019 dan Rp4,35 triliun pada 2020.

15. PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan dana insentif sebesar Rp8,76 triliun selama 2016-2020. Rinciannya, Wilmar Nabati menerima insentif sebesar 2,24 triliun pada 2016, Rp1,87 triliun pada 2017, Rp824 miliar pada 2018, Rp288,9 miliar pada 2019, dan Rp3,54 triliun pada 2020.

16. PT Pelita Agung Agriindustri dalam periode 2016-2020 menerima dana insentif sekitar Rp1,79 triliun. Terdiri dari Rp662 miliar pada 2016, Rp245 miliar pada 2017, Rp100,5 miliar pada 2018, Rp72,2 miliar pada 2019, dan pada Rp759 miliar pada 2020.

17. PT Permata Hijau Palm Oleo menerima dana insentif biodiesel dari BPDPKS sebesar Rp2,63 triliun sepanjang 2017-2020. Angka itu terdiri dari Rp392 miliar pada 2017, 212,7 miliar pada 2018, Rp109,8 miliar pada 2019, dan Rp1,35 triliun pada 2020.

18. PT Sinarmas Bio Energy dalam periode 2017-2020 menerima sekitar Rp1,61 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp108,54 miliar pada 2017, Rp270,24 miliar pada 2018, Rp98,61 miliar pada 2019, dan Rp1,14 triliun pada 2020.

19. PT SMART Tbk dalam periode 2016-2020 menerima sekitar Rp2,41 triliun. Besaran itu terdiri dari insentif sebesar Rp366,43 miliar pada 2016, Rp489,2 miliar pada 2017, Rp251,1 miliar pada 2018, Rp151,6 miliar pada 2019, dan Rp1,16 triliun pada 2020.

20. PT Tunas Baru Lampung Tbk menerima insentif dari BPDPKS sekitar Rp2,08 triliun sepanjang 2016-2020. Angka itu terdiri dari insentif Rp253 miliar pada 2016, Rp370 miliar pada 2017, Rp208 miliar pada 2018, Rp143,9 miliar pada 2019, Rp1,11 triliun pada 2020.

21. PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan aliran dana dari BPDPKS sebesar Rp1,31 triliun sejak 2017 sampai 2020. Rinciannya, Kutai Refinery mengantongi insentif sebesar Rp53,93 miliar pada 2017, Rp203,7 miliar pada 2018, Rp109,6 miliar pada 2019, dan Rp944 miliar pada 2020.

22. PT Primanusa Palma Energi hanya mendapatkan insentif biofuel sebesar Rp209,9 miliar pada 2016.

23. PT Indo Biofuels menerima dana insentif biofuel sebesar Rp22,3 miliar pada 2016.

Total dana insentif yang diterima 23 peruhaan sawit tersebut sebesar Rp57,7 triliun. Itu dalam periode 2016-202.

Dalam siaran pers Puspenkum Kejagung, tim penyidik sempat menyatakan bahwa kasus ini melibatkan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam pengelolaan dana sawit yang sangat penting untuk sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia. 

Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menjalankan proses hukum dengan transparansi dan keadilan untuk mengungkap kebenaran dalam perkara ini.

Atas hal demikian, kasus ini diharapkan tak 'ditelan bumi'.

Di balik mundurnya Arilangga dari Golkar

Di balik spekulasi mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar, diduga ada alasan lain yang mungkin jadi sebab.

Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh BPDPKS tampaknya menjadi faktor yang lebih krusial. Airlangga, yang memegang peran strategis sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Dewan Pengarah BPDPKS, berada di tengah pusaran kasus ini.

Sejak BPDPKS dibentuk pada 2015, lembaga ini seharusnya menjadi alat untuk mendukung penelitian, pengembangan, dan peremajaan sawit rakyat. Namun, kenyataannya, dana yang terkumpul lebih banyak dikucurkan untuk subsidi biodiesel, sebuah program yang sebagian besar keuntungannya dinikmati oleh segelintir taipan sawit. 

Perbandingan anggaran yang sangat timpang dengan subsidi biodiesel menghabiskan 97,09% anggaran BPDPKS. Hal ini tentu sudah cukup menjadi salah satu indikator utama bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan dana sawit ini.

Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, memegang peran strategis dalam pengelolaan BPDPKS. Sebagai Ketua Komite Dewan Pengarah BPDPKS, Airlangga berada di posisi yang memungkinkan dirinya untuk mempengaruhi kebijakan dan distribusi dana sawit. 

Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika namanya muncul dalam penyelidikan kasus korupsi dana sawit yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Sementara kajian yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) menemukan bahwa korporasi sawit dipenuhi oleh konflik kepentingan yang disebabkan oleh banyaknya Politically Exposed Persons (PEP's) di jajaran pimpinan perusahaan sawit. 

"PEP's ini, yang memiliki latar belakang sebagai pejabat pemerintahan atau memiliki hubungan erat dengan politik, diduga menggunakan pengaruh mereka untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan perusahaan sawit tertentu," kata Lalu Hendri Bagus peneliti Transparency International Indonesia.

Dalam kajiannya TII menemukan bahwa dari 50 perusahaan sawit terbesar di Indonesia, terdapat sekitar 80 PEP's yang tersebar di berbagai kategori, termasuk birokrat, oligarki, aparat penegak hukum, dan militer. 

Perusahaan-perusahaan besar seperti Group Wilmar dan Group Sinar Mas, yang mendapatkan porsi besar dari subsidi biodiesel, diketahui memiliki banyak PEP's di dalamnya. 

Keberadaan PEP's ini memperkuat dugaan bahwa kebijakan BPDPKS yang disetujui oleh Airlangga patut diduga dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Airlangga Hartarto, sebagai pimpinan Komite Pengarah BPDPKS, berada di pusat pengambilan keputusan yang menentukan alokasi dana sawit. Posisi ini menempatkannya dalam situasi yang rentan terhadap konflik kepentingan, terutama mengingat bahwa banyak PEP's yang terlibat dalam perusahaan sawit strategis. 

Dugaan bahwa subsidi biodiesel lebih banyak menguntungkan segelintir perusahaan besar yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah semakin memperkuat spekulasi bahwa kebijakan yang diambil oleh Airlangga patut diduga tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik.

Pada Juli 2023, Airlangga dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus ini. Meskipun fokus utama pemeriksaan adalah kasus dugaan korupsi minyak goreng yang juga melibatkan BPDPKS, keterkaitannya dengan pengelolaan dana sawit tidak bisa diabaikan.

Pemeriksaan ini menambah tekanan politik dan hukum yang sudah dihadapi Airlangga, mengingat posisinya sebagai salah satu pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas kebijakan di sektor sawit.

Spekulasi semakin memanas ketika Airlangga tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar pada 11 Agustus 2024 silam. Banyak pihak menduga bahwa pengunduran diri ini bukan hanya karena alasan internal partai, melainkan bagian dari kesepakatan (deal) politik untuk meredam tekanan hukum yang dihadapinya. 

Dengan mundur dari posisi strategis di partai, Airlangga mungkin berharap dapat mengurangi sorotan publik dan tekanan dari pihak-pihak yang ingin menuntut kasus ini sampai tuntas.

Dugaan deal politik ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa hingga saat ini, penyidikan kasus BPDPKS masih belum mencapai tahap penetapan tersangka, meskipun sudah ada indikasi kuat adanya kongkalikong bagi-bagi dana sawit. 

Kejaksaan Agung telah melakukan belasan pemeriksaan dan menggali keterangan dari puluhan saksi, termasuk dari korporasi besar seperti Wilmar dan Sinar Mas, yang selama ini menikmati sebagian besar subsidi biodiesel dari BPDPKS. 

Namun, proses hukum tampaknya berjalan lambat, menimbulkan kecurigaan bahwa ada intervensi di balik layar untuk melindungi pihak-pihak tertentu.

Tidak bisa dipungkiri, peran Airlangga dalam BPDPKS membuatnya berada di posisi yang sangat rentan dalam kasus ini. Sebagai pimpinan Komite Pengarah, Airlangga memiliki otoritas untuk menentukan arah kebijakan dan alokasi dana sawit. 

"Keterlibatannya dalam proses penentuan subsidi biodiesel yang sangat menguntungkan segelintir perusahaan besar, membuatnya sulit untuk lepas dari tuduhan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang," jelasnya.

Berlindung dari dampak hukum

Pengunduran diri Airlangga dari posisi Ketua Umum Partai Golkar bisa jadi adalah langkah strategis untuk melindungi dirinya dari dampak hukum yang lebih besar. 

Dengan tidak lagi memegang posisi politik yang tinggi, Airlangga mungkin berharap dapat mengurangi sorotan dan tekanan politik yang mengarah padanya.

Namun, publik berhak untuk mengetahui kebenaran di balik kasus ini. Penegak hukum harus bekerja keras untuk memastikan bahwa kasus ini tidak hanya berhenti di permukaan, tetapi menyentuh akar masalah dan mengungkap semua pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu. 

Jika benar ada deal politik di balik pengunduran diri Airlangga, ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Kasus korupsi dana sawit ini bukan hanya soal uang negara yang hilang, tetapi juga soal keadilan bagi para petani sawit yang selama ini diabaikan. 

Mereka yang seharusnya mendapatkan manfaat dari dana sawit justru dibiarkan berjuang sendiri, sementara para taipan sawit menikmati keuntungan besar dari subsidi biodiesel. 

Pengelolaan BPDPKS yang sarat konflik kepentingan hanya akan terus merugikan negara dan rakyat kecil jika tidak segera dibenahi.

"Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar mungkin menandai babak baru dalam dinamika politik Indonesia. Namun, ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa keadilan dan kebenaran tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik semata." 

"Kasus korupsi dana sawit ini harus diungkap tuntas, dan semua pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum," imbuhnya.

Wilmar Group, Sinar Mas dan Jhonlin penerima dana insentif terbesar

Berdasarkan hasil studi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Auriga Nusantara dan Satya Bumi menemukan ada setidaknya 18 politically exposed persons atau PEP dalam jajaran petinggi perusahaan di group Wilmar, Sinar Mas, dan Jhonlin.

Rinciannya, ada sembilan PEP di group Jhonlin, lima orang di Sinar Mas, dan empat orang di Wilmar. Ketiga grup itu secara akumulatif menerima insentif biodiesel sebesar Rp72,5 triliun dari BPDPKS pada periode 2015-2023.

"Keberadaan PEP dalam struktur kepengurusan maupun [sebagai] pemilik manfaat terindikasi memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi di laporan berjudul Politically Exposed Person Dalam Jejaring Biodiesel Indonesia yang dirilis pada Rabu (13/3/2024) dinukil Monitorindonesia.com, Selasa (1/4/2025).

Total pengeluaran BPDPKS pada 2015-2023 menyentuh Rp176,1 triliun, dengan 91,3% disalurkan pada para produsen biodiesel sebagai insentif untuk menutup selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan solar.

Sementara itu, persentase pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, serta untuk pengembangan sumber daya manusia (termasuk pelatihan untuk para petani kecil dan beasiswa untuk anak-anak mereka) masing-masing hanya menyentuh 0,37% dan 0,27%.

"Alokasi dana BPDPKS jelas menunjukkan keberpihakan dana sawit untuk pengusaha dan sangat tidak berimbang dibanding untuk petani kecil," kata Putra Adhiguna, analis dan managing director Energy Shift Institute.

Padahal, studi CDP yang dirilis pada 2021 mempertanyakan kredensial hijau biodiesel. Keputusan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi biodiesel, menurut CDP, akan berujung pada kian tingginya permintaan atas minyak sawit, yang akhirnya mengancam keberadaan hutan karena kian masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Dalam pernyataan tertulisnya, grup Wilmar dan Sinar Mas menyatakan orang-orang yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi tidak terlibat dalam operasi bisnis mereka. Keduanya pun sama-sama bilang, mereka menjunjung standar integritas tertinggi.

Menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi, bahwa pada 2015-2023, sejumlah perusahaan dalam grup Wilmar secara akumulatif telah menerima insentif sebesar Rp56,6 triliun, sementara entitas grup Sinar Mas mendapat Rp14 triliun. Dua grup ini tercatat sebagai penerima insentif terbesar pertama dan kelima sejak BPDPKS terbentuk.

Sementara itu, grup Jhonlin baru menerima insentif pada 2022-2023. Namun, hanya dalam dua tahun ia telah mendapat insentif relatif besar dengan angka Rp1,86 triliun.

Dugaan Ordal

Ordal atau orang dalam yang dimaksud adalah mereka yang sedang atau pernah memegang jabatan publik, termasuk sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior, beserta keluarga dan orang-orang dekatnya.

Dalam laporannya, dua LSM itu merujuk definisi PEP yang dirumukan Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF), organisasi internasional yang fokus memberantas tindak pencucian uang serta pendanaan untuk terorisme dan senjata pemusnah massal.

PEP disebut sebagai seseorang yang sedang atau pernah mendapat kepercayaan untuk menjalankan fungsi publik, entah sebagai kepala negara, pejabat senior di kantor pemerintahan dan BUMN, perwira tinggi polisi dan militer, atau politisi senior. Anggota keluarga dan rekan dekat orang ini pun bisa dikategorikan sebagai PEP.

"Di Indonesia tidak ada pengaturan tegas tentang berapa lama pejabat publik yang telah pensiun dapat menjabat di perusahaan swasta," tulis dua LSM tersebut dalam laporannya.

"Sehingga dalam penulisan [laporan] ini, setiap orang yang teridentifikasi sebagai pejabat publik dan telah pensiun akan tetap disebutkan sebagai PEP."

Group Wilmar

Ada empat PEP yang tercatat sedang atau pernah memegang jabatan di sejumlah perusahaan yang terkait grup Wilmar, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.

Tiga di antaranya adalah mantan petinggi Polri serta mantan jaksa agung muda. Mereka kini masuk jajaran dewan komisaris di PT Mustika Sembuluh dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

PT Wilmar Nabati Indonesia adalah produsen biodiesel di grup Wilmar yang rutin mendapat alokasi dana insentif dari BPDPKS setiap tahunnya dalam periode 2015-2023.

Ada pula mantan bupati di Sumatra Utara, yang sempat menjadi komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, tapi kini dipenjara karena kasus korupsi minyak goreng.

"Empat orang yang disebut itu pernah atau sedang menjabat sebagai komisaris independen di berbagai perusahaan Wilmar di Indonesia. Mereka tidak memegang jabatan eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut, dan tidak terlibat di manajemen operasi grup usaha kami," kata Wilmar International dalam pernyataan tertulisnya.

Wilmar pun mengatakan pihaknya menjunjung standar integritas tertinggi.

Group Sinar Mas

Ada lima PEP di berbagai perusahaan di grup Sinar Mas, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham dan laporan tahunan perusahaan terkait.

Mereka adalah mantan petinggi Angkatan Darat, tiga petinggi polda, dan staf khusus mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Data AHU Kemenkumham menunjukkan, empat di antaranya kini masuk jajaran direksi dan komisaris di sejumlah anak usaha atau perusahaan yang terafiliasi grup Sinar Mas.

Sementara itu, satu orang lainnya saat ini menjadi penasihat senior di Golden Agri-Resources, perusahaan induk PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (Smart) yang mendapat insentif BPDPKS pada periode 2016-2023.

Dalam pernyataan tertulisnya, PT Smart mengatakan pihaknya mematuhi seluruh peraturan dan kebijakan yang ada dalam setiap interaksinya dengan BPDPKS.

Selain itu, tambahnya, tidak ada satu pun dari lima nama yang disebut dalam laporan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang terlibat dalam operasi bisnis biodiesel perusahaan.

"Seluruh karyawan diharapkan memenuhi standar integritas tinggi dan pedoman etika perusahaan serta mematuhi semua peraturan yang relevan di wilayah kami beroperasi," kata PT Smart, yang dikenal pula dengan merek Sinar Mas Agribusiness and Food.

Group Jhonlin

Ada sembilan PEP yang tercatat di berbagai perusahaan di grup Jhonlin, merujuk temuan Auriga Nusantara dan Satya Bumi yang dikonfirmasi data AHU Kemenkumham.

Di sana, ada mantan petinggi Polri dan tiga petinggi Polda di Kalimantan dan Jawa Barat. Selain itu, ada pula yang pernah menjadi staf khusus mantan panglima TNI, ketua pengadilan tinggi di Kalimantan, dan ketua Mahkamah Agung.

Dua lainnya adalah anak mantan petinggi Polri serta salah satu komisaris PT PLN yang saat ini masih menjabat. Sembilan orang itu kini masuk jajaran komisaris atau memiliki sebagian kecil saham perusahaan-perusahaan yang menjadi bagian dari atau terafiliasi dengan grup Jhonlin.

Keberadaan orang yang sedang atau pernah memegang jabatan publik di perusahaan swasta berpotensi besar menghadirkan konflik kepentingan, menurut Auriga Nusantara dan Satya Bumi.

"Keberadaan PEP dalam struktur perusahaan membuat perusahaan tersebut memiliki potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan, praktik korupsi dan suap serta pencucian uang," tulis Auriga Nusantara dan Satya Bumi.

Sementara itu menurut Egi Primayogha, koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, para "orang dalam" serta keluarga dan orang-orang dekatnya dapat menggunakan pengaruh dan jaringannya untuk membantu pihak tertentu mendapat sejumlah keistimewaan.

"Ia bisa mengubah aturan maupun anggaran untuk memfasilitasi kejahatan korupsi seperti penggelapan pajak atau pencucian uang. Itu bisa dilakukan olehnya atas motif telah menerima suap, balas budi pasca-pemilu, menguntungkan partai politik dirinya, dan sebagainya," katanya.

"Dalam konteks industri biodiesel Indonesia, para PEP bisa membantu perusahaan mengamankan dana insentif biodiesel dari BPDPKS atau, bila memiliki kewenangan perpajakan, dapat memfasilitasi "kecurangan pajak," tambah Egi.

Penyaluran dana insentif biodiesel untuk grup usaha besar seperti Wilmar dan Sinar Mas justru selalu mendominasi anggaran belanja BPDPKS.

Menurut catatan Auriga Nusantara dan Satya Bumi, setidaknya ada empat perusahaan dalam grup Wilmar dan dua dalam grup Sinar Mas yang pernah menerima insentif biodiesel dalam periode 2015-2023.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perusahaan ini sempat diperiksa penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda (JAM) bidang Pidana Khusus (Pidsus).

Hampir seluruh perusahaan itu rutin mendapat alokasi insentif biodiesel setiap tahunnya selama tujuh hingga sembilan tahun terakhir. Sementara itu, hanya ada satu perusahaan dari grup Jhonlin, yaitu PT Jhonlin Agro Raya, yang pernah mendapat insentif.

Kata Auriga Nusantara dan Satya Bumi, meski baru menerima insentif pada 2022-2023, PT Jhonlin Agro Raya langsung mendapat alokasi yang terhitung cukup besar. Dari sana, muncul indikasi bahwa kehadiran PEP di tiga grup usaha tersebut membantu mengamankan alokasi insentif biodiesel, pun memudahkan operasi para perusahaan terkait di lapangan.

"Keberadaan PEP bisa saja mengindikasikan hal itu. Untuk itu menjadi penting agar, pertama, pemerintah menegaskan batasan dari PEP itu sendiri, supaya tidak semua orang dikategorikan sebagai PEP. Kedua, pihak korporasi wajib mendeklarasikan PEP - jika di perusahaannya ada pejabat/mantan pejabat/keluarga pejabat - sebagai bentuk transparansi," kata Sesilia Maharani Putri, peneliti Auriga Nusantara.

Monitorindonesia.com telah mengonfirmasi lagi ke BPDPKS pada beberapa waktu lalu soal kasus ini, namun belum mendapatkan respons. (wan)

Topik:

Kejagung Airlangga Hartarto BPDPKS Dana Sawit