Peran 7 Tersangka Suap Vonis Lepas Terdakawa Korupsi CPO

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 14 April 2025 12:40 WIB
7 tersangka suap pada penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Foto: Kolase MI/Aswan)
7 tersangka suap pada penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Foto: Kolase MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa kasus dugaan suap pada penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terungkap dari pengembangan kasus dugaan suap penanganan perkara Ronald Tannur di PN Surabaya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan bahwa pada awalnya, penyidik mencium adanya indikasi suap pada putusan lepas dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah. “Ada dugaan tidak murni putusan ontslag itu,” katanya dikutip Senin (14/4/2025).

Lalu, dalam penggeledahan terkait kasus dugaan suap terkait penanganan perkara di PN Surabaya, didapatkan adanya informasi terkait dugaan suap di PN Jakarta Pusat. Dengan alat bukti yang cukup, sehingga pada pada Sabtu (12/4/2025) malam dan Minggu (13/4/2025) menetapkan 7 tersangka. Yakni mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat M. Arif Nuryanta yang kini Ketua PN Jakarta Selatan, Pengacara Korporasi Marcella Santoso, Panitera Muda PN Jakut Wahyu Gunawan dan AR alias Ariyanto.

Lalu, Majelis Hakim Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat dan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).

Ketiga hakim yang seharusnya meneggakan hukum dan keadilan ditetapkan sebagai tersangka sebab diduga menerima suap atas vonis lepas atau ontslag terhadap terdakwa korporasi dalam kasus korupsi ekspor CPO atau bahan baku minyak goreng.

Ada tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng ini mulai dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.

Tiga hakim yang urus perkara itu diduga bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara tiga terdakwa korporasi, serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

Vonis lepas itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group.

Saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta menggunakan jabatannya untuk mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng. Kasus kemudian terendus penyidik Kejagung.

Penyidik mendapati ada 2 amplop di tas milik Arif saat melakukan penggeledahan. Pertama, amplop coklat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan amplop berwarna putih berisi 72 lembar uang pecahan USD 100. 

Kemudian, penyidik juga menyita dompet milik Arif yang di dalamnya terdapat ratusan uang pecahan dolar Amerika Serikat (USD), Dolar Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (RM) hingga rupiah. Arif Nuryanta menerima suap sebanyak Rp 60 miliar.

Masing-masing hakim kecipratan duit suap. Mulanya, hakim Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta.

"Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB (Agam Syarif) dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari

Arif lalu menyerahkan lagi sejumlah uang untuk ketiga hakim itu pada September 2024. Uang yang diberikan dalam bentuk dolar Amerika atau senilai Rp 18 miliar. Uang tersebut diserahkan kepada hakim Djuyamto.

"ASB menerima uang dolar bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar, DJU (Djuyamto) menerima uang dolar jika dirupiahkan Rp 6 miliar, dan AL (Ali) menerima uang berupa dolar amerika bila disetarakan rupiah Rp 5 miliar," beber Abdul Qohar.

Ketiga hakim itu, jelas Qohar, mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut agar perkara diputus ontslag alias divonis lepas.

Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa Arif sangat berperan aktif agar majelis hakim memberikan vonis lepas terhadap para terdakwa. Dalam proses tersebut, Wahyu Gunawan yang saat itu menjadi panitera di PN Jakarta Pusat merupakan orang kepercayaan dari Arif Nuryanta. 

“WG sebagai panitera merupakan orang kepercayaan MN. Kemudian melalui dia (WG) lah terjadi kesepakatan,” kata Abdul Qohar.

Sementara Ariyanto dan Marcella Santoso yang merupakan pengacara terdakwa menjadi pihak yang diduga memberikan suap senilai Rp 60 miliar itu. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan. (an)

Topik:

Kejagung CPO Minyak Goreng PN Jakpus PN Jaksel