Kejagung Didesak Bidik Pemberi Perintah Suap Hakim di Vonis Lepas Korupsi CPO: Bos Wilmar Group, Permata Hijau dan Musim Mas?


Jakarta, MI - Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak akan membuka kembali penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas eskpor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng dengan memulai memeriksa pihak-pihak yang mengetahui dan terlibat dalam kasus ini.
Desakan itu menyusul dengan ditetapkan 7 tersangka yang mana terdapat sejumlah hakim terseret suap dalam putusan vonis lepas terdakwa korporasi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Hakim yanh tersangka di kasus tersebut tak lain adalah hakim Djuyamto sebagai ketua majelis bersama hakim Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom sebagai anggota.
Sementara satu hakim lainnya kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus), Muhammad Arif Nuryanta yang saat kemudian menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel).
Adapun kasus ini sebelumnya bergulir di meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakpus.
Berdasarkan keterangan Kejagung, bahwa Arif Nuryanta berperan aktif agar majelis hakim memberikan vonis lepas terhadap para terdakwa.
Dalam proses tersebut, Wahyu Gunawan (tersangka) yang saat itu menjadi panitera di PN Jakpus merupakan orang kepercayaan dari Arif Nuryanta.
Ariyanto (tersangka) dan Marcella Santoso (tersangka) yang merupakan pengacara terdakwa menjadi pihak yang diduga memberikan suap senilai Rp 60 miliar. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan. Lalu perkara itu diperiksa dan diadili oleh hakim Djuyamto sebagai ketua majelis bersama hakim Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom sebagai anggota.
Berangkat dari hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Azmi Syahputra, begitu disapa Monitorindonesia.com, Selasa (15/4/2025) menegaskan bahwa sudah seharusnya Kejagung fokus pula pada pelaku pemberi perintah suap itu. Menurut dia, sangat mustahil pengacara korporasi itu melakukan suap tanpa perintah.
"Pemberi perintah suap harus segera diperiksa dan tidak boleh dilindungi atas alasan apapun, dalam UU Tipikor telah diamanatkan untuk diberantas terutama pemberi suap yang merupakan bagian penting dari aktor kejahatan, sekaligus jadi rangkaian penyelidikan kasus ini guna penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi mafia peradilan dalam kasus ini," tegas Azmi.
Menurut Azmi, kesaksian bos Wilmar Group, Permata Hijau dan Musim Mas mutlak diperlukan pihak penyidik Jampidsus. Jika benar mereka yang memberikan perintah maka tidak ada alasan lagi untuk tidak dijadikan sebagai tersangka. Diketahui bos Permata Hijau Group adalah Aminudin Siregar, Wilmar Group, Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus, sementara Musim Mas Group adalah Bachtiar Karim.
"Pemeriksaan ini penting untuk mengungkap siapa pemberi suap dan meminta pertanggungjawaban hukum pemberi suap," tutur Azmi.
Sementara pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno, Kurnia Zakaria, mendesak juga Kejagung agar membuka kembali pemeriksaan saksi-saksi di kasus koprupsi minyak goreng itu. Termasuk kembali memeriksa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
"Jelas Menko Perekonomian Airlangga dan Mendag Zulhas diduga terlibat tipikor CPO Migor karena regulasi kuota CPO ditentukan mereka, kepala Bulog dan Mentan perlu juga diperiksa," jelas Kurnia.
Dugaan keterlibatan Airlangga dan M Lutfi
Airlangga Hartarto memang pernah berurusan dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Peristiwa langkanya minyak goreng di berbagai daerah pada awal 2022 menjadi pemicu. Masyarakat menjerit karena harga minyak goreng mahal, sedangkan barangnya tidak ada di pasaran. Ini terjadi pada akhir 2021 hingga awal 2022.
Bahwa saat itu, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), bahan baku utama minyak goreng, mengalami lonjakan akibat invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak pada pasokan minyak dan gas global.
Pemerintah kemudian merespons situasi ini dengan berbagai kebijakan. Pada Januari 2022, Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi (pernah diperiksa Kejagung) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 yang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana (MGKS).
Namun, kebijakan tersebut gagal mengatasi kelangkaan. Kebijakan lainnya yang diterapkan, seperti larangan terbatas ekspor CPO dan domestic market obligation (DMO), juga tidak berhasil menormalkan pasokan minyak goreng di pasar.
Dalam perkembangan penyidikan kala itu, terungkap bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah justru menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar, seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Kejaksaan Agung menemukan bahwa ketiga perusahaan ini lebih memilih mengekspor CPO daripada memenuhi kebutuhan domestik, yang berkontribusi pada kelangkaan minyak goreng. Akibatnya, mereka ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus ini pada Juni 2023.
Lebih lanjut, penyidik menemukan bahwa Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian yang juga Ketua Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), memiliki peran dalam kebijakan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit tersebut. BPDPKS yang mengelola dana pungutan ekspor sawit sempat disinyalir terlibat dalam penyaluran dana subsidi yang tidak tepat sasaran.
Dalam proses hukum yang berjalan kala itu, beberapa pejabat tinggi dan pengusaha telah dijatuhi hukuman atas keterlibatan mereka dalam kasus korupsi ini. Di antaranya adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, serta anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Lin Che Wei.
Lin Che Wei disebut-sebut berperan sebagai penghubung antara pengusaha kelapa sawit dengan Airlangga Hartarto dan Muhammad Lutfi. Penyidik Kejaksaan Agung menyoroti peran Airlangga dan Lutfi dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan minyak goreng.
Dalam kesaksian Lin Che Wei pada Juni 2022, terungkap bahwa Airlangga diduga mempengaruhi kebijakan-kebijakan tersebut, sementara Lutfi berperan sebagai eksekutor kebijakan.
Meskipun hingga kini belum ada bukti bahwa Airlangga Hartarto menerima keuntungan finansial dari kasus ini, kebijakan-kebijakannya cenderung berpihak pada pengusaha sawit.
Kini penyidik Jampidsus Kejagung diharapkan mengungkap lebih jauh keterlibatan Airlangga dan Lutfi dalam skandal minyak goreng yang telah merugikan negara triliunan rupiah. (an)
Topik:
Korupsi CPO Kejagung Korupsi Minyak Goreng Wilmar Group Permata Hijau Group Musim Mas GroupBerita Terkait

Tergantung Kebutuhan Penyidikan, Kejagung Akan Periksa Eks Ketua PN Jakpus Liliek Prisbawono Adi
2 jam yang lalu

Kejagung Didesak Periksa Eks Ketua PN Jakpus Liliek Prisbawono Adi soal Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO
9 jam yang lalu

Kejagung Usut Motif Hakim Djuyamto Titip Tas Berisi Rp 500 Juta ke Satpam PN Jaksel
10 jam yang lalu