Setelah Kasus Suap Vonis Korupsi CPO, Kejagung Bidik Tersangka Korupsi BPDPKS, Wilmar Makin Ketar-ketir?


Jakarta, MI - Anak perusahaan Wilmar Group tak hanya teseret di kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya Januari-April 2022, namun juga di kasus korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tahun 2015-2022.
Catatan Monitorindonesia.com sebagaimana dari keterangan Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagun) bahwa tim penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat memeriksa anak perusahaan Wilmar Group sebagai saksi kasus dugaan korupsi dana sawit BPDPKS itu.
Yakni pada Kamis (2/11/2023) silam, Kejagung memeriksa saksi dari pihak PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Multimas Nabati Asahan. Pemeriksaan itu melalui manager produksinya yakni inisial CADT.
Lalu pada Selasa (7/11/2023), Kejagung memeriksa Manager PT Cemerlang Energi Perkasa, FA dan PT Sari Dumai Sejahtera. Selain FA, Kejagung memeriksa dua saksi lainnya yakni, HM diduga Hartono Mitra selaku Manager Produksi PT Jhonlin Agro Raya (JARR) milik H. Isam dan AC selaku Operation Supply Chain PT Pertamina tahun 2014.
Kamis (9/11/2023) Kejagung masih mengulik perusahaan yang mengelola sawit yakni PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk. Saksi itu berinisial HIS selaku Manager Produksi PT Sinarmas Bio Energy dan PT Smart Tbk.
Kasus ini sempat diduga disetop, namun Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa kasus masih diusut, hanya saja masih menggunnakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) bersifat umum. Jika sudah ditemuan alat bukti yang cukup maka tersangka segera ditetapkan.
"Masih jalan penyidikannya. Masih penyidikan umum ya, tapi tetap jalan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Kamis (17/4/2025).
Soal kapan saksi-saksi akan diperiksa lagi, Harli enggan berkomentar lebih jauh sebab itu ranah penyidik. "Pemeriksaan saksi untuk memperkuat bukti dan melengkapi berkas perkara," tuturnya.
Pada Januari 2024 silam, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi menegaskan bahwa pihaknya masih mencari alat-alat bukti untuk mencari tersangka kasus BPDPKS. "BDPKS masih berjalan. Masih-masih, kita terus mencari simpul pertanggungjawabannya," kata Kuntadi, Selasa (16/1/2024).
Di lain sisi, Kuntadi juga masih enggan untuk membeberkan total kerugian perekonomian negara dalam kasus ini. "Belum [total kerugian negara], belum berani bilang," tegasnya.
Sementara JAM Pidsus Febrie Adriansyah menegaskan bahwa saat ini pihaknya masih melaksanakan penyidikan untuk menemukan benang merah pada kasus BPDPKS. "BPDPKS itu sampai sekarang masih ada penyidikan, sampai saat ini memang ada beberapa petunjuk dalam gelar perkara yang belum dipenuhi penyidik BPDPKS," kata Febrie.
Menurut Febrie, hambatan dalam kasus pengelolaan dana sawit ini karena terintegrasi beberapa komponen produksi sehingga perlu kolaborasi dengan ahli ekonomi untuk mengusut tuntas kasusnya.
Kini Wilmar Group tersorot usai ditetapkannya hakim dan kawan-kawan sebagai tersangka di kasus dugaan suap vonis lepas terhadap 3 korporasi. 3 korporasi itu tak lain adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.
Bahkan, Head Social Security Legal Wilmar Group Muhammad Syafei telah menjadi tersangka ke-8 dalam kasus tersebut. Bhawa dalam penjelasannya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengatakan, Syafei menyiapkan uang tunai Rp60 miliar yang diberikan kepada Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanto yang saat peristiwa menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Suap diberikan melalui seorang pengacara bernama Ariyanto yang sebelumnya sudah berkonsultasi dengan panitera muda PN Jakarta Pusat Wahyu Gunawan. Suap diberikan agar sejumlah perusahaan Wilmar Grup bisa bebas dari tuntutan pada kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya Januari-April 2022.
“Setelah ada komunikasi antara Tersangka AR [Ariyanto] dan MSY [Syafei], kemudian Tersangka AR bertemu dengan MSY di parkiran SCBD. Dan, selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada Tersangka AR,” kata Qohar, Selasa (15/4/2025).
Sebelumnya Kejaksaan memang menetapkan tiga grup perusahaan sawit sebagai tersangka kasus korupsi ekspor minyak goreng. Mereka adalah lima perusahaan di bawah Wilmar Grup; lima perusahaan di bawah Permata Hijau Grup; dan tujuh perusahaan di bawah Musim Mas Grup.
Perkara ketiganya pun telah dilimpahkan ke pengadilan dan menjalani persidangan hingga putusan 19 Maret lalu. Dalam putusan tersebut, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.
Ketiga grup tersebut terbebas dari tuntutan jaksa yang meminta setiap grup mendapat denda Rp1 miliar. Selain itu ketiganya juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsinya.
Jaksa memberikan tuntutan uang pengganti paling tinggi kepada lima perusahaan Wilmar Grup. Dalam dokumen tuntutan, PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia dan PT Wilmar Nabati Indonesia harus membayar Rp11,8 triliun.
Sedangkan Permata Hijau Grup yaitu PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo dan PT Permata Hijau Sawit harus membayar ganti rugi Rp937,5 miliar. Musim Mas Grup yaitu PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT. Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas dan PT Wira Inno Mas harus membayar Rp4,8 triliun.
Menurut Qohar, awalnya Syafei meminta hakim menjatuhkan vonis bebas dengan imbalan Rp20 miliar. Akan tetapi, sesuai pembicaraan Ariyanto dan Wahyu, hakim hanya bisa memberikan putusan ontslag namun dengan imbalan Rp60 miliar.
“Lalu Tersangka MS [Marcella Santoso] menghubungi MSY. Dan MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam mata uang asing. Uang tersebut oleh tersangka WG [Wahyu] diserahkan kepada Tersangka MAN [Arif]. Dan Tersangka WG diberikan uang sebesar USD 50.000 oleh Tersangka MAN," bebernya.
Dari jumlah tersebut, Arif sebagai wakil ketua pengadilan memberikan uang tunai Rp22,5 miliar kepada tiga hakim yang menjadi majelis. Pemberian dilakukan dalam dua tahap yaitu Rp4,5 miliar kemudian Rp18 miliar.
Kendati begitu, Qohar menegaskan pihaknya masih melakukan pendalaman atas sumber dana yang disiapkan Syafei. Dia memberikan sinyal adanya peluang dana tersebut turut disiapkan dua korporasi lainnya yang terjerat dalam perkara itu, yakni Permata Hijau Grup dan Musim Mas Grup.
“Kemudian terkait siapakah yang diberi pertanggungjawaban, saya bilang dan saya sampaikan ketika d alat bukti cukup kita minta pertanggung jawaban, tidak terkecuali dari orang-orang perusahaan,” katanya Qohar.
Pintu masuk jerat perusahaan lainnya
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, Rabu (16/4/2025) kemarin menduga bahwa masih ada pihak lain di atas Syafei yang dudga terlibat dalam memuluskan jalannya persidangan sehingga majelis hakim menjatuhkan putusan onstlag van alle recht vervolging atau vonis lepas dari dakwaan tipikor yang sebelumnya sudah disusun jaksa penuntut umum.
"Mustahil hanya melibatkan pihak legal Wilmar Group, tidak mungkin tidak berdasarkan perintah. Jadi pasti ada directing midn-nya yang memerintahkan untuk melakukan proses penyuapan kepada para hakim," katanya.
Penetapan tersangka ini harus menjadi momentum bagi penyidik Jampidsus untuk membongkar keterlibatan unsur dari internal Wilmar Group sendiri maupun dua korporasi lainnya.
"Ini adalah semacam bentuk mafia dalam sistem perdailan kita yang tidak mungkin hanya terjadi satu dua kali. Itu pasti sudah sering terjadi. Dan itu yang mesti disasar penyidik untuk memastikan bahwa semua yang terlibat dengan perannya masing-masing betul-betul disasar," tandasnya.
Penetapan para hakim sebagai tersangka dugaan suap itu seharusnya menjadi momentum untuk menyoroti kasus-kasus serupa yang melibatkan korporasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar, menyebut kasus suap hakim dengan modus seperti ini sebagai unprecedented atau belum pernah terjadi sebelumnya.
Olehnya itu, Yassar menekankan perlunya kecermatan dalam mengawasi kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar, terutama di sektor ekstraktif.
"Jangan-jangan selama ini ada kasus-kasus lain di mana korporasi sebetulnya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi kasusnya kemudian 'dipesan' menggunakan modus suap-menyuap," kata Yassar, Rabu (16/4/2025).
Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan kasus ini mestinya menjadi pintu masuk untuk menyelisik kembali kasus-kasus serupa.
"Ternyata putusan lepas itu muncul karena adanya penyuapan Rp60 miliar. Ini memang dibelokkan [putusannya]. Itu modus mafia-mafia yang melibatkan hakim," kata Yenti kepada Monitorindonesia.com, Rabu (16/4/2025).
Namun di sisi lain, bisakah penegak hukum menjerat perusahaan dalam kasus korupsi? Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijerat dalam kasus korupsi.
Hukum acara pidananya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016. Secara spesifik, Perma No 13/2016 menyebut korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana termasuk korupsi apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:
Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut; Tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; dan Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Muhammad Yassar, mengatakan penjeratan korporasi selaku subjek hukum masih menjadi permasalahan mendasar dalam pemberantasan korupsi. Sebab, katanya, pada KUHAP, belum tercantum ketentuan yang cukup progresif dan komprehensif dalam hal pemidanaan korporasi.
Yassar menyebut Perma No 13/2016 masih berupa "ketentuan parsial" terkait pemidanaan korporasi.
"Pada kasus-kasus korupsi, sayangnya peraturan ini masih sangat jarang dioperasionalkan oleh penegak hukum. Salah satu sebabnya karena substansi peraturannya tidak berada di level undang-undang. Ini menyebabkan kebingungan bagi penegak hukum karena banyak interpretasi terkait regulasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam memidanakan korporasi," bebernya.
Yassar mengatakan secara kapasitas, penegak hukum di Indonesia sering kali kesulitan untuk membedakan kapan suatu tindak pidana merupakan tanggung jawab dari korporasi dan kapan itu menjadi tanggung jawab dari individu.
Sementara ICW mencatat ada setidaknya 252 pengusaha atau swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi di tahun 2023. "Namun ini merujuk pada individu, bukan korporasi sebagai badan hukum," kata Yassar.
Dari data yang sama, setidaknya hanya ada tiga korporasi yang didakwa dalam kasus korupsi dari total 898 terdakwa di tingkat pengadilan negeri. Sedangkan di tingkat pengadilan tinggi, hanya ada 6 korporasi dari 582 total terdakwa yang berhasil disidangkan.
"Keseluruhan kasus yang melibatkan korporasi sebagai badan hukum menggunakan delik kerugian negara pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan delik suap," jelas Yassar.
Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengamati banyak penegak hukum yang menerapkan ultimum remedium atau "pidana sebagai obat terakhir".
"Di Indonesia sering kali pidananya dikesampingkan, lalu yang dikasih adalah sanksi administratif dengan alasan ultimum remedium," ujarnya.
Dugaan suap hakim agung: Persidangan MA yang tertutup 'jadi celah permainan perkara', KPK diminta usut potensi keterlibatan hakim lain. Andri menekankan pentingnya penegakan hukum pidana dalam kasus korupsi atau suap sebagai bentuk penegasan negara yang mengutuk tindakan tersebut.
"Bisa jadi jumlah dendanya tidak jauh berbeda. Tapi pidana itu adalah ekspresi negara mencela sebuah perbuatan. Ekspresi pencelaan ini tidak ada dalam sanksi administratif," tegasnya.
Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan penegak hukum harus benar-benar memahami konsep "kejahatan perusahaan" yang sudah diatur dalam UU Tipikor.
"Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan. Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda. Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan," beber Yenti melanjutkan.
Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.
"Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset]. Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan," katanya. (wan)
Topik:
Kejagung Korupsi CPO Korupsi BPDPKS Wilmar GroupBerita Terkait

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
3 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB

Korupsi Blok Migas Saka Energi Naik Penyidikan, 20 Saksi Lebih Diperiksa!
29 September 2025 20:05 WIB